25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Jalan Terjal Menuju Sumut 1

Jalan terjal menuju perkoncoan partai politik dan pasangan calon menuju Pilgubsu, ibarat sesulit menebak arah calon pemilih itu sendiri. Sejumlah nama non-kader yang punya hasil survei peringkat atas terpaksa mati-matian bergerilya mendapatkan perahu politik. Kisah-kisah saling telikung juga mewarnainya.

RAGAM menu yang nikmat tak juga membuat selera makan si lawan bicara berlipat. Selesai menyantap sekadarnya lelaki berkumis ini buka suara. Air mukanya agak emosi menyebut nama seorang kepala daerah. Sang narasumber bersedia blak-blakan asalkan tokoh-tokoh yang disebut dalam cerita ditulis tanpa nama alias anonim. Cerita boleh ditulis di media, tapi urusan etika tetap dijaga, katanya memberi syarat. Dan, percakapan selepas santap siang itu pun bergulir tanpa titik-koma.

‘’Kami sudah bangun komitmen sejak lama. Jauh sebelum para bakal calon pasang baliho di sana-sini. Malah ke rumah ibunya kami sudah sama-sama, minta doa. Ibunya senang sekali,’’ kata lelaki mantan aktivis itu. Kalimat itu meluncur sebagai awal pembicaraan siang itu.

Dia tak mau menyebut nama si kepala daerah. Lelaki yang menjadi pendamping sejati bakal calon gubsu Dr RE Nainggolan ini juga minta namanya jangan dikorankan. ‘’Sudahlah, nanti pasti tahu juga,’’ katanya tersenyum kecut. Dia mengaku tak habis pikir kenapa tiba-tiba sang kepala daerah mendadak berubah haluan. Padahal komitmen sudah dibuat rapat-rapat. Awal melangkah nafas sehati-sepikir begitu kuat. Bahkan si pendamping sudah minta izin pada sang guru spritual yang  pesantrennya membentang di Sumut. ‘’Iya, kata guru itu,’’ dia mengenang pertemuan itu.

Apa lacur sang pendamping malah menghilang di tengah jalan saat kekompakan saling berpegang teguh mulai diuji banyak godaan. ‘’Kami kalah di tengah jalan. Padahal di PDS dia sudah mendaftar sebagai wakil gubernur. Kalau mau buka dokumennya silakan. Anda jadi tahu siapa orangnya,’’ ujarnya tersenyum.

Apa lacur, kedua orang yang sempat bersepakat itu berpisah tanpa pernah bersua sesudahnya. Tiba-tiba saja baliho sang pendamping menyebar bagai cendawan di musim hujan. Kali ini bukan sebagai Sumut 2, tapi sudah ‘naik kelas’ jadi calon gubernur. Siapapun mahfum kisah saling telikung bagai cerita pelipur lara dalam sinetron bernama politik. Komitmen menjadi kekal bila dalam perjalanan tak terbuka tawaran yang lebih menggoda. Lobi-lobi mendapatkan perahu partai politik ibarat mengarungi samudera yang penuh ombak. Perjalanan yang begitu melelahkan bagi mereka yang bukan besar di partai politik.

Dua perjalanan dilakoni sekaligus: mencari ‘perahu’ dus  mengenalkan wajah mereka kepada 11,3 juta calon pemilih di Sumatera Utara. Survei internal dari parpol terus berjalan tapi belum jaminan menjadi calon yang diusung. Mendaftar boleh saja, tapi urusan ‘lolos’ tentunya punya banyak faktor.
Dari penelusuran Sumut Pos, hasil survei terakhir partai-partai papan atas dominan pada lima nama. Gatot Pujo Nugroho adalah figur yang selalu berada pada posisi ‘5 besar’. Wajar saja mengingat wajah Gatot sebagai Plt Gubsu menyebar hingga ke pelosok desa. Para petinggi partai lain tak mengingkari itu. Sebagai pemangku kepala pemerintahan sepeninggal Syamsul Arifin yang ditahan KPK, kader PKS itu menjadi orang pertama di jajaran Pemprovsu. Keuntungan strategis ini membuat petinggi PKS di Jakarta menetapkannya sebagai calon tunggal. Jadilah PKS sebagai parpol pertama yang punya cagubsu. Kursi PKS di DPRD Sumut ada 11, artinya minus 4 kursi lagi untuk bisa meloloskan pasangan calon.

Ketentuan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan pasangan calon yang ikut di pentas Pilgubsu harus diusung parpol atau gabungan parpol dengan jumlah kursi 15 persen dari total kursi di DPRD, atau jika dipakai suara: 15 persen dari 5.235.575, akumulasi suara sah Pemilu 2009. Ini artinya gabungan parpol mesti mengoleksi 785.186,25 suara sah atau 785.187 dengan pembulatan ke atas. Angka yang bukan sedikit. Wajar bila parpol tanpa kursi di DPRD pun (non-seat) ‘pasang harga’. Istilahnya ‘no free lunch’, tak ada makan siang gratis. Semua ada harganya. Kendati biasa dipakai bisnis dan investasi, istilah ini menjadi amat condong bagi dunia politik.

Kisah PKS

Sebulan terakhir PKS mulai serius mencari kawan koalisi. Pencarian itu dimulai sejak Ramadan silam. Gatot sempat mengumpulkan ‘Sepuluh Parpol Pengusung Syamsul-Gatot’ alias Syampurno minus PPP. Toh berujung nihil. Para pengurus partai yang sebagian punya kursi kurang dari dua, dan sebagiannya tak punya perwakilan di parlemen itu ogah berkonco lagi. Alasannya, sakit hati gara-gara tak diperhatikan sesudah Syamsul-Gatot memenangkan Pilgubsu 2008. Para petinggi PKS di Sumut memutar akal. Gagal merangkul kembali Syampurno, PKS mulai mencari PPP, kawan koalisi seideologi. Entah berapa kali PKS-PPP bersua.

Paling akhir adalah pertemuan Gatot dengan Hasrul Azwar, petinggi PPP yang juga politisi senior Sumut yang duduk di parlemen senayan. Hingga kini belum ada hasil. ‘’Ah, kami cuma ngopi-ngopi sore. Saya sudah lama tak jumpa pak Hasrul. Kangen-kangenan saja. Kami banyak diskusi soal pembangunan di Sumut,’’ kata Gatot saat dikerubungi wartawan yang menunggunya sore itu di parkir resto di kawasan Polonia, Medan.

Hasrul juga idem itto. Dia tampak sulit bicara soal rencana perkoncoan PPP-PKS. ‘’Kami cuma ketemuan. Nggak ada yang penting,’’ katanya berkilah. Rencana koalisi dua parpol Islam paling besar ini pun terjebak jalan buntu. Seorang petinggi PKS berbisik soal ketidakcocokan nama calon yang dipasangkan dengan Gatot. Hasrul getol mendorong Gatot berdampingan dengan Fadly Nurzal. Tapi sejumlah kader inti PKS menolak nama itu. ‘’Kami tak sreg,’’ kata sumber itu kepada Sumut Pos. Banyak alasan yang melatarinya. Hanya saja sang sumber enggan membunyikannya karena merasa tak pantas. ‘’Pokoknya intinya nggak sreg saja,’’ katanya. Sumber lain meragukan hasil bila keduanya dipasangkan. PKS sudah bikin survei internal dengan kombinasi beberapa nama. Hasil tertinggi adalah Gus Irawan.

Mantan Dirut PT Bank Sumut ini masuk urutan pertama bila dipasangkan denga Gatot. Ada satu nama lagi, tapi sang sumber mengelak saat diminta menyebutkan. ‘’Ada lah,’’ katanya tergelak. Soal lain adalah popularitas Fadly yang tak bisa diandalkan, bahkan di dapilnya sendiri. Saat pencalonan di Pemilu legislatif 2009 jumlah suara Fadly dikabarkan terseok-seok untuk   memenuhi kuota bilangan pembagi pemilih (BPP) agar tembus parlemen provinsi. Hasrul yang beberapa kali dipancing wartawan soal nama cawagub, berulangkali mengatakan Fadly adalah kader terbaik yang disodorkan PPP. ‘’Fadly adalah kader terbaik kami. Ini marwah partai. Tak ada calon lagi,’’ katanya.

Angin segar itu disambut Fadly. Dia mulai getol membangun jaringan agar masuk ‘orbit’. Dari masjid-masjid di luar kota hingga pengajian Majelis Taklim didatangi, juga mengundang alim-ulama ke kantor DPW PPP Sumut. Kontestasi yang menajam di luar sana  memaksanya kerja ekstra agar PKS mengekalkannya sebagai cawagub. Paham satu ideologi adalah ‘senjata’ yang kerap disuarakan para alim-ulama. Toh hati para petinggi PKS Sumut tak juga luluh. ‘’Acuan kami hasil survei,’’ kata Sekjen DPW PKS Sumut Satria Yudha Wibowo. Rencana perkoncoan PPP-PKS membentur tembok tebal. Tarik-ulur begitu kental. Belakang hari petinggi PKS malah minta Gatot menggandeng cawagub ‘bermarga’.

Maksudnya mengakomodir pluralitas masyarakat  Sumut. Bisik-bisik petinggi PKS mengarah pada figur Letjen (Purn) AY Nasution. Mantan Pangkostrad ini adalah representasi keinginan petinggi PKS di Jakarta. Tambahan lagi, AY Nasution bukan figur asing di internal PKS. Dalam percakapan Sumut Pos di kediamannya sebelum Ramadan tahun ini, AY mengaku pernah ‘dipinang’ PKS untuk menjadi nomor satu, pendampingnya Gatot. Tim PKS yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Sumut, Sigit Pramono Asri mendatangi AY di rumah dinasnya di Cilangkap, Jakarta menjelang Pilgubsu 2008 silam.

‘’Kami shalat maghrib bersama. Saya imam-nya. Saya minta maaf pada mereka, saya mau meneruskan karir di militer,’’ ujar AY kala itu. Sejumlah petinggi PKS Sumut membisik besar kemungkinan AY digandeng bila mengakomodir keinginan Jakarta. Nama penting lainnya yang disimpan rapat-rapat adalah T Erry Nuradi. Ambisi Bupati Sergai ini menjadi cagubsu perlahan meredup. Partai Golkar yang membesarkan Erry mengistilahkannya kader ‘kurang umur’. Dia tebentur sosok Chairuman Harahap yang tergolong kader paling senior di Partai Golkar Sumut.

Lagi, survei internal mendudukkan Erry di urutan ‘nomor sepatu’ atau terpaut jauh di bawah Chairuman. Erry kalah segalanya: senioritas dan popularitas. Sedari awal PKK sudah membidik Erry menjadi wakil. Banyak faktor yang dinilai. Selain berhasil memimpin Sergai, adik kandung mendiang Gubsu T Rizal Nurdin ini juga dianggap representasi etnis Melayu. Sumber Sumut Pos menyebutkan kombinasi Gatot-Erry masuk urutan atas di survei internal PKS. Toh yang namanya pilihan selalu punya dua sisi. Hingga kini Erry masih tercatat sebagai kader Partai Golkar.

Jika menang di Pilgubsu 2013 bukan tak mustahil PKS terus ‘dibayang-bayangi’ kepiawaian Partai Golkar dalam proses politik di parlemen. Harga politik yang harus diperhitungkan PKS di masa depan. Akan halnya dengan Gus, petinggi PKS Sumut mengaku terpaksa mengubur dalam-dalam ‘perjodohan indah’ Gatot Pujo Nugroho-Gus Irawan (2 G baca: two ji).

Nama terakhir ini sudah bulat melangkah sebagai Sumut 1. Jalan ke arah sana juga  dibangun jauh-jauh hari. Dalam kunjungan ke redaksi Sumut Pos, awal bulan ini, Gus mengklaim gabungan parpol, seperti PKDI, PIS, PBB, dan PKB sudah komitmen mengusungnya. Jika ditambah Partai Gerindra (tiga kursi di DPRD Sumut) atau 144.913 suara sah hasil Pemilu 2009, persentase suara gabungan parpol pendukung Gus berkisar 16,4 atau lebih 1,4 persen dari syarat suara yang dibutuhkan.

Dinamika Golkar

Teka-teki siapa yang diusung partai beringin terjawab sudah. Kedatangan Ketum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie ke Medan, akhir pekan lalu memecahkan keraguan siapa cagub Partai Golkar di Pilgubsu 2013. Awalnya lawan berat Chairuman Harahap adalah Gus Irawan, mantan pimpinan Bank Sumut, yang juga adik politisi senior Partai Golkar Bomer Pasaribu. Ketidaksamaan pandangan Aburizal dan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung, yang menjadi cantelan Gus di partai beringin itu, justru menguntungkan posisi Chairuman.

Jauh sebelum pendaftaran dimulai, kader Partai Golkar Sumut ramai-ramai menyuarakan Gus sebagai figur paling oke memimpin Sumut. Sayangnya aspirasi itu tergilas pertarungan ‘gajah sama gajah’ di level atas. Sang Ketum Aburizal alias Ical lebih percaya Chairuman ketimbang Gus yang lebih berafiliasi ke Akbar. Perbedaan pandangan Ical dan Akbar soal pilihan capres dari Golkar membuat Ical bermanuver menajamkan taji di partai yang dipimpinnya. Ical terbang dari Aceh hingga ke Papua: meminta kesetiaan kader daerah pada dirinya sebagai satu-satunya capres Golkar, membabat habis kader-kader pembangkang, hingga menggunakan hak vetonya  memutuskan calon kepala daerah. Chairuman unggul taktis.

Kendati namanya berada di bawah Gus dalam survei internal Partai Golkar, tak ada alasan Ical untuk tak memercayainya sebagai cagubsu. Chairuman dianggap kader setia yang siap menyokong pencalonan Ical di Pilpres, sedangkan Gus? ‘’Dia kan bukan kader, pasti dia lebih patuh kepada AT (Akbar Tandjung, Red),’’ kata sumber terdekat Sumut Pos di kepengurusan partai pohon beringin. Hasil pilihan pada Chairuman juga berlandaskan survei terakhir yang menempatkannya pada peringkat terbaik dari seluruh kader. Kendati pilihan atas Chairuman sempat mengundang resistensi dari pengurus yang kurang setuju, namun hingga kini tak ada kader yang berani bersuara lantang. ‘’Mungkin trauma gara-gara pencopotan 12 pengurus kemarin,’’ ujar kader Partai Golkar yang bercokol di DPRD Kota Medan. Lepas dari dinamika itu, toh tugas tak kalah berat menunggu hingga Jumat (16/11) lusa.

Hingga kini Chairuman belum punya wakil. Pengamat politik USU, Ridwan Rangkuti, menilai Chairuman terlalu konsentrasi mengamankankan posisinya sebagai cagubsu sehingga alpa mencari wakil. ‘’Padahal posisi wakil juga penting memenangkan Pilkada. Jadi bukan cuma tempelan. Posisinya manjur sekali sebagai pengumpul suara atau vote getter di Pilkada ,’’ ujarnya.

Dalam kacamata Ridwan, ada sejumlah nama yang ditunggu hingga detik-detik terakhir oleh Chairuman sebagai pendampingnya. Nama Dr RE Nainggolan jika ‘dilepaskan’ oleh PDIP adalah prioritas pertama, dan perkoncoan dengan Fadly Nurzal (PPP) lebih pada ketiadaan pilihan. Orang dekat Chairuman menyebutkan pilihan bergandeng dengan Fadly dianggap cukup berat. Kecuali tingkat popularitasnya yang belum teruji, minimnya pengalaman Fadly di birokrasi adalah bagian pertimbangan calon pemilih mengarahkan suara kepada mereka.

Demokrat Ketat

Syarat suara yang cukup tak membuat partai pemenang Pemilu ini pede alias percaya diri mengajukan pasangan sendiri. Sebagai pemilik 28 kursi di DPRD Sumut atau terbesar diantara parpol lain, Demokrat terus berkutat pada keputusan Majelis Tinggi. Anggota Tim 9 Partai Demokrat Johnny Allen Marbun (JAM) berulangkali merevisi nama-nama kuat yang masuk ke Majelis Tinggi. JAM berulangkali pula menyatakan Demokrat hanya akan mengusung kader sebagai Sumut 1. ‘’Tak ada jalan masuk bagi non-kader,’’ katanya saat dihubungi Sumut Pos di Jakarta.

Toh, lidah memang tak bertulang. Tiba-tiba saja nama Gus Irawan yang bukan kader masuk materi bahasan Majelis Tinggi. Dalam penelusuran koran ini nama Gus sesungguhnya terekam pada peringkat atas survei internal sejumlah parpol. Kendalanya Gus bukan kader parpol manapun. Wasekjen DPP Partai Demokrat Ramadhan Pohan yang bertandang ke Sumut Pos, belum lama ini, juga sempat menyingkap hasil survei internal partai berlambang mercy itu. ‘’Ada dua nama tertinggi, Gus Irawan dan Amri Tambunan. Amri itu seperti ‘sesuatu’, naiknya konstan sejak survei pertama dan kedua,’’ ujar mantan wartawan Jawa Pos di Washington, AS, ini. Sempat beredar kabar nama Gus terpental dari bursa. Alasannya sama: dia bukan kader. Tiga nama pun bersaing ketat yakni Amri Tambunan, Sutan Bhatoegana, dan Cornel Simbolon.

Ketiganya tercatat sebagai kader partai. Roda politik terus berputar kencang, dinamika menjelang dead line  pendaftaran di KPUD makin tak tentu arah. Informasi terakhir yang diperoleh Sumut Pos, Selasa (13/11), menyebutkan kans Gus maju lewat Demokrat kembali terbuka. Kabarnya kehadiran Gus di-backup sejumlah nama. Sebut saja Akbar Tandjung, yang punya hubungan spesial dengan Ketum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Keduanya adalah mantan pimpinan tertinggi pengurus besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Jamak diketahui jaringan HMI mengakar dan berjejaring di seluruh parpol papan atas.

Orang kedua yang tak kalah kuat adalah Ramadhan Pohan, yang terlihat akrab dengan Gus Irawan di lapangan futsal saat kedatangannya ke Medan. Pengamat politik dari USU Warjio menduga tengah terjadi masalah dilematis dus dualisme di tubuh Demokrat. ‘’Istilahnya sebutlah itu faksi-faksi,’’ katanya. Satu faksi menginginkan kader, namun di sisi lain, tak menyoal soal kader atau non-kader. ‘’Paling penting Demokrat menang di Pilgubsu, dan kontribusinya untuk 2014,’’ ujarnya. Justru yang ‘agak’ mengejutkan informasi soal koalisi Demokrat-PAN.

Memang, di level atas, perkoncoan dua parpol ini sebetulnya tak terlalu mengejutkan mengingat hubungan besan antara SBY selaku pembina Partai Demokrat dengan Ketum DPP PAN Hatta Rajasa. Bagi pemerhati politik Sumut yang mengagetkan adalah pilihan PAN menjatuhkan pilihan pada Wabup Sergai Soekirman sebagai wagubsu. Ibaratnya, siapapun gubernurnya dari Demokrat, wakilnya adalah Soekirman. Pengurus PAN Sumut memang sudah melakukan rapat pleno Pilgubsu.

Cagubsunya diputuskan Gus Irawan, sementara kader diplot sebagai  wakil. Nama yang diajukan ke pusat adalah Ketua DPW PAN Sumut, Syah Affandin alias Ondim. Sejumlah petinggi PAN Sumut ogah menerima begitu saja. Tak rela Ondim diputuskan sebagai cagubsu, beberapa diantara mereka menggalang perlawanan. Keputusan DPP PAN keluar juga. Soekirman akhirnya ditetapkan sebagai cagubsu dalam perkoncoan dengan Demokrat. ‘’Kami melihat peluang menang,’’ ungkap Ketua DPP PAN, Arya Bima, di Jakarta, akhir  pekan lalu.

PDIP Tersandera.

Tak cuma parpol lain, petinggi PDIP terbelenggu persoalan dilematis dalam penetapan cagub di Pilgubsu 2013. Nama mantan Sekdaprovsu Dr Rustam Effendi (RE) Nainggolan yang tercatat paling kuat sesuai hasil survei internal terhadang oleh mendadak masuknya nama Effendi Simbolon. Padahal nama RE Nainggolan sudah masuk ke meja Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sejak awal November lalu.

‘’Iya ada dinamika baru. Tapi tak usah dibahas terlalu jauh. Itu aspirasi yang muncul, jadi harus dihormati sebagai bagian proses politik,’’ ungkap Wakil Sekjen PDIP Sumut M Affan, kemarin (11/11). Affan yang akan disandingkan sebagai cawagubsu jika RE Nainggolan ditetapkan sebagai cagub PDIP, mengklaim nama Effendi tidak muncul tiba-tiba.

Kendati terlambat terdengar, diakui Affan, sosok Effendi yang juga anggota DPR itu dikabarkan masuk daftar bursa cagubsu pada pekan-pekan terakhir. Alhasil rencana PDIP menjadi parpol pertama yang mendaftarkan pasangan calonnya di KPUD Sumut terganjal dinamika politik internal yang terus menajam. ‘’Kita tunggu saja lah. Kalau sampai pada level itu saya tak bisa kasih komentar,’’ katanya terkesan hati-hati.

Dalam penelusuran Sumut Pos dari kalangan internal PDIP, nama Effendi Simbolon mengemuka setelah dua nama hampir fix diajukan ke Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dari dua nama itu, calon terkuat yang diajukan adalah RE Nainggolan.

Menurut sumber Sumut Pos di PDIP, nama RE Nainggolan mendapat ‘pengawalan’ ketat dari sejumlah politisi senior PDIP asal Sumut seperti Sabam Sirait dan Panda Nababan. Ada pula ‘proteksi’ khusus dari politisi muda Maruar Sirait dan Wasekjen DPP PDIP Enrico Sotarduga Sitorus yang dekat dengan putri Megawati, Puan Maharani.

Informasi yang dihimpun dari kalangan PDIP, masuknya Effendi Simbolon sebagai cagubsu, mengencang saat kepulangan Megawati Soekarnoputri dari ibadah haji. Ceritanya, dari pintu VIP bandara, Effendy terus menyosor Megawati hingga ke suatu ruangan khusus. Dalam pertemuan rahasia itu Megawati  cuma berjanji akan memberikan restu jika Effendi mampu membawa parpol lain sebagai kawan koalisi PDIP di Pilgubsu. ‘’Bu Mega memberi waktu empat hari,’’ kata sumber itu. Hari demi hari berganti. Pada hari keempat, Effendy kembali menghadap Megawati. ‘’Ibu kasih tambahan dua hari lagi,’’ kata sumber itu kembali.

Sejumlah sumber di PDIP menyebutkan Effendy mengalami kesulitan merangkul partai pendamping PDIP. Dalam situasi serba-sempit, partai yang tersisa yang kemungkinan besar bergandeng dengan PDIP adalah PDS dan PPRN. Jauh-jauh hari sebelumnya  PDS komitmen mengusung Dr RE Nainggolan. Acara deklarasi dilaksanakan di Hotel Antares di Jalan Sisingamangaraja, Medan. Manuver Effendy, sebut sumber itu, yang menggoda PDS dengan cek miliaran rupiah juga kandas di tengah jalan. ‘’Kami komitmen kepada pak RE Nainggolan. Ini soal marwah partai,’’ ujar Sekjen DPP PDS Sahat Sinaga di Jakarta.

Harapan Effendy tinggal merapat PPRN. Tapi kabar terakhir yang diterima Sumut Pos, partai bentukan DL Sitorus itu akhirnya komitmen mengusung RE. ‘’PPRN sudah sama kita. Tingal PDIP kita tunggu hasilnya hari ini,’’ begitu pesan singkat ke ponsel Sumut Pos, Selasa (13/1), pukul 08.28 WIB. Komitmen itu diperoleh sepulangnya Sabam Sirait dan RE Nainggolan dari Bandung. Politisi gaek yang mulai sakit-sakitan itu menemani RE dalam perbincangan enam mata dengan DL Sitorus di Sukamiskin, Bandung, tempat pengusaha perkebunan itu menghabiskan masa hukumannya.

‘’Sulit sekali posisi Effendy maju dari PDIP. Apa bisa dia ‘beli’ PPRN? Bisa-bisa diajak pak DL nanti ‘lomba bakar kerbau’ pakai uang seratus ribu,’’ ujar sumber itu terkekeh. Figur RE Nainggolan di bursa Pilgubsu memang mengilap dan punya magnet kuat. Rumor politik yang berkelindan di luar menyebutkan sejumlah parpol yang sudah punya cagubsu belum mau mendaftar gara-gara PDIP belum juga menetapkan calon gubernur. ‘’Begitu pak RE lepas dari PDIP, semua berebut menangkap,’’ kata sumber itu.

Banyak menduga, jangan-jangan PDIP masih menggunakan trik lama seperti di Pilgubsu 2008. Mendaftar terakhir untuk membuang kader yang membandel. (*)

Jalan terjal menuju perkoncoan partai politik dan pasangan calon menuju Pilgubsu, ibarat sesulit menebak arah calon pemilih itu sendiri. Sejumlah nama non-kader yang punya hasil survei peringkat atas terpaksa mati-matian bergerilya mendapatkan perahu politik. Kisah-kisah saling telikung juga mewarnainya.

RAGAM menu yang nikmat tak juga membuat selera makan si lawan bicara berlipat. Selesai menyantap sekadarnya lelaki berkumis ini buka suara. Air mukanya agak emosi menyebut nama seorang kepala daerah. Sang narasumber bersedia blak-blakan asalkan tokoh-tokoh yang disebut dalam cerita ditulis tanpa nama alias anonim. Cerita boleh ditulis di media, tapi urusan etika tetap dijaga, katanya memberi syarat. Dan, percakapan selepas santap siang itu pun bergulir tanpa titik-koma.

‘’Kami sudah bangun komitmen sejak lama. Jauh sebelum para bakal calon pasang baliho di sana-sini. Malah ke rumah ibunya kami sudah sama-sama, minta doa. Ibunya senang sekali,’’ kata lelaki mantan aktivis itu. Kalimat itu meluncur sebagai awal pembicaraan siang itu.

Dia tak mau menyebut nama si kepala daerah. Lelaki yang menjadi pendamping sejati bakal calon gubsu Dr RE Nainggolan ini juga minta namanya jangan dikorankan. ‘’Sudahlah, nanti pasti tahu juga,’’ katanya tersenyum kecut. Dia mengaku tak habis pikir kenapa tiba-tiba sang kepala daerah mendadak berubah haluan. Padahal komitmen sudah dibuat rapat-rapat. Awal melangkah nafas sehati-sepikir begitu kuat. Bahkan si pendamping sudah minta izin pada sang guru spritual yang  pesantrennya membentang di Sumut. ‘’Iya, kata guru itu,’’ dia mengenang pertemuan itu.

Apa lacur sang pendamping malah menghilang di tengah jalan saat kekompakan saling berpegang teguh mulai diuji banyak godaan. ‘’Kami kalah di tengah jalan. Padahal di PDS dia sudah mendaftar sebagai wakil gubernur. Kalau mau buka dokumennya silakan. Anda jadi tahu siapa orangnya,’’ ujarnya tersenyum.

Apa lacur, kedua orang yang sempat bersepakat itu berpisah tanpa pernah bersua sesudahnya. Tiba-tiba saja baliho sang pendamping menyebar bagai cendawan di musim hujan. Kali ini bukan sebagai Sumut 2, tapi sudah ‘naik kelas’ jadi calon gubernur. Siapapun mahfum kisah saling telikung bagai cerita pelipur lara dalam sinetron bernama politik. Komitmen menjadi kekal bila dalam perjalanan tak terbuka tawaran yang lebih menggoda. Lobi-lobi mendapatkan perahu partai politik ibarat mengarungi samudera yang penuh ombak. Perjalanan yang begitu melelahkan bagi mereka yang bukan besar di partai politik.

Dua perjalanan dilakoni sekaligus: mencari ‘perahu’ dus  mengenalkan wajah mereka kepada 11,3 juta calon pemilih di Sumatera Utara. Survei internal dari parpol terus berjalan tapi belum jaminan menjadi calon yang diusung. Mendaftar boleh saja, tapi urusan ‘lolos’ tentunya punya banyak faktor.
Dari penelusuran Sumut Pos, hasil survei terakhir partai-partai papan atas dominan pada lima nama. Gatot Pujo Nugroho adalah figur yang selalu berada pada posisi ‘5 besar’. Wajar saja mengingat wajah Gatot sebagai Plt Gubsu menyebar hingga ke pelosok desa. Para petinggi partai lain tak mengingkari itu. Sebagai pemangku kepala pemerintahan sepeninggal Syamsul Arifin yang ditahan KPK, kader PKS itu menjadi orang pertama di jajaran Pemprovsu. Keuntungan strategis ini membuat petinggi PKS di Jakarta menetapkannya sebagai calon tunggal. Jadilah PKS sebagai parpol pertama yang punya cagubsu. Kursi PKS di DPRD Sumut ada 11, artinya minus 4 kursi lagi untuk bisa meloloskan pasangan calon.

Ketentuan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan pasangan calon yang ikut di pentas Pilgubsu harus diusung parpol atau gabungan parpol dengan jumlah kursi 15 persen dari total kursi di DPRD, atau jika dipakai suara: 15 persen dari 5.235.575, akumulasi suara sah Pemilu 2009. Ini artinya gabungan parpol mesti mengoleksi 785.186,25 suara sah atau 785.187 dengan pembulatan ke atas. Angka yang bukan sedikit. Wajar bila parpol tanpa kursi di DPRD pun (non-seat) ‘pasang harga’. Istilahnya ‘no free lunch’, tak ada makan siang gratis. Semua ada harganya. Kendati biasa dipakai bisnis dan investasi, istilah ini menjadi amat condong bagi dunia politik.

Kisah PKS

Sebulan terakhir PKS mulai serius mencari kawan koalisi. Pencarian itu dimulai sejak Ramadan silam. Gatot sempat mengumpulkan ‘Sepuluh Parpol Pengusung Syamsul-Gatot’ alias Syampurno minus PPP. Toh berujung nihil. Para pengurus partai yang sebagian punya kursi kurang dari dua, dan sebagiannya tak punya perwakilan di parlemen itu ogah berkonco lagi. Alasannya, sakit hati gara-gara tak diperhatikan sesudah Syamsul-Gatot memenangkan Pilgubsu 2008. Para petinggi PKS di Sumut memutar akal. Gagal merangkul kembali Syampurno, PKS mulai mencari PPP, kawan koalisi seideologi. Entah berapa kali PKS-PPP bersua.

Paling akhir adalah pertemuan Gatot dengan Hasrul Azwar, petinggi PPP yang juga politisi senior Sumut yang duduk di parlemen senayan. Hingga kini belum ada hasil. ‘’Ah, kami cuma ngopi-ngopi sore. Saya sudah lama tak jumpa pak Hasrul. Kangen-kangenan saja. Kami banyak diskusi soal pembangunan di Sumut,’’ kata Gatot saat dikerubungi wartawan yang menunggunya sore itu di parkir resto di kawasan Polonia, Medan.

Hasrul juga idem itto. Dia tampak sulit bicara soal rencana perkoncoan PPP-PKS. ‘’Kami cuma ketemuan. Nggak ada yang penting,’’ katanya berkilah. Rencana koalisi dua parpol Islam paling besar ini pun terjebak jalan buntu. Seorang petinggi PKS berbisik soal ketidakcocokan nama calon yang dipasangkan dengan Gatot. Hasrul getol mendorong Gatot berdampingan dengan Fadly Nurzal. Tapi sejumlah kader inti PKS menolak nama itu. ‘’Kami tak sreg,’’ kata sumber itu kepada Sumut Pos. Banyak alasan yang melatarinya. Hanya saja sang sumber enggan membunyikannya karena merasa tak pantas. ‘’Pokoknya intinya nggak sreg saja,’’ katanya. Sumber lain meragukan hasil bila keduanya dipasangkan. PKS sudah bikin survei internal dengan kombinasi beberapa nama. Hasil tertinggi adalah Gus Irawan.

Mantan Dirut PT Bank Sumut ini masuk urutan pertama bila dipasangkan denga Gatot. Ada satu nama lagi, tapi sang sumber mengelak saat diminta menyebutkan. ‘’Ada lah,’’ katanya tergelak. Soal lain adalah popularitas Fadly yang tak bisa diandalkan, bahkan di dapilnya sendiri. Saat pencalonan di Pemilu legislatif 2009 jumlah suara Fadly dikabarkan terseok-seok untuk   memenuhi kuota bilangan pembagi pemilih (BPP) agar tembus parlemen provinsi. Hasrul yang beberapa kali dipancing wartawan soal nama cawagub, berulangkali mengatakan Fadly adalah kader terbaik yang disodorkan PPP. ‘’Fadly adalah kader terbaik kami. Ini marwah partai. Tak ada calon lagi,’’ katanya.

Angin segar itu disambut Fadly. Dia mulai getol membangun jaringan agar masuk ‘orbit’. Dari masjid-masjid di luar kota hingga pengajian Majelis Taklim didatangi, juga mengundang alim-ulama ke kantor DPW PPP Sumut. Kontestasi yang menajam di luar sana  memaksanya kerja ekstra agar PKS mengekalkannya sebagai cawagub. Paham satu ideologi adalah ‘senjata’ yang kerap disuarakan para alim-ulama. Toh hati para petinggi PKS Sumut tak juga luluh. ‘’Acuan kami hasil survei,’’ kata Sekjen DPW PKS Sumut Satria Yudha Wibowo. Rencana perkoncoan PPP-PKS membentur tembok tebal. Tarik-ulur begitu kental. Belakang hari petinggi PKS malah minta Gatot menggandeng cawagub ‘bermarga’.

Maksudnya mengakomodir pluralitas masyarakat  Sumut. Bisik-bisik petinggi PKS mengarah pada figur Letjen (Purn) AY Nasution. Mantan Pangkostrad ini adalah representasi keinginan petinggi PKS di Jakarta. Tambahan lagi, AY Nasution bukan figur asing di internal PKS. Dalam percakapan Sumut Pos di kediamannya sebelum Ramadan tahun ini, AY mengaku pernah ‘dipinang’ PKS untuk menjadi nomor satu, pendampingnya Gatot. Tim PKS yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Sumut, Sigit Pramono Asri mendatangi AY di rumah dinasnya di Cilangkap, Jakarta menjelang Pilgubsu 2008 silam.

‘’Kami shalat maghrib bersama. Saya imam-nya. Saya minta maaf pada mereka, saya mau meneruskan karir di militer,’’ ujar AY kala itu. Sejumlah petinggi PKS Sumut membisik besar kemungkinan AY digandeng bila mengakomodir keinginan Jakarta. Nama penting lainnya yang disimpan rapat-rapat adalah T Erry Nuradi. Ambisi Bupati Sergai ini menjadi cagubsu perlahan meredup. Partai Golkar yang membesarkan Erry mengistilahkannya kader ‘kurang umur’. Dia tebentur sosok Chairuman Harahap yang tergolong kader paling senior di Partai Golkar Sumut.

Lagi, survei internal mendudukkan Erry di urutan ‘nomor sepatu’ atau terpaut jauh di bawah Chairuman. Erry kalah segalanya: senioritas dan popularitas. Sedari awal PKK sudah membidik Erry menjadi wakil. Banyak faktor yang dinilai. Selain berhasil memimpin Sergai, adik kandung mendiang Gubsu T Rizal Nurdin ini juga dianggap representasi etnis Melayu. Sumber Sumut Pos menyebutkan kombinasi Gatot-Erry masuk urutan atas di survei internal PKS. Toh yang namanya pilihan selalu punya dua sisi. Hingga kini Erry masih tercatat sebagai kader Partai Golkar.

Jika menang di Pilgubsu 2013 bukan tak mustahil PKS terus ‘dibayang-bayangi’ kepiawaian Partai Golkar dalam proses politik di parlemen. Harga politik yang harus diperhitungkan PKS di masa depan. Akan halnya dengan Gus, petinggi PKS Sumut mengaku terpaksa mengubur dalam-dalam ‘perjodohan indah’ Gatot Pujo Nugroho-Gus Irawan (2 G baca: two ji).

Nama terakhir ini sudah bulat melangkah sebagai Sumut 1. Jalan ke arah sana juga  dibangun jauh-jauh hari. Dalam kunjungan ke redaksi Sumut Pos, awal bulan ini, Gus mengklaim gabungan parpol, seperti PKDI, PIS, PBB, dan PKB sudah komitmen mengusungnya. Jika ditambah Partai Gerindra (tiga kursi di DPRD Sumut) atau 144.913 suara sah hasil Pemilu 2009, persentase suara gabungan parpol pendukung Gus berkisar 16,4 atau lebih 1,4 persen dari syarat suara yang dibutuhkan.

Dinamika Golkar

Teka-teki siapa yang diusung partai beringin terjawab sudah. Kedatangan Ketum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie ke Medan, akhir pekan lalu memecahkan keraguan siapa cagub Partai Golkar di Pilgubsu 2013. Awalnya lawan berat Chairuman Harahap adalah Gus Irawan, mantan pimpinan Bank Sumut, yang juga adik politisi senior Partai Golkar Bomer Pasaribu. Ketidaksamaan pandangan Aburizal dan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung, yang menjadi cantelan Gus di partai beringin itu, justru menguntungkan posisi Chairuman.

Jauh sebelum pendaftaran dimulai, kader Partai Golkar Sumut ramai-ramai menyuarakan Gus sebagai figur paling oke memimpin Sumut. Sayangnya aspirasi itu tergilas pertarungan ‘gajah sama gajah’ di level atas. Sang Ketum Aburizal alias Ical lebih percaya Chairuman ketimbang Gus yang lebih berafiliasi ke Akbar. Perbedaan pandangan Ical dan Akbar soal pilihan capres dari Golkar membuat Ical bermanuver menajamkan taji di partai yang dipimpinnya. Ical terbang dari Aceh hingga ke Papua: meminta kesetiaan kader daerah pada dirinya sebagai satu-satunya capres Golkar, membabat habis kader-kader pembangkang, hingga menggunakan hak vetonya  memutuskan calon kepala daerah. Chairuman unggul taktis.

Kendati namanya berada di bawah Gus dalam survei internal Partai Golkar, tak ada alasan Ical untuk tak memercayainya sebagai cagubsu. Chairuman dianggap kader setia yang siap menyokong pencalonan Ical di Pilpres, sedangkan Gus? ‘’Dia kan bukan kader, pasti dia lebih patuh kepada AT (Akbar Tandjung, Red),’’ kata sumber terdekat Sumut Pos di kepengurusan partai pohon beringin. Hasil pilihan pada Chairuman juga berlandaskan survei terakhir yang menempatkannya pada peringkat terbaik dari seluruh kader. Kendati pilihan atas Chairuman sempat mengundang resistensi dari pengurus yang kurang setuju, namun hingga kini tak ada kader yang berani bersuara lantang. ‘’Mungkin trauma gara-gara pencopotan 12 pengurus kemarin,’’ ujar kader Partai Golkar yang bercokol di DPRD Kota Medan. Lepas dari dinamika itu, toh tugas tak kalah berat menunggu hingga Jumat (16/11) lusa.

Hingga kini Chairuman belum punya wakil. Pengamat politik USU, Ridwan Rangkuti, menilai Chairuman terlalu konsentrasi mengamankankan posisinya sebagai cagubsu sehingga alpa mencari wakil. ‘’Padahal posisi wakil juga penting memenangkan Pilkada. Jadi bukan cuma tempelan. Posisinya manjur sekali sebagai pengumpul suara atau vote getter di Pilkada ,’’ ujarnya.

Dalam kacamata Ridwan, ada sejumlah nama yang ditunggu hingga detik-detik terakhir oleh Chairuman sebagai pendampingnya. Nama Dr RE Nainggolan jika ‘dilepaskan’ oleh PDIP adalah prioritas pertama, dan perkoncoan dengan Fadly Nurzal (PPP) lebih pada ketiadaan pilihan. Orang dekat Chairuman menyebutkan pilihan bergandeng dengan Fadly dianggap cukup berat. Kecuali tingkat popularitasnya yang belum teruji, minimnya pengalaman Fadly di birokrasi adalah bagian pertimbangan calon pemilih mengarahkan suara kepada mereka.

Demokrat Ketat

Syarat suara yang cukup tak membuat partai pemenang Pemilu ini pede alias percaya diri mengajukan pasangan sendiri. Sebagai pemilik 28 kursi di DPRD Sumut atau terbesar diantara parpol lain, Demokrat terus berkutat pada keputusan Majelis Tinggi. Anggota Tim 9 Partai Demokrat Johnny Allen Marbun (JAM) berulangkali merevisi nama-nama kuat yang masuk ke Majelis Tinggi. JAM berulangkali pula menyatakan Demokrat hanya akan mengusung kader sebagai Sumut 1. ‘’Tak ada jalan masuk bagi non-kader,’’ katanya saat dihubungi Sumut Pos di Jakarta.

Toh, lidah memang tak bertulang. Tiba-tiba saja nama Gus Irawan yang bukan kader masuk materi bahasan Majelis Tinggi. Dalam penelusuran koran ini nama Gus sesungguhnya terekam pada peringkat atas survei internal sejumlah parpol. Kendalanya Gus bukan kader parpol manapun. Wasekjen DPP Partai Demokrat Ramadhan Pohan yang bertandang ke Sumut Pos, belum lama ini, juga sempat menyingkap hasil survei internal partai berlambang mercy itu. ‘’Ada dua nama tertinggi, Gus Irawan dan Amri Tambunan. Amri itu seperti ‘sesuatu’, naiknya konstan sejak survei pertama dan kedua,’’ ujar mantan wartawan Jawa Pos di Washington, AS, ini. Sempat beredar kabar nama Gus terpental dari bursa. Alasannya sama: dia bukan kader. Tiga nama pun bersaing ketat yakni Amri Tambunan, Sutan Bhatoegana, dan Cornel Simbolon.

Ketiganya tercatat sebagai kader partai. Roda politik terus berputar kencang, dinamika menjelang dead line  pendaftaran di KPUD makin tak tentu arah. Informasi terakhir yang diperoleh Sumut Pos, Selasa (13/11), menyebutkan kans Gus maju lewat Demokrat kembali terbuka. Kabarnya kehadiran Gus di-backup sejumlah nama. Sebut saja Akbar Tandjung, yang punya hubungan spesial dengan Ketum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Keduanya adalah mantan pimpinan tertinggi pengurus besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Jamak diketahui jaringan HMI mengakar dan berjejaring di seluruh parpol papan atas.

Orang kedua yang tak kalah kuat adalah Ramadhan Pohan, yang terlihat akrab dengan Gus Irawan di lapangan futsal saat kedatangannya ke Medan. Pengamat politik dari USU Warjio menduga tengah terjadi masalah dilematis dus dualisme di tubuh Demokrat. ‘’Istilahnya sebutlah itu faksi-faksi,’’ katanya. Satu faksi menginginkan kader, namun di sisi lain, tak menyoal soal kader atau non-kader. ‘’Paling penting Demokrat menang di Pilgubsu, dan kontribusinya untuk 2014,’’ ujarnya. Justru yang ‘agak’ mengejutkan informasi soal koalisi Demokrat-PAN.

Memang, di level atas, perkoncoan dua parpol ini sebetulnya tak terlalu mengejutkan mengingat hubungan besan antara SBY selaku pembina Partai Demokrat dengan Ketum DPP PAN Hatta Rajasa. Bagi pemerhati politik Sumut yang mengagetkan adalah pilihan PAN menjatuhkan pilihan pada Wabup Sergai Soekirman sebagai wagubsu. Ibaratnya, siapapun gubernurnya dari Demokrat, wakilnya adalah Soekirman. Pengurus PAN Sumut memang sudah melakukan rapat pleno Pilgubsu.

Cagubsunya diputuskan Gus Irawan, sementara kader diplot sebagai  wakil. Nama yang diajukan ke pusat adalah Ketua DPW PAN Sumut, Syah Affandin alias Ondim. Sejumlah petinggi PAN Sumut ogah menerima begitu saja. Tak rela Ondim diputuskan sebagai cagubsu, beberapa diantara mereka menggalang perlawanan. Keputusan DPP PAN keluar juga. Soekirman akhirnya ditetapkan sebagai cagubsu dalam perkoncoan dengan Demokrat. ‘’Kami melihat peluang menang,’’ ungkap Ketua DPP PAN, Arya Bima, di Jakarta, akhir  pekan lalu.

PDIP Tersandera.

Tak cuma parpol lain, petinggi PDIP terbelenggu persoalan dilematis dalam penetapan cagub di Pilgubsu 2013. Nama mantan Sekdaprovsu Dr Rustam Effendi (RE) Nainggolan yang tercatat paling kuat sesuai hasil survei internal terhadang oleh mendadak masuknya nama Effendi Simbolon. Padahal nama RE Nainggolan sudah masuk ke meja Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sejak awal November lalu.

‘’Iya ada dinamika baru. Tapi tak usah dibahas terlalu jauh. Itu aspirasi yang muncul, jadi harus dihormati sebagai bagian proses politik,’’ ungkap Wakil Sekjen PDIP Sumut M Affan, kemarin (11/11). Affan yang akan disandingkan sebagai cawagubsu jika RE Nainggolan ditetapkan sebagai cagub PDIP, mengklaim nama Effendi tidak muncul tiba-tiba.

Kendati terlambat terdengar, diakui Affan, sosok Effendi yang juga anggota DPR itu dikabarkan masuk daftar bursa cagubsu pada pekan-pekan terakhir. Alhasil rencana PDIP menjadi parpol pertama yang mendaftarkan pasangan calonnya di KPUD Sumut terganjal dinamika politik internal yang terus menajam. ‘’Kita tunggu saja lah. Kalau sampai pada level itu saya tak bisa kasih komentar,’’ katanya terkesan hati-hati.

Dalam penelusuran Sumut Pos dari kalangan internal PDIP, nama Effendi Simbolon mengemuka setelah dua nama hampir fix diajukan ke Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dari dua nama itu, calon terkuat yang diajukan adalah RE Nainggolan.

Menurut sumber Sumut Pos di PDIP, nama RE Nainggolan mendapat ‘pengawalan’ ketat dari sejumlah politisi senior PDIP asal Sumut seperti Sabam Sirait dan Panda Nababan. Ada pula ‘proteksi’ khusus dari politisi muda Maruar Sirait dan Wasekjen DPP PDIP Enrico Sotarduga Sitorus yang dekat dengan putri Megawati, Puan Maharani.

Informasi yang dihimpun dari kalangan PDIP, masuknya Effendi Simbolon sebagai cagubsu, mengencang saat kepulangan Megawati Soekarnoputri dari ibadah haji. Ceritanya, dari pintu VIP bandara, Effendy terus menyosor Megawati hingga ke suatu ruangan khusus. Dalam pertemuan rahasia itu Megawati  cuma berjanji akan memberikan restu jika Effendi mampu membawa parpol lain sebagai kawan koalisi PDIP di Pilgubsu. ‘’Bu Mega memberi waktu empat hari,’’ kata sumber itu. Hari demi hari berganti. Pada hari keempat, Effendy kembali menghadap Megawati. ‘’Ibu kasih tambahan dua hari lagi,’’ kata sumber itu kembali.

Sejumlah sumber di PDIP menyebutkan Effendy mengalami kesulitan merangkul partai pendamping PDIP. Dalam situasi serba-sempit, partai yang tersisa yang kemungkinan besar bergandeng dengan PDIP adalah PDS dan PPRN. Jauh-jauh hari sebelumnya  PDS komitmen mengusung Dr RE Nainggolan. Acara deklarasi dilaksanakan di Hotel Antares di Jalan Sisingamangaraja, Medan. Manuver Effendy, sebut sumber itu, yang menggoda PDS dengan cek miliaran rupiah juga kandas di tengah jalan. ‘’Kami komitmen kepada pak RE Nainggolan. Ini soal marwah partai,’’ ujar Sekjen DPP PDS Sahat Sinaga di Jakarta.

Harapan Effendy tinggal merapat PPRN. Tapi kabar terakhir yang diterima Sumut Pos, partai bentukan DL Sitorus itu akhirnya komitmen mengusung RE. ‘’PPRN sudah sama kita. Tingal PDIP kita tunggu hasilnya hari ini,’’ begitu pesan singkat ke ponsel Sumut Pos, Selasa (13/1), pukul 08.28 WIB. Komitmen itu diperoleh sepulangnya Sabam Sirait dan RE Nainggolan dari Bandung. Politisi gaek yang mulai sakit-sakitan itu menemani RE dalam perbincangan enam mata dengan DL Sitorus di Sukamiskin, Bandung, tempat pengusaha perkebunan itu menghabiskan masa hukumannya.

‘’Sulit sekali posisi Effendy maju dari PDIP. Apa bisa dia ‘beli’ PPRN? Bisa-bisa diajak pak DL nanti ‘lomba bakar kerbau’ pakai uang seratus ribu,’’ ujar sumber itu terkekeh. Figur RE Nainggolan di bursa Pilgubsu memang mengilap dan punya magnet kuat. Rumor politik yang berkelindan di luar menyebutkan sejumlah parpol yang sudah punya cagubsu belum mau mendaftar gara-gara PDIP belum juga menetapkan calon gubernur. ‘’Begitu pak RE lepas dari PDIP, semua berebut menangkap,’’ kata sumber itu.

Banyak menduga, jangan-jangan PDIP masih menggunakan trik lama seperti di Pilgubsu 2008. Mendaftar terakhir untuk membuang kader yang membandel. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/