Site icon SumutPos

Mikke Perlu Enam Tahun Meriset Karya

Foto: Sujiatmiko/Jawa Pos Mikke Susanto kurator pameran 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan koleksi seni rupa istana kepresidenan Republik Indonesia saat menjelaskan Lukisan Ir Soekarno yang berjudul Rini tahun 1958 dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat.
Foto: Sujiatmiko/Jawa Pos
Mikke Susanto kurator pameran 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan koleksi seni rupa istana kepresidenan Republik Indonesia saat menjelaskan Lukisan Ir Soekarno yang berjudul Rini tahun 1958 dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat.

Untuk kali pertama, lukisan-lukisan ’’masterpiece’’ koleksi mantan Presiden Soekarno di istana kepresidenan dipamerkan untuk umum. Masyarakat pun menyambut dengan antusias. Kerja keras kurator pameran itu, Mikke Susanto, pun terbayarkan.

PRISKA BIRAHY, Jakarta

”Aslinya lukisan ini belum jadi. Tapi, Pak Karno tertarik dan beli. Apalagi, beliau sendiri yang jadi modelnya,” ucap Mikke Susanto sambil menunjukkan lukisan Memanah karya Henk Ngantung yang dipamerkan di Galeri Nasional (Galnas) Indonesia, Jakarta, awal Agustus lalu.

Kepada para pengunjung yang ikut tur pameran bertajuk 17:71 Goresan Juang Kemerdekaan, Mikke menyebut lukisan itu merupakan lukisan bersejarah. Lukisan karya mantan gubernur ke-7 DKI Jakarta tersebut menjadi latar belakang acara konferensi pers setelah pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan RI di kediaman Soekarno, 17 Agustus 1945.

Lukisan yang menjadi saksi sejarah itu juga punya cerita lain. Yakni, gambar lengan tangan yang sedang memanah itu ternyata modelnya lengan tangan Bung Karno sendiri. Karena itu, tak heran bila lukisan tersebut termasuk istimewa di mata Sang Putra Fajar, julukan Soekarno.

Mikke menjelaskan, berbagai keterangan yang terkait dengan keberadaan lukisan, sejarah yang melatarbelakangi penciptaannya, hingga cerita dalam lukisan diperoleh melalui riset panjang. Dari riset itu pula, terkuak kisah di balik pembelian lukisan pada 1944, setahun sebelum kemerdekaan, itu.

Menurut Mikke, sejatinya Henk ingin melanjutkan lukisannya yang belum jadi saat pameran yang digelar Keimin Bunka Sidhoso, lembaga kebudayaan bentukan pemerintah kolonial Jepang di Jakarta. Hanya, dia belum menemukan model yang cocok.

”Akhirnya, Bung Karno menawarkan diri menjadi modelnya. Henk pun langsung melanjutkan lukisan dengan model lengan Bung Karno,’’ lanjut dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta yang tengah menempuh S-3 di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Selain misteri lengan sang pemanah, Mikke meneliti objek-objek dalam lukisan koleksi Soekarno. Termasuk wajah sang pemanah di lukisan karya Henk Ngantung itu. Mikke mengakui, tidak mudah mengungkap identitas tokoh dalam lukisan tersebut. Dia sering terkendala teknis di lapangan.

Selain itu, untuk mencari data-data tersebut, Mikke membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit. Apalagi jika jejak lukisan itu harus diburu hingga ke luar negeri. Karena itulah, dia minta permakluman bila bukti yang ada terkait lukisan yang diteliti tak lengkap atau rusak. Itu sudah menjadi risiko pekerjaan dalam proses pelacakan jejak lukisan istana kepresidenan. Belum lagi bila si pelukis sudah meninggal atau sumber-sumber yang mengetahui cerita tentang lukisan tersebut tidak diketahui keberadaannya. Maka, dia harus menelusuri hingga ke rumah keluarga, tetangga, atau siapa pun yang terkait dengan lukisan atau pelukis tersebut.

”Banyak seniman yang sudah meninggal sehingga mau tidak mau saya harus mencari sumber lain untuk mengungkap misteri di balik lukisan,” paparnya.

Mikke mengaku selama ini sering dibantu Guruh Soekarnoputra, salah seorang putra Bung Karno. Berkat Guruh, sebagian besar koleksi Soekarno bisa terlacak. Mulai seniman penciptanya, tahun pembuatan, model, lokasi, hingga penempatan di dinding ruangan istana kepresidenan.

Kurator kelahiran Jember, 22 Oktober 1973, itu menjelaskan bahwa benda-benda seni yang merekam jejak sejarah bangsa tersebut selama ini hanya menjadi saksi bisu di lingkungan istana kepresidenan. Baik yang disimpan di Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor, maupun di Gedung Agung Jogjakarta.

Karena itu, begitu ditunjuk sebagai konsultan kuratorial museum istana kepresidenan pada 2009, Mikke langsung menerapkan jurus-jurus kurasinya. Yakni, penelusuran dan pengkajian akademis terkait lukisan-lukisan yang terpajang di istana. Dia juga meneruskan yang sudah dilakukan seniornya, Agus Dermawan, dalam mengurasi benda-benda seni koleksi Soekarno itu.

Caranya, selain bertanya ke anggota keluarga si pelukis, dia mengandalkan arsip-arsip lama serta katalog pameran yang tersimpan atau tersebar di tangan kolektor. Proses pengarsipan itu ibarat mencari jarum dalam jerami. Sebab, keterangan tentang lukisan lama tergolong minim.

Ketika dia bekerja di Istana Negara, misalnya, ada lebih dari 100 lukisan yang jati dirinya masih harus dikaji secara detail. Hal tersebut membuktikan betapa ruwetnya pendokumentasian koleksi benda seni istana dan sulitnya mencari data utuh terkait karya seni itu. Dalam kurun waktu enam tahun pengabdiannya di istana selama ini, Mikke mengaku baru bisa menyelesaikan sejumlah lukisan saja.

”Belum lagi ada 30 album foto yang belum ada caption-nya. Ini pekerjaan besar,” terang alumnus Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPR) Universitas Gadjah Mada itu.

Jika mengacu pada buku koleksi Presiden Soekarno, setidaknya baru sekitar 300 karya seni yang dapat dilacak riwayatnya. Itu pun karya pelukis-pelukis Indonesia, termasuk lukisan karya Soekarno meneruskan sketsa Dullah, Rini. Padahal, total lukisan di istana kepresidenan lebih dari 3.000 karya. Belum termasuk koleksi buku, keramik, dan benda seni lainnya.

’’Untuk karya perupa asing, saya belum bisa menemukan semuanya. Itu pekerjaan tersendiri yang memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit,’’ ujar dia.

Mikke menyadari bahwa lukisan-lukisan itu memiliki jalan cerita sendiri terkait sejarah perjuangan bangsa ini. Bagaimana sudut pandang pelukis dan kondisi di masa itu memengaruhi karya yang dihasilkan. Mikke pun mengaku senang mendapat tugas untuk mengkajinya.

”Memang banyak kendalanya. Baik dana maupun teknis. Tapi, hasilnya menyenangkan. Mungkin sudah takdir saya mengurus lukisan koleksi Bung Karno,” katanya, lantas tertawa.

”Hal yang sulit saya lupakan waktu saya ke perpustakaan Soekarno di Istana Bogor sekitar 2011–2010. Rasanya seneng banget memegang buku yang dulu dibaca beliau,” tambah dia.

Di salah satu bagian buku tersebut, kata Mikke, terdapat lidi yang diselipkan di antara dua halamannya. Kemungkinan, itu merupakan halaman terakhir yang sempat dibaca sang proklamator kala itu. Dia merasa mendapatkan kesempatan langka memegang dan membaca koleksi pribadi presiden pertama tersebut. Setidaknya, di balik sulitnya melakukan riset, dia termasuk orang yang beruntung bisa memegang benda koleksi Soekarno.

Hal membanggakan lain yang dilakukan Mikke adalah kerja kerasnya pada 2009–2010. Yakni, saat dia mengumpulkan 12 lukisan potret pahlawan yang beredar ramai di Jogjakarta. Lukisan-lukisan realis seperti potret RA Kartini, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Pangeran Diponegoro itu menuntunnya pada satu muara. Beberapa lukisan itu merupakan karya Basoeki Abdullah yang paling banyak dikoleksi Soekarno. Lukisan-lukisan tersebut berada di Gedung Agung Jogjakarta dan ternyata merupakan lukisan pesanan Bung Karno.

Di masa kepemimpinannya, Soekarno memesan banyak lukisan dari para maestro seni rupa tanah air. Misalnya, Affandi, Trubus Sudarsono, Basoeki Abdullah, dan Gambiranom Suhardi. Empat lukisan yang dipesan pada 1948 itu juga dipamerkan di Galnas Jakarta.

”Saya bisa katakan 12 lukisan potret pahlawan itu karya orisinal pesanan Bung Karno,” kata Mikke. (*/c10/ari/bersambung)

Exit mobile version