25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ubah Image Ndeso dan Klenik Jadi Daerah Modern

RAKA DENNY/JAWAPOS/jpnn PENGHARGAAN: Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menerima penghargaan Indonesia Marketing Champion 2014 bidang pemerintahan versi Markplus Inc.
RAKA DENNY/JAWAPOS/jpnn
PENGHARGAAN:
Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menerima penghargaan Indonesia Marketing Champion 2014 bidang pemerintahan versi Markplus Inc.

SUMUTPOS.CO- Selama empat tahun Bupati Abdullah Azwar Anas bekerja keras mengubah image Banyuwangi yang berbau klenik (mistik) menjadi daerah “sensasional”. Kerja keras itu pun menghasilkan banyak apresiasi. Yang terbaru, Anas meraih penghargaan Indonesia Marketing Champion (IMC) 2014 bidang pemerintahan versi MarkPlus Inc.

Gaya Abdullah Azwar Anas yang santai dan informal membuat suasana makan siang di Bandara Juanda, Surabaya, kemarin (12/12) begitu cair. Bupati muda dan sangat energik itu terlihat ceria. Maklum, kerja kerasnya membangun Banyuwangi terus menuai penilaian positif dari berbagai lembaga. Termasuk ketika Kamis malam lalu (11/12) MarkPlus menganugerahkan penghargaan IMC 2014 untuk bidang pemerintahan kepada dia.

Meskipun tidak memiliki banyak waktu lantaran jadwal penerbangan pesawat yang akan mengantarnya ke Banyuwangi sangat mepet, pria 41 tahun itu menyempatkan diri untuk berbagi cerita tentang perjalanannya mengubah citra Banyuwangi. Yang dulu dikenal sebagai pusat dukun santet menjadi daerah yang populer di bidang wisata dan budaya. Bahkan hingga ke mancanegara.

Anas mengungkapkan, saat awal-awal menjabat bupati pada 2010, dirinya melihat ada masalah besar di Banyuwangi. Yaitu masalah image negatif yang melekat di kabupaten ujung timur Jawa Timur tersebut. Daerah itu lebih dikenal sebagai pusat klenik dan warganya yang berkarakter keras.

“Saya sempat miris. Sebab, sampai ada warga Banyuwangi yang tidak mau mengakui daerahnya sendiri. Mereka malah bangga mengaku sebagai orang Jember atau kota lain,” papar pejabat asli Banyuwangi tersebut.

Rasa kurang percaya diri sebagian masyarakat tanah Blambangan itu membuat mereka tidak menyadari potensi besar yang dimiliki daerahnya. Apalagi, Banyuwangi kala itu dicitrakan ekstrem sebagai daerah yang ditakuti karena santetnya. Itu sebabnya, tak banyak warga kota lain atau luar negeri yang mau berkunjung ke Banyuwangi. “Jangankan membanggakan daerahnya, warga yang mau mengakui dirinya berasal dari Banyuwangi saja sangat jarang,” kisahnya.

Sejak itu Anas berpikir, inilah saatnya mengubah citra negatif tersebut. Langkah awal yang dilakukannya adalah membuat kegiatan yang melibatkan sebanyak-banyaknya rakyat Banyuwangi dan diberitakan di mana-mana. Dengan cara begitu, secara pelahan tapi pasti rakyat Banyuwangi punya kebanggaan terhadap daerah sendiri. “Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan itu sangat diperlukan untuk mengubah image,” tuturnya.

Yang pertama dia lakukan adalah membuat program yang berfokus pada kesejahteraan rakyat dengan mengentaskan kemiskinan. Caranya cukup banyak. Salah satunya lewat program konektivitas yang berupa pembuatan bandar udara (bandara) komersial. Dengan bandara, Banyuwangi akan dengan mudah dikunjungi orang luar. Itu bukti bahwa Banyuwangi terbuka untuk siapa saja.

“Dulu orang luar menilai Banyuwangi sangat jauh dan ndeso. Tapi, setelah ada bandara, image Banyuwangi yang dulu terasing berangsur hilang. Kesannya sebaliknya. Kini orang dengan mudah mengunjungi daerah kami lewat apa saja, termasuk dengan pesawat,” papar Anas.

Suami Ipuk Fiestiandani itu memang cerdas dan kreatif dalam membangun image positif daerahnya. Dia merevitalisasi program-program yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik dan mengglobal. Misalnya Festival Budaya Banyuwangi yang dulu diselenggarakan ala 17 Agustusan kini berskala nasional dengan menampilkan seniman lokal maupun ibu kota. Kemasannya pun lebih modern. Dengan begitu, transformasi budaya itu dapat diterima masyarakat luas, termasuk para turis mancanegara.

“Even ini seperti jembatan antara modernitas dan lokalitas,” imbuhnya.

Program tersebut  tidak boleh dibuat begitu saja, tetapi harus terus bergulir di daerah. Anas pun terus mendorong target-target yang tidak terukur. Misalnya, angka kemiskinan harus turun, indeks pembangunan manusia (IPM) harus meningkat, dan ekonomi rakyat harus naik. “Kalau itu tidak naik, tentu masyarakat tidak akan percaya dengan program-program yang kami kerjakan,” ujarnya.

Selama setahun Anas membangun kepercayaan internal agar mendapat dukungan publik yang baik dalam setiap programnya. Upaya tersebut berbuah manis. Angka kemiskinan di Banyuwangi kini turun drastis. Pada 2010 masih 20,4 persen, kini menjadi 9,5 persen. Sedangkan pendapatan per kapita Banyuwangi meningkat dari Rp15 juta menjadi Rp21,8 juta per orang per tahun. “Kami sudah bisa menyalip Malang yang Rp19,6 juta,” jelasnya.

Setelah berhasil membangun image dan mendapat dukungan publik, Anas pun mulai mendorong brand Banyuwangi sebagai Sunrise of Java. Caranya, digelar berbagai festival. Selain festival budaya, ada Banyuwangi Ethno Carnival, Banyuwangi Jazz Festival, Gandrung Sewu, dan sebagainya.

Anas juga mengembangkan program pariwisata yang berfokus pada ecotourism. Itu dilakukan untuk membuat brand yang berbeda dengan daerah lain. “Banyuwangi berbeda dengan Surabaya atau Malang. Tidak mungkin kami ikut-ikutan jor-joran bangun mal. Karena Banyuwangi dikelilingi taman nasional, maka kami buat pariwisata ecotourism,” papar pria lulusan Fakultas Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta itu.

Banyuwangi kini berani membuat perubahan dalam bidang pariwisata. Anas pun gencar “menjual” keindahan alam, pantai, gunung, dan keramahtamahan masyarakat Banyuwangi. Bahkan, kini Banyuwangi telah ditetapkan sebagai Kota Welas Asih dalam program Compassion Action International.

Untuk itu, pemkab harus melakukan konsolidasi infrastruktur. Mulai perbaikan dan pembangunan jalan, jembatan, air bersih, dan teknologi informasi (TI) yang canggih. Sebab, menurut Anas, upaya untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata ke Banyuwangi tidak akan terwujud jika tidak didukung infrastruktur yang baik.

Setelah itu, baru konsolidasi budaya yang ditingkatkan. Misalnya, warga yang semula kurang peduli kebersihan kini jadi cinta kebersihan. “Perilaku masyarakat juga berubah. Tadinya cuek terhadap orang luar, kini jadi baik dan ramah,” jelasnya.

Anas kini bisa bangga melihat perubahan image yang cukup signifikan di daerahnya. Sebab, Banyuwangi pernah mendapat predikat sebagai kabupaten terjorok nomor 2 di Jawa Timur pada 2010. “Nah, sekarang kami terus berbenah,” katanya.

Keberhasilan Anas mempromosikan Banyuwangi ke seluruh penjuru Indonesia tersebut sama sekali tidak melibatkan tim khusus. Semua promosi dilakukan langsung oleh seluruh pegawai pemkab. Bahkan, para PNS di lingkungan pemkab diwajibkan memahami program dan misi Banyuwangi. “Kami targetkan kepala dinas bisa menguasai dan menjelaskan arah dan tujuan program pemda,” ujarnya.

Pelibatan para birokrat untuk menjadi tenaga marketing bagi Banyuwangi, menurut Anas, adalah sesuatu yang ditekankan. Pada semua event, sebisanya kepanitiaan adalah pegawai pemkab. Dengan demikian, dalam konteks meng-advocate atau meyakinkan para “konsumen”, para pegawai di lingkungan pemkab bisa melakukannya dengan baik.

Dalam even festival musik jazz, misalnya. Tahun ini mereka masih menggunakan bantuan event organizer. Namun, tahun depan penyelenggaraan event yang masuk rangkaian Banyuwangi Festival itu akan sepenuhnya ditangani pegawai pemkab.

Keterlibatan birokrat dalam program-program pemkab itu, kata Anas, membuat dirinya lebih banyak punya “stamina” untuk melakukan lebih banyak hal. “Kalau semua saya pikirkan dan jalankan sendiri, tanpa terdelegasi dengan baik kepada para birokrat, saya akan kehabisan tenaga. Di tengah jalan akan dehidrasi,” jelasnya.

Sementara itu, Deputy CEO MarkPlus Inc. Michael Hermawan mengatakan, para dewan juri menilai Anas betul-betul bisa memoles potensi yang ada di Banyuwangi. Itu tampak dari cukup terkenalnya guest house di area Pendapa Banyuwangi hingga meriahnya setiap festival musik hingga beragam carnival yang digelar di Bumi Blambangan itu.

“Jadi, Pak Anas itu tidak hanya menerapkan marketing murni, tapi juga online. Jadi, dia marketer sejati. Benar-benar mengerti segmen,” ungkapnya.

Menurut Michael, strategi marketing yang diterapkan Anas untuk meningkatkan value dari wilayahnya sudah bagus dan tinggal meneruskan. Itu seiring dengan ditambahnya akses transportasi dan peningkatan infrastruktur. “Jadi, karena sudah mulai terbuka di media dan sebagainya, jadi akses harus ditambah lagi,” ujarnya.

Selain menerapkan strategi marketing terhadap produk, dalam hal ini Banyuwangi, Anas berhasil meraih Indonesia Marketing Champion 2014 karena memperhatikan internal customer. Contohnya, Anas memberikan pengarahan yang intensif kepada para pegawainya agar menguasai setiap detail strategi marketing yang diterapkan. “Ini yang membuat Pak Anas unggul dibandingkan nominasi kepala daerah lainnya yang juga bagus-bagus,” terangnya. (*/c10/ari)

RAKA DENNY/JAWAPOS/jpnn PENGHARGAAN: Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menerima penghargaan Indonesia Marketing Champion 2014 bidang pemerintahan versi Markplus Inc.
RAKA DENNY/JAWAPOS/jpnn
PENGHARGAAN:
Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menerima penghargaan Indonesia Marketing Champion 2014 bidang pemerintahan versi Markplus Inc.

SUMUTPOS.CO- Selama empat tahun Bupati Abdullah Azwar Anas bekerja keras mengubah image Banyuwangi yang berbau klenik (mistik) menjadi daerah “sensasional”. Kerja keras itu pun menghasilkan banyak apresiasi. Yang terbaru, Anas meraih penghargaan Indonesia Marketing Champion (IMC) 2014 bidang pemerintahan versi MarkPlus Inc.

Gaya Abdullah Azwar Anas yang santai dan informal membuat suasana makan siang di Bandara Juanda, Surabaya, kemarin (12/12) begitu cair. Bupati muda dan sangat energik itu terlihat ceria. Maklum, kerja kerasnya membangun Banyuwangi terus menuai penilaian positif dari berbagai lembaga. Termasuk ketika Kamis malam lalu (11/12) MarkPlus menganugerahkan penghargaan IMC 2014 untuk bidang pemerintahan kepada dia.

Meskipun tidak memiliki banyak waktu lantaran jadwal penerbangan pesawat yang akan mengantarnya ke Banyuwangi sangat mepet, pria 41 tahun itu menyempatkan diri untuk berbagi cerita tentang perjalanannya mengubah citra Banyuwangi. Yang dulu dikenal sebagai pusat dukun santet menjadi daerah yang populer di bidang wisata dan budaya. Bahkan hingga ke mancanegara.

Anas mengungkapkan, saat awal-awal menjabat bupati pada 2010, dirinya melihat ada masalah besar di Banyuwangi. Yaitu masalah image negatif yang melekat di kabupaten ujung timur Jawa Timur tersebut. Daerah itu lebih dikenal sebagai pusat klenik dan warganya yang berkarakter keras.

“Saya sempat miris. Sebab, sampai ada warga Banyuwangi yang tidak mau mengakui daerahnya sendiri. Mereka malah bangga mengaku sebagai orang Jember atau kota lain,” papar pejabat asli Banyuwangi tersebut.

Rasa kurang percaya diri sebagian masyarakat tanah Blambangan itu membuat mereka tidak menyadari potensi besar yang dimiliki daerahnya. Apalagi, Banyuwangi kala itu dicitrakan ekstrem sebagai daerah yang ditakuti karena santetnya. Itu sebabnya, tak banyak warga kota lain atau luar negeri yang mau berkunjung ke Banyuwangi. “Jangankan membanggakan daerahnya, warga yang mau mengakui dirinya berasal dari Banyuwangi saja sangat jarang,” kisahnya.

Sejak itu Anas berpikir, inilah saatnya mengubah citra negatif tersebut. Langkah awal yang dilakukannya adalah membuat kegiatan yang melibatkan sebanyak-banyaknya rakyat Banyuwangi dan diberitakan di mana-mana. Dengan cara begitu, secara pelahan tapi pasti rakyat Banyuwangi punya kebanggaan terhadap daerah sendiri. “Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan itu sangat diperlukan untuk mengubah image,” tuturnya.

Yang pertama dia lakukan adalah membuat program yang berfokus pada kesejahteraan rakyat dengan mengentaskan kemiskinan. Caranya cukup banyak. Salah satunya lewat program konektivitas yang berupa pembuatan bandar udara (bandara) komersial. Dengan bandara, Banyuwangi akan dengan mudah dikunjungi orang luar. Itu bukti bahwa Banyuwangi terbuka untuk siapa saja.

“Dulu orang luar menilai Banyuwangi sangat jauh dan ndeso. Tapi, setelah ada bandara, image Banyuwangi yang dulu terasing berangsur hilang. Kesannya sebaliknya. Kini orang dengan mudah mengunjungi daerah kami lewat apa saja, termasuk dengan pesawat,” papar Anas.

Suami Ipuk Fiestiandani itu memang cerdas dan kreatif dalam membangun image positif daerahnya. Dia merevitalisasi program-program yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik dan mengglobal. Misalnya Festival Budaya Banyuwangi yang dulu diselenggarakan ala 17 Agustusan kini berskala nasional dengan menampilkan seniman lokal maupun ibu kota. Kemasannya pun lebih modern. Dengan begitu, transformasi budaya itu dapat diterima masyarakat luas, termasuk para turis mancanegara.

“Even ini seperti jembatan antara modernitas dan lokalitas,” imbuhnya.

Program tersebut  tidak boleh dibuat begitu saja, tetapi harus terus bergulir di daerah. Anas pun terus mendorong target-target yang tidak terukur. Misalnya, angka kemiskinan harus turun, indeks pembangunan manusia (IPM) harus meningkat, dan ekonomi rakyat harus naik. “Kalau itu tidak naik, tentu masyarakat tidak akan percaya dengan program-program yang kami kerjakan,” ujarnya.

Selama setahun Anas membangun kepercayaan internal agar mendapat dukungan publik yang baik dalam setiap programnya. Upaya tersebut berbuah manis. Angka kemiskinan di Banyuwangi kini turun drastis. Pada 2010 masih 20,4 persen, kini menjadi 9,5 persen. Sedangkan pendapatan per kapita Banyuwangi meningkat dari Rp15 juta menjadi Rp21,8 juta per orang per tahun. “Kami sudah bisa menyalip Malang yang Rp19,6 juta,” jelasnya.

Setelah berhasil membangun image dan mendapat dukungan publik, Anas pun mulai mendorong brand Banyuwangi sebagai Sunrise of Java. Caranya, digelar berbagai festival. Selain festival budaya, ada Banyuwangi Ethno Carnival, Banyuwangi Jazz Festival, Gandrung Sewu, dan sebagainya.

Anas juga mengembangkan program pariwisata yang berfokus pada ecotourism. Itu dilakukan untuk membuat brand yang berbeda dengan daerah lain. “Banyuwangi berbeda dengan Surabaya atau Malang. Tidak mungkin kami ikut-ikutan jor-joran bangun mal. Karena Banyuwangi dikelilingi taman nasional, maka kami buat pariwisata ecotourism,” papar pria lulusan Fakultas Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta itu.

Banyuwangi kini berani membuat perubahan dalam bidang pariwisata. Anas pun gencar “menjual” keindahan alam, pantai, gunung, dan keramahtamahan masyarakat Banyuwangi. Bahkan, kini Banyuwangi telah ditetapkan sebagai Kota Welas Asih dalam program Compassion Action International.

Untuk itu, pemkab harus melakukan konsolidasi infrastruktur. Mulai perbaikan dan pembangunan jalan, jembatan, air bersih, dan teknologi informasi (TI) yang canggih. Sebab, menurut Anas, upaya untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata ke Banyuwangi tidak akan terwujud jika tidak didukung infrastruktur yang baik.

Setelah itu, baru konsolidasi budaya yang ditingkatkan. Misalnya, warga yang semula kurang peduli kebersihan kini jadi cinta kebersihan. “Perilaku masyarakat juga berubah. Tadinya cuek terhadap orang luar, kini jadi baik dan ramah,” jelasnya.

Anas kini bisa bangga melihat perubahan image yang cukup signifikan di daerahnya. Sebab, Banyuwangi pernah mendapat predikat sebagai kabupaten terjorok nomor 2 di Jawa Timur pada 2010. “Nah, sekarang kami terus berbenah,” katanya.

Keberhasilan Anas mempromosikan Banyuwangi ke seluruh penjuru Indonesia tersebut sama sekali tidak melibatkan tim khusus. Semua promosi dilakukan langsung oleh seluruh pegawai pemkab. Bahkan, para PNS di lingkungan pemkab diwajibkan memahami program dan misi Banyuwangi. “Kami targetkan kepala dinas bisa menguasai dan menjelaskan arah dan tujuan program pemda,” ujarnya.

Pelibatan para birokrat untuk menjadi tenaga marketing bagi Banyuwangi, menurut Anas, adalah sesuatu yang ditekankan. Pada semua event, sebisanya kepanitiaan adalah pegawai pemkab. Dengan demikian, dalam konteks meng-advocate atau meyakinkan para “konsumen”, para pegawai di lingkungan pemkab bisa melakukannya dengan baik.

Dalam even festival musik jazz, misalnya. Tahun ini mereka masih menggunakan bantuan event organizer. Namun, tahun depan penyelenggaraan event yang masuk rangkaian Banyuwangi Festival itu akan sepenuhnya ditangani pegawai pemkab.

Keterlibatan birokrat dalam program-program pemkab itu, kata Anas, membuat dirinya lebih banyak punya “stamina” untuk melakukan lebih banyak hal. “Kalau semua saya pikirkan dan jalankan sendiri, tanpa terdelegasi dengan baik kepada para birokrat, saya akan kehabisan tenaga. Di tengah jalan akan dehidrasi,” jelasnya.

Sementara itu, Deputy CEO MarkPlus Inc. Michael Hermawan mengatakan, para dewan juri menilai Anas betul-betul bisa memoles potensi yang ada di Banyuwangi. Itu tampak dari cukup terkenalnya guest house di area Pendapa Banyuwangi hingga meriahnya setiap festival musik hingga beragam carnival yang digelar di Bumi Blambangan itu.

“Jadi, Pak Anas itu tidak hanya menerapkan marketing murni, tapi juga online. Jadi, dia marketer sejati. Benar-benar mengerti segmen,” ungkapnya.

Menurut Michael, strategi marketing yang diterapkan Anas untuk meningkatkan value dari wilayahnya sudah bagus dan tinggal meneruskan. Itu seiring dengan ditambahnya akses transportasi dan peningkatan infrastruktur. “Jadi, karena sudah mulai terbuka di media dan sebagainya, jadi akses harus ditambah lagi,” ujarnya.

Selain menerapkan strategi marketing terhadap produk, dalam hal ini Banyuwangi, Anas berhasil meraih Indonesia Marketing Champion 2014 karena memperhatikan internal customer. Contohnya, Anas memberikan pengarahan yang intensif kepada para pegawainya agar menguasai setiap detail strategi marketing yang diterapkan. “Ini yang membuat Pak Anas unggul dibandingkan nominasi kepala daerah lainnya yang juga bagus-bagus,” terangnya. (*/c10/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/