26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dosen UNS Sukses Kembangkan Rumput Lokal Berstandar FIFA

PROFESI LANGKA: Rahayu mengamati rumput-rumput kembangan hasil penelitiannya di Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS Surakarta. Narendra Prasetya/Jawa Pos/JPNN.com
PROFESI LANGKA: Rahayu mengamati rumput-rumput kembangan hasil penelitiannya di Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS Surakarta. Narendra Prasetya/Jawa Pos/JPNN.com

SUMUTPOS.CO- Di balik buruknya kualitas kompetisi sepak bola nasional, Indonesia punya ahli rumput untuk stadion berstandar FIFA. Sayangnya, belum banyak daerah yang memanfaatkan hasil rekayasa genetis karya dosen Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu.

Laporan Narendra Prasetya, Jakarta

Namanya singkat, Rahayu. Tapi, jangan salah, dia bukan seorang perempuan, melainkan laki-laki tulen. Sehari-hari Rahayu adalah pengajar di Fakultas Pertanian UNS. Di luar tanggung jawab akademis itu, dia punya profesi langka, menjadi pengelola rumput lapangan Stadion Manahan Solo.

Karena itu, dia begitu khawatir terhadap kondisi rumput di stadion kebanggaan warga Kota Bengawan tersebut ketika terjadi kericuhan pasca pertandingan Divisi Utama antara Persis Solo melawan Martapura FC, 22 Oktober lalu. Dalam peristiwa itu, seorang pendukung tuan rumah tewas.

Rumput di Stadion Manahan pun sempat rusak setelah menjadi ajang kerusuhan para suporter kedua kesebelasan. Karena itu, cukup beralasan bila Rahayu merasa prihatin melihat kondisi rumput yang dirawatnya jadi kering serta berantakan.

’’Padahal, merawatnya tidak mudah lho. Perlu waktu lama untuk memelihara rumput stadion sepak bola,’’ ujar Rahayu ketika ditemui di kantornya, Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS, kemarin (10/11).

Rahayu merupakan doktor dengan spesialisasi rumput lapangan sepak bola yang diminta pengelola Stadion Manahan untuk membantu merawat rumput di stadion tersebut. Bukan sekadar ahli merawat rumput, dia juga mengembangkan 30-an galur atau spesies rumput zoysia yang biasa digunakan untuk lapangan sepak bola.

’’Tidak semua sesuai dengan standar FIFA, memang. Tapi, dari 30 itu, lima di antaranya sudah mendekati grade yang disyaratkan,’’ jelasnya.

Rahayu menuturkan, rumput yang dikembangkannya tersebut mirip rumput jenis zoysia japonica. Rumput-rumput itu ditemukannya di beberapa kawasan di Jateng-DIJ dan sebagian Jatim serta Bali. Itu terjadi setelah dirinya meneliti rumput secara khusus sejak 2011.

Doktor di Jurusan Manajemen Rumput Dankook University, Cheonan City, Korea Selatan, itu melakukan penelitian bersama beberapa mahasiswanya di UNS. ’’Rata-rata saya temukan di sekitar Gunung Merapi, Merbabu, dan Sindoro. Karena itu, banyak yang menyebut rumput ini sebagai rumput Merapi,’’ ungkap pria 39 tahun tersebut.

Untuk penelitian itu, Rahayu mengambil sampel rumput zoysia dari masing-masing objek penelitian. Dari rumput tersebut, dia lalu mengambil plasma nutfah-nya dan dicek dengan ember berdiameter 80 sentimeter. Dari situ, bisa dilihat bagaimana level kualitas rumput itu, baik secara visual maupun fungsional.

Untuk visual, Rahayu mengamati warnanya. Semakin hijau semakin bagus. Kerapatannya juga dibandingkan. Yang ideal memiliki kerapatan sekitar 0,5 sentimeter. Daun lebar dan warna yang kontras antara muka dan belakang juga jadi nilai plus. Sementara itu, untuk fungsional, bisa dilihat dari kecepatannya tumbuh, kedalaman akarnya, hingga ketahanannya dari cuaca kering. Semua itu diuji dengan metode NTEP (National Turfgrass Evaluation Program).

Rahayu menjelaskan, rumput lapangan sepak bola mempunyai skala 1-9 untuk grade. Jenis rumput yang sudah banyak dikomersialkan di pasaran rata-rata punya grade 8,5 ke atas. ’’Kalau rumput yang saya kembangkan ini, grade-nya 7,5 hingga 8. Sedangkan rumput impor yang ditanam di Indonesia, grade-nya biasanya turun ke level 8. Perbedaan iklim antara tempat ditemukannya rumput dan tempat barunya sering menjadi penyebab,’’ bebernya.

Stadion-stadion di Indonesia rata-rata menggunakan rumput jenis zoysia matrella (Linn) merr dan bermuda (cynodon dactilon). Contohnya, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta; Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring (GSJ), Palembang; hingga Stadion Maguwoharjo Sleman, Jogjakarta.

Jika zoysia matrella masuk kelas 1, kelas 2-nya adalah rumput bermuda. Beberapa stadion yang memakai rumput bermuda adalah Stadion Patriot, Bekasi, dan Stadion Manahan, Solo. ’’Sekitar 30 persen rumput di Stadion Manahan berjenis zoysia dari Merapi. Selebihnya campuran matrella dan bermuda,’’ ungkap bapak empat anak itu.

Kelebihan rumput zoysia Merapi, kata Rahayu, adalah lebih sesuai dengan iklim Indonesia sehingga lebih tahan terhadap kondisi basah maupun kering cuaca. Juga, bisa menghemat pupuk dan air. Akarnya lebih kuat daripada rumput impor. ’’Yang tak kalah penting, pembibitannya mudah,’’ tuturnya.

Penggunaan rumput zoysia Merapi mampu menghemat biaya pemasangan dan perawatan hingga 50 persen. Untuk menginstal lapangan sepak bola dengan rumput lokal hasil pengembangan Rahayu dan tim UNS, hanya dibutuhkan dana sekitar Rp 35 ribu per meter persegi. Plus biaya tanam sekitar Rp 5 ribu per meter persegi. Jadi, total Rp 40 ribu. Sementara itu, dengan rumput impor, biayanya minimal Rp 60 ribu.

Sayangnya, sampai saat ini belum banyak stadion di Indonesia yang mau menjajal rumput temuan Rahayu tersebut. Baru proyek pembangunan stadion anyar di Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang menggunakan rumput lokal secara penuh.

Menurut Rahayu, kendala regulasi menjadi penghalang belum luasnya pasar rumput lokal menjadi landasan lapangan sepak bola. Sebab, universitas tidak boleh menawarkan produk ke pihak swasta. Apalagi kebanyakan pengelola stadion punya link sendiri dengan CV atau kontraktor pengembang rumput lapangan sepak bola.

Tahun depan Rahayu berencana mengajak kerja sama para kontraktor pemasangan rumput lapangan sepak bola. ’’Mungkin untuk saat ini baru Stadion Manahan yang kami garap. Tahun depan kami akan membuka lebih banyak lagi jaringan kerja sama dengan kontraktor,’’ ujarnya.

Meski mulai berancang-ancang melebarkan sayap memasarkan rumput hasil kembangan, Rahayu belum punya pikiran menamai jenis rumputnya. ’’Belum ada pikiran untuk menamai rumput-rumput itu. Sementara zoysia native dulu sambil mencari link-link dan kemudian baru mematenkan namanya.’’

Memang, secara kualitas, daun dan akar rumput lokal lebih lebar dan kuat jika dibandingkan dengan zoysia matrella dan bermuda. Demikian pula manfaatnya bagi permainan sepak bola. Untuk uji pantulan, levelnya memang belum bisa diketahui. Tapi, kelembutannya tidak kalah dari matrella dan bermuda.

’’Kami tahun depan berencana memakai rumput lokal saja. Sebab, ternyata lebih kuat dan lebih bagus,’’ kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Stadion Manahan Heru Prayitno.

Menurut dia, dari sisi kekuatan, rumput zoysia Merapi mempunyai power lebih besar dalam mencengkeram. Karena itu, apabila intensitas penggunaan lapangan lebih sering, rumput tidak mudah rusak. ’’Kalau kena pull sepatu bola, rumput Merapi tidak mengelupas. Berbeda dengan bermuda yang cengkeramannya kurang kuat. Begitu terkena pull, akan mudah mengelupas. Mau tidak mau, perlu perawatan ekstra,’’ paparnya.

Pengeluaran anggaran untuk perawatan rumput di Stadion Manahan bisa mencapai Rp 10 juta per bulan. Heru optimistis, bila semua lapisan rumput di Manahan nanti diganti zoysia Merapi, pengeluaran bisa ditekan. ’’Kami memang berharap bisa lebih irit dengan rumput Merapi,’’ lanjutnya.

Karena itu, pengelola Stadion Manahan bersiap menggandeng Rahayu dan tim UNS untuk mengembangkan penangkaran rumput Merapi di sekitar Manahan. ’’Target kami, dalam dua tahun ke depan sudah bisa menggunakan rumput lokal ini. Bukan lagi 30 persen seperti saat ini,’’ katanya.

Kelebihan daya cengkeram rumput Merapi mulai menarik perhatian beberapa pengelola stadion di Jateng dan DIJ. Salah satunya pengelola Stadion Maguwoharjo, Sleman. Kepala UPT Stadion Maguwoharjo Sumadi mengakui perawatan rumput jenis zoysia matrella menelan biaya tidak murah.

Pihaknya sudah sering menghadapi beberapa kelemahan rumput matrella. Mulai gampangnya rumput liar tumbuh hingga mudahnya rusak. Karena itu, Maguwoharjo berencana menyusul Manahan menggunakan rumput Merapi.

’’Kami akan mencobanya lebih dahulu di sisi taman selatan stadion. Dari penanaman pertama itu nanti, kami melihat seberapa kuat rumput tersebut. Kalau dari pengujian itu berhasil, kami bisa mengusulkan untuk mulai menggunakan rumput Merapi itu,’’ jelasnya.

Selain daya cengkeramnya yang kuat, ada sisi lain yang akan dimanfaatkan pengelola stadion kandang klub PSS Sleman itu. Mulai kecepatan tumbuh dan kekuatan rumput tersebut jika dipakai dalam intensitas tinggi.

’’Kalau memang bisa menekan pengeluaran, mengapa tidak (menggunakan rumput lokal, Red)?’’ tegasnya. (*/c5/ari)

PROFESI LANGKA: Rahayu mengamati rumput-rumput kembangan hasil penelitiannya di Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS Surakarta. Narendra Prasetya/Jawa Pos/JPNN.com
PROFESI LANGKA: Rahayu mengamati rumput-rumput kembangan hasil penelitiannya di Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS Surakarta. Narendra Prasetya/Jawa Pos/JPNN.com

SUMUTPOS.CO- Di balik buruknya kualitas kompetisi sepak bola nasional, Indonesia punya ahli rumput untuk stadion berstandar FIFA. Sayangnya, belum banyak daerah yang memanfaatkan hasil rekayasa genetis karya dosen Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu.

Laporan Narendra Prasetya, Jakarta

Namanya singkat, Rahayu. Tapi, jangan salah, dia bukan seorang perempuan, melainkan laki-laki tulen. Sehari-hari Rahayu adalah pengajar di Fakultas Pertanian UNS. Di luar tanggung jawab akademis itu, dia punya profesi langka, menjadi pengelola rumput lapangan Stadion Manahan Solo.

Karena itu, dia begitu khawatir terhadap kondisi rumput di stadion kebanggaan warga Kota Bengawan tersebut ketika terjadi kericuhan pasca pertandingan Divisi Utama antara Persis Solo melawan Martapura FC, 22 Oktober lalu. Dalam peristiwa itu, seorang pendukung tuan rumah tewas.

Rumput di Stadion Manahan pun sempat rusak setelah menjadi ajang kerusuhan para suporter kedua kesebelasan. Karena itu, cukup beralasan bila Rahayu merasa prihatin melihat kondisi rumput yang dirawatnya jadi kering serta berantakan.

’’Padahal, merawatnya tidak mudah lho. Perlu waktu lama untuk memelihara rumput stadion sepak bola,’’ ujar Rahayu ketika ditemui di kantornya, Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS, kemarin (10/11).

Rahayu merupakan doktor dengan spesialisasi rumput lapangan sepak bola yang diminta pengelola Stadion Manahan untuk membantu merawat rumput di stadion tersebut. Bukan sekadar ahli merawat rumput, dia juga mengembangkan 30-an galur atau spesies rumput zoysia yang biasa digunakan untuk lapangan sepak bola.

’’Tidak semua sesuai dengan standar FIFA, memang. Tapi, dari 30 itu, lima di antaranya sudah mendekati grade yang disyaratkan,’’ jelasnya.

Rahayu menuturkan, rumput yang dikembangkannya tersebut mirip rumput jenis zoysia japonica. Rumput-rumput itu ditemukannya di beberapa kawasan di Jateng-DIJ dan sebagian Jatim serta Bali. Itu terjadi setelah dirinya meneliti rumput secara khusus sejak 2011.

Doktor di Jurusan Manajemen Rumput Dankook University, Cheonan City, Korea Selatan, itu melakukan penelitian bersama beberapa mahasiswanya di UNS. ’’Rata-rata saya temukan di sekitar Gunung Merapi, Merbabu, dan Sindoro. Karena itu, banyak yang menyebut rumput ini sebagai rumput Merapi,’’ ungkap pria 39 tahun tersebut.

Untuk penelitian itu, Rahayu mengambil sampel rumput zoysia dari masing-masing objek penelitian. Dari rumput tersebut, dia lalu mengambil plasma nutfah-nya dan dicek dengan ember berdiameter 80 sentimeter. Dari situ, bisa dilihat bagaimana level kualitas rumput itu, baik secara visual maupun fungsional.

Untuk visual, Rahayu mengamati warnanya. Semakin hijau semakin bagus. Kerapatannya juga dibandingkan. Yang ideal memiliki kerapatan sekitar 0,5 sentimeter. Daun lebar dan warna yang kontras antara muka dan belakang juga jadi nilai plus. Sementara itu, untuk fungsional, bisa dilihat dari kecepatannya tumbuh, kedalaman akarnya, hingga ketahanannya dari cuaca kering. Semua itu diuji dengan metode NTEP (National Turfgrass Evaluation Program).

Rahayu menjelaskan, rumput lapangan sepak bola mempunyai skala 1-9 untuk grade. Jenis rumput yang sudah banyak dikomersialkan di pasaran rata-rata punya grade 8,5 ke atas. ’’Kalau rumput yang saya kembangkan ini, grade-nya 7,5 hingga 8. Sedangkan rumput impor yang ditanam di Indonesia, grade-nya biasanya turun ke level 8. Perbedaan iklim antara tempat ditemukannya rumput dan tempat barunya sering menjadi penyebab,’’ bebernya.

Stadion-stadion di Indonesia rata-rata menggunakan rumput jenis zoysia matrella (Linn) merr dan bermuda (cynodon dactilon). Contohnya, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta; Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring (GSJ), Palembang; hingga Stadion Maguwoharjo Sleman, Jogjakarta.

Jika zoysia matrella masuk kelas 1, kelas 2-nya adalah rumput bermuda. Beberapa stadion yang memakai rumput bermuda adalah Stadion Patriot, Bekasi, dan Stadion Manahan, Solo. ’’Sekitar 30 persen rumput di Stadion Manahan berjenis zoysia dari Merapi. Selebihnya campuran matrella dan bermuda,’’ ungkap bapak empat anak itu.

Kelebihan rumput zoysia Merapi, kata Rahayu, adalah lebih sesuai dengan iklim Indonesia sehingga lebih tahan terhadap kondisi basah maupun kering cuaca. Juga, bisa menghemat pupuk dan air. Akarnya lebih kuat daripada rumput impor. ’’Yang tak kalah penting, pembibitannya mudah,’’ tuturnya.

Penggunaan rumput zoysia Merapi mampu menghemat biaya pemasangan dan perawatan hingga 50 persen. Untuk menginstal lapangan sepak bola dengan rumput lokal hasil pengembangan Rahayu dan tim UNS, hanya dibutuhkan dana sekitar Rp 35 ribu per meter persegi. Plus biaya tanam sekitar Rp 5 ribu per meter persegi. Jadi, total Rp 40 ribu. Sementara itu, dengan rumput impor, biayanya minimal Rp 60 ribu.

Sayangnya, sampai saat ini belum banyak stadion di Indonesia yang mau menjajal rumput temuan Rahayu tersebut. Baru proyek pembangunan stadion anyar di Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang menggunakan rumput lokal secara penuh.

Menurut Rahayu, kendala regulasi menjadi penghalang belum luasnya pasar rumput lokal menjadi landasan lapangan sepak bola. Sebab, universitas tidak boleh menawarkan produk ke pihak swasta. Apalagi kebanyakan pengelola stadion punya link sendiri dengan CV atau kontraktor pengembang rumput lapangan sepak bola.

Tahun depan Rahayu berencana mengajak kerja sama para kontraktor pemasangan rumput lapangan sepak bola. ’’Mungkin untuk saat ini baru Stadion Manahan yang kami garap. Tahun depan kami akan membuka lebih banyak lagi jaringan kerja sama dengan kontraktor,’’ ujarnya.

Meski mulai berancang-ancang melebarkan sayap memasarkan rumput hasil kembangan, Rahayu belum punya pikiran menamai jenis rumputnya. ’’Belum ada pikiran untuk menamai rumput-rumput itu. Sementara zoysia native dulu sambil mencari link-link dan kemudian baru mematenkan namanya.’’

Memang, secara kualitas, daun dan akar rumput lokal lebih lebar dan kuat jika dibandingkan dengan zoysia matrella dan bermuda. Demikian pula manfaatnya bagi permainan sepak bola. Untuk uji pantulan, levelnya memang belum bisa diketahui. Tapi, kelembutannya tidak kalah dari matrella dan bermuda.

’’Kami tahun depan berencana memakai rumput lokal saja. Sebab, ternyata lebih kuat dan lebih bagus,’’ kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Stadion Manahan Heru Prayitno.

Menurut dia, dari sisi kekuatan, rumput zoysia Merapi mempunyai power lebih besar dalam mencengkeram. Karena itu, apabila intensitas penggunaan lapangan lebih sering, rumput tidak mudah rusak. ’’Kalau kena pull sepatu bola, rumput Merapi tidak mengelupas. Berbeda dengan bermuda yang cengkeramannya kurang kuat. Begitu terkena pull, akan mudah mengelupas. Mau tidak mau, perlu perawatan ekstra,’’ paparnya.

Pengeluaran anggaran untuk perawatan rumput di Stadion Manahan bisa mencapai Rp 10 juta per bulan. Heru optimistis, bila semua lapisan rumput di Manahan nanti diganti zoysia Merapi, pengeluaran bisa ditekan. ’’Kami memang berharap bisa lebih irit dengan rumput Merapi,’’ lanjutnya.

Karena itu, pengelola Stadion Manahan bersiap menggandeng Rahayu dan tim UNS untuk mengembangkan penangkaran rumput Merapi di sekitar Manahan. ’’Target kami, dalam dua tahun ke depan sudah bisa menggunakan rumput lokal ini. Bukan lagi 30 persen seperti saat ini,’’ katanya.

Kelebihan daya cengkeram rumput Merapi mulai menarik perhatian beberapa pengelola stadion di Jateng dan DIJ. Salah satunya pengelola Stadion Maguwoharjo, Sleman. Kepala UPT Stadion Maguwoharjo Sumadi mengakui perawatan rumput jenis zoysia matrella menelan biaya tidak murah.

Pihaknya sudah sering menghadapi beberapa kelemahan rumput matrella. Mulai gampangnya rumput liar tumbuh hingga mudahnya rusak. Karena itu, Maguwoharjo berencana menyusul Manahan menggunakan rumput Merapi.

’’Kami akan mencobanya lebih dahulu di sisi taman selatan stadion. Dari penanaman pertama itu nanti, kami melihat seberapa kuat rumput tersebut. Kalau dari pengujian itu berhasil, kami bisa mengusulkan untuk mulai menggunakan rumput Merapi itu,’’ jelasnya.

Selain daya cengkeramnya yang kuat, ada sisi lain yang akan dimanfaatkan pengelola stadion kandang klub PSS Sleman itu. Mulai kecepatan tumbuh dan kekuatan rumput tersebut jika dipakai dalam intensitas tinggi.

’’Kalau memang bisa menekan pengeluaran, mengapa tidak (menggunakan rumput lokal, Red)?’’ tegasnya. (*/c5/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/