31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Bikin Album Religi dan Gelar Pernikahan di SLB

Ketika usia pensiunnya tinggal dua tahun lagi, Mudjito ingin meninggalkan kenangan manis untuk pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Direktur Pembinaan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kemendikbud itu ingin membangkitkan talenta para ABK.

Sepuluh tahun mengurusi anak-anak berkebutuhan khusus, Mudjito tidak ingin sekadar menjalankan kewajiban birokrasi. Pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 15 April 1956, itu pun tenggelam dalam perjalanan hidup anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia.”Sesuai namanya, butuh pendekatan khusus untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Direktorat Pembinaan Khusus dan Layanan Khusus, Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemarin (13/8).

Salah satu layanan khusus yang digagasnya adalah membangkitkan talenta atau bakat ABK. Sebab, tidak semua ABK terlahir dengan IQ atau intelektualitas yang bagus. Meski begitu, ABK yang intelektualitasnya kurang bagus harus tetap mendapat perhatian. Hanya, mesti dicarikan pendekatan yang berbeda. Anak-anak tipe itu tidak bisa dipaksakan untuk melahap materi pelajaran seperti anak-anak pada umumnya.

Mudjito akhirnya memilih bidang seni musik sebagai model pendekatan. Menurut pejabat yang juga dosen di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut, anak-anak tunanetra mempunyai ketajaman intuisi dalam bermusik. Karena itu, dia lalu membentuk grup band Prodigies di kantornya guna menampung bakat-bakat luar biasa para tunanetra tersebut.

“Band ini hanya aktivitas selingan di kantor,” kata Mudjito merendah.

Namun, kini personel band tersebut tinggal seorang yang menyandang disabilitas. Yakni, Wahid, pemain gitar yang tunanetra. Atas kecerdasannya, Wahid berhasil tembus menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di direktorat yang dipimpin Mudjito.

Bagi Mudjito, keahlian Wahid bermain gitar sangat spesial. Dia pandai berimprovisasi dan gayanya mengalahkan gitaris normal pada umumnya. Menurut dia, ABK tunanetra seperti Wahid cenderung dibekali kemampuan audio yang tajam. Konsentrasi dan kepekaan yang kuat itu menjadi poin lebih bagi para tunanetra dalam belajar musik.
Mudjito mengungkapkan, tidak mudah membangkitkan atau mengeluarkan talenta anak-anak berkebutuhan khusus. Apalagi kecenderungan di masyarakat saat ini, orang tua kerap menyembunyikan anaknya yang berkebutuhan khusus dari dunia luar.

“Itu yang tidak benar. Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus itu bisa jadi punya bakat terpendam yang pantas dikembangkan untuk masa depan hidupnya nanti,” tegasnya.

Tidak hanya membentuk band ABK, Mudjito juga menciptakan lagu-lagu religi untuk dinyanyikan anak-anak kurang beruntung itu. Lagu-lagu tersebut kemudian direkam dalam album yang diberi judul Cinta Ilahi. Saat peluncuran perdana yang bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2013, album tersebut diproduksi seribu kopi.
Lagu Cinta Ilahi dinyanyikan Zelda Maharani, tunanetra yang meraih juara I lomba menyanyi solo Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2013.

“Saya ingin meningkatkan martabat Zelda. Secara kualitas, dia tidak kalah dari penyanyi profesional,” tutur alumnus S-1 IKIP Malang, S-2 UGM, dan S-3 Universitas Negeri Jakarta itu.

Belum cukup di situ. Mudjito juga terus mengangkat citra SLB yang selama ini cenderung dianaktirikan. Caranya cukup menarik. Pada 23 Agustus nanti, Mudjito menggelar resepsi pernikahan anak keduanya, dr Marianti, di SLB-A Lebak Bulus, Jakarta.

Cara Mudjito mengadakan resepsi pernikahan anaknya itu memang tidak wajar. Sebab, umumnya pejabat menggunakan gedung-gedung mewah untuk resepsi pernikahan anaknya. Tapi, dia memilih kompleks SLB. Memang, Mudjito sempat ‘ditegur’ teman-teman kerjanya soal penggunaan gedung SLB untuk pernikahan putrinya. Namun, dia bergeming.

“Pesan moralnya, saya ingin mengamalkan pola hidup sederhana,” katanya mantap.

Semangat lainnya, dia ingin lebih mengenalkan bahwa SLB adalah tempat yang bermartabat. SLB bukan tempat anak-anak yang terpinggir gara-gara terlahir dengan kondisi khusus. Selain itu, dia ingin mengenalkan kepada kerabat bahwa bidang pekerjaannya selama ini bersinggungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus dan umumnya dilayani di SLB.

Pada sisa-sisa masa baktinya sebagai PNS, Mudjito masih memiliki misi yang belum terwujud. Yakni, meningkatkan akses anak-anak berkebutuhan khusus untuk bekerja di tempat umum. Sebab, sesuai dengan aturan, perusahaan wajib menyediakan satu persen dari kuota tenaga kerjanya untuk kelompok berkebutuhan khusus.

Aturan itu, kata Mudjito, belum banyak diindahkan kalangan dunia usaha. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya reward dan punishment bagi yang mematuhi serta melanggar.
“Misalnya, perusahaan yang menaati aturan itu bisa membayar gaji karyawan yang berkebutuhan khusus dengan kompensasi pemotongan pajaknya. Jadi, tidak perlu mengeluarkan gaji khusus lagi,” tutur Mudjito mengusulkan. (*/c5/ari/jpnn)

Ketika usia pensiunnya tinggal dua tahun lagi, Mudjito ingin meninggalkan kenangan manis untuk pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Direktur Pembinaan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kemendikbud itu ingin membangkitkan talenta para ABK.

Sepuluh tahun mengurusi anak-anak berkebutuhan khusus, Mudjito tidak ingin sekadar menjalankan kewajiban birokrasi. Pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 15 April 1956, itu pun tenggelam dalam perjalanan hidup anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia.”Sesuai namanya, butuh pendekatan khusus untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Direktorat Pembinaan Khusus dan Layanan Khusus, Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemarin (13/8).

Salah satu layanan khusus yang digagasnya adalah membangkitkan talenta atau bakat ABK. Sebab, tidak semua ABK terlahir dengan IQ atau intelektualitas yang bagus. Meski begitu, ABK yang intelektualitasnya kurang bagus harus tetap mendapat perhatian. Hanya, mesti dicarikan pendekatan yang berbeda. Anak-anak tipe itu tidak bisa dipaksakan untuk melahap materi pelajaran seperti anak-anak pada umumnya.

Mudjito akhirnya memilih bidang seni musik sebagai model pendekatan. Menurut pejabat yang juga dosen di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut, anak-anak tunanetra mempunyai ketajaman intuisi dalam bermusik. Karena itu, dia lalu membentuk grup band Prodigies di kantornya guna menampung bakat-bakat luar biasa para tunanetra tersebut.

“Band ini hanya aktivitas selingan di kantor,” kata Mudjito merendah.

Namun, kini personel band tersebut tinggal seorang yang menyandang disabilitas. Yakni, Wahid, pemain gitar yang tunanetra. Atas kecerdasannya, Wahid berhasil tembus menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di direktorat yang dipimpin Mudjito.

Bagi Mudjito, keahlian Wahid bermain gitar sangat spesial. Dia pandai berimprovisasi dan gayanya mengalahkan gitaris normal pada umumnya. Menurut dia, ABK tunanetra seperti Wahid cenderung dibekali kemampuan audio yang tajam. Konsentrasi dan kepekaan yang kuat itu menjadi poin lebih bagi para tunanetra dalam belajar musik.
Mudjito mengungkapkan, tidak mudah membangkitkan atau mengeluarkan talenta anak-anak berkebutuhan khusus. Apalagi kecenderungan di masyarakat saat ini, orang tua kerap menyembunyikan anaknya yang berkebutuhan khusus dari dunia luar.

“Itu yang tidak benar. Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus itu bisa jadi punya bakat terpendam yang pantas dikembangkan untuk masa depan hidupnya nanti,” tegasnya.

Tidak hanya membentuk band ABK, Mudjito juga menciptakan lagu-lagu religi untuk dinyanyikan anak-anak kurang beruntung itu. Lagu-lagu tersebut kemudian direkam dalam album yang diberi judul Cinta Ilahi. Saat peluncuran perdana yang bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2013, album tersebut diproduksi seribu kopi.
Lagu Cinta Ilahi dinyanyikan Zelda Maharani, tunanetra yang meraih juara I lomba menyanyi solo Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2013.

“Saya ingin meningkatkan martabat Zelda. Secara kualitas, dia tidak kalah dari penyanyi profesional,” tutur alumnus S-1 IKIP Malang, S-2 UGM, dan S-3 Universitas Negeri Jakarta itu.

Belum cukup di situ. Mudjito juga terus mengangkat citra SLB yang selama ini cenderung dianaktirikan. Caranya cukup menarik. Pada 23 Agustus nanti, Mudjito menggelar resepsi pernikahan anak keduanya, dr Marianti, di SLB-A Lebak Bulus, Jakarta.

Cara Mudjito mengadakan resepsi pernikahan anaknya itu memang tidak wajar. Sebab, umumnya pejabat menggunakan gedung-gedung mewah untuk resepsi pernikahan anaknya. Tapi, dia memilih kompleks SLB. Memang, Mudjito sempat ‘ditegur’ teman-teman kerjanya soal penggunaan gedung SLB untuk pernikahan putrinya. Namun, dia bergeming.

“Pesan moralnya, saya ingin mengamalkan pola hidup sederhana,” katanya mantap.

Semangat lainnya, dia ingin lebih mengenalkan bahwa SLB adalah tempat yang bermartabat. SLB bukan tempat anak-anak yang terpinggir gara-gara terlahir dengan kondisi khusus. Selain itu, dia ingin mengenalkan kepada kerabat bahwa bidang pekerjaannya selama ini bersinggungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus dan umumnya dilayani di SLB.

Pada sisa-sisa masa baktinya sebagai PNS, Mudjito masih memiliki misi yang belum terwujud. Yakni, meningkatkan akses anak-anak berkebutuhan khusus untuk bekerja di tempat umum. Sebab, sesuai dengan aturan, perusahaan wajib menyediakan satu persen dari kuota tenaga kerjanya untuk kelompok berkebutuhan khusus.

Aturan itu, kata Mudjito, belum banyak diindahkan kalangan dunia usaha. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya reward dan punishment bagi yang mematuhi serta melanggar.
“Misalnya, perusahaan yang menaati aturan itu bisa membayar gaji karyawan yang berkebutuhan khusus dengan kompensasi pemotongan pajaknya. Jadi, tidak perlu mengeluarkan gaji khusus lagi,” tutur Mudjito mengusulkan. (*/c5/ari/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/