25 C
Medan
Saturday, September 21, 2024

Sekali ‘Show’ Setor Rp25 Ribu

Kompleks Prostitusi Parloha, Kenikmatan Lain di Berastagi (1)

Berastagi. Kawasan pegunungan ini ternyata tidak hanya dikenal dengan markisa dan alamnya yang indah. Ada sebuah tempat khusus yang digandrungi para lelaki hidung belang. Parloha namanya.

Kesuma Ramadhan, Medan

Parloha memang tidak setenar Bandar Baru; lokalisasi yang letaknya lebih dekat ke Medan. Namun, Parloha memiliki daya tarik tersendiri. Sehingga tak jarang lokasi ini dijadikan rujukan bagi pria hidung belang dari segala lini untuk memanjakan diri lewat kegiatan prostistusi.
Berada di kawasan Desa Sempah Jaya, Dusun VI, Kecamatan Berastagi.

Kabupaten Karo, Parloha berjarak sekitar 800 meter di antara persimpangan Desa Sempah dan Desa Peceren. Agak sulit memang untuk menemukan kampung tersebut bagi yang belum pernah mendatanginya.

Pasalnya, selain tempatnya agak tersembunyi, Parloha juga tertutup oleh beberapa perumahan yang berdiri megah; ada 3 komplek perumahan yang dilalui, satu di antaranya adalah Vila Mas. Selain itu, untuk menuju ke kampung tersebut, harus melawati jalan penuh tanjakan dan tikungan berliku.

Senin pagi dua pekan lalu, Sumut Pos, mencoba mencari tahu kehidupan di komplek tersebut. Ditemani seorang pendamping peduli HIV dari Sumatera Peduli Kesehatan (SPKS), Sumut Pos tiba di lokasi sekira 11.42 WIB. Sebuah perjalanan panjang, butuh tiga jam mengendarai sepeda motor agar sampai di lokasi itu dari Medan.

Sebelum tiba di lokasi, saat di tengah perjalanan, kami menyempatkan beristirahat dan mengganjal perut di sebuah warung makan, yang berlokasi di Simpang Amoy Berastagi, sekira pukul 10.20 WIB. Hal ini dilakukan untuk menghindari kejadian tidak diinginkan, karena harus menempuh rute yang penuh tanjakan, sehingga dibutuhkan konsentrasi penuh untuk mengitarinya.

Setelah perut terganjal, perjalanan kembali dilanjutkan sekitar pukul 10.40 WIB. Satu jam berikutnya atau tepatnya pukul 11.42 WIB kami tiba di simpang komplek Parloha; tentunya setelah melewati tanjakan dan jalan berliku. Di persimpangan itu, kami menunggu seorang pendamping lainnya. Adalah Wenny, pegiat LSM Persada yang saat itu menggunakan bus angkutan umum.

Setelah Wenny muncul, kami pun langsung memasuki lokalisasi itu. Sumut Pos harus bolak-balik menjemput pedamping tersebut, maklum sepeda motor hanya satu. Butuh 10 menit dari persimpangan itu agar bisa menjumpai komplek yang dimaksud. Suasana dingin pun menyergap, bukan karena takut tidak disambut baik, tapi karena udara pegunungan memang lagi sejuk-sejuknya.

Setibanya di lokasi, kehadiran kami disambut senyuman oleh sejumlah wanita yang ada di sana. Sedikitnya, ada sebelas wanita berusia 18 hingga 40 tahun, terlihat antusias menanti kehadiran pendamping sesuai jadwal yang dijanjikan.

Belasan wanita itu, tengah duduk dan berkumpul di depan sebuah warung yang didesain layaknya cafe, sembari menikmati rokok dengan penuh kepulan asap dari mulutnya.

Hari itu, memang ada sosialisasi kegunaan kondom yang dilakukan dua pedamping tersebut. Ya, belasan wanita itu adalah sebahagian dari puluhan wanita pekerja seks (WPS)  yang tinggal dan mengais rezeki di Komplek Parloha.

Ragam bentuk dan cerita didapat dari kegiatan sosialisasi kegunaan kondom yang disampaikan Dewi Sundari selaku direktur program SPKS. Satu cerita pembuka, yakni ketika mengisi daftar hadir.

Sebahagian WPS mengaku, sama sekali tak bisa membaca dan menulis. Salah satunya yakni diakui WPS bernama D (25) yang akrab disapa Hidung. Disebut Hidung karena bahagian indera pencium wanita ini tidak lagi sempurna akibat penyakit. Secara medis penyakit itu diketahui sebagai gangguan kulit yakni penyakit sifilis.

D kurang setuju kalau dia kena sifilis, dia beranggapan itu karena ulah pelanggannya alias diguna-guna. “Mungkin karena kurang mantap dia dilayani, makanya hidung aku dibuatnya jadi separuh kayak gini,” ujar D.

Soal sosialisasi penggunaan kondom memang sedikit merepotkan di tempat seperti tersebut. Buktinya, dua pedamping memang harus memiliki kesabaran yang tinggi. Termasuk ketika mengenalkan kondom khusus untuk wanita. “Ribet menggunakan kondom, cuma cerita aja tu pakai kondom. Apalagi banyak tamu yang tidak mau menggunakan kondom karena kurang nikmat,” ujar WPS lainnya yang ternyata berinisial D juga.

Begitu juga ketika diterangkan kalau kondom perempuan yang berbahan spon bisa menyimpan sperma laki-laki. Selain bisa meresap sperma lelaki, kondom wanita ini bisa digunakan untuk tiga kali pemakaian. “Short time sekali aja paling dah selesai, ribet ah. Mending pakai kondom laki-laki aja lebih simple lagian risih kalau tidak langsung dicuci sehabis berhubungan,” ujar wanita pemilik rambut menjulur itu.

Dari sosialisasi tiu diketahui, WPS di Parloha bisa melayani satu hingga tiga tamu per harinya. Hanya saja beberapa bulan belakangan, para WPS mengaku mengalami penurunan dari segi jumlah tamu.

Seorang wanita lainnya, yang disapa MT, mengaku penurunan tamu berdampak atas penurunan omset. Wanita berusia 40 tahunan ini mengaku sudah berada di kampung Parloha sejak 1994 lalu. Saat itu, usianya berkisar 23 tahun. Namun, dia mengaku tidak menetap selama 17 tahun di lokasi tersebut, tapi sering berpindah-pindah ke lokalisasi lainnya. Baru empat tahun belakangan, MT tak lagi berpikir pindah dengan kondisi usia yang terus bertambah.
Untuk sistem setoran, Mak Tesa menyebutkan, para WSP akan dikenakan Rp25 ribu untuk biaya kamar setiap sekali show (short time). “Dulunya kita membayar 5 ribu untuk kamarnya. Sekarang sudah 25 ribu. Itu ibarat setoran sama bapak (sebutan penanggung jawab lokasi prostitusi, Red),”akunya.
Tanpa ada keterikatan dan paksaan, para WPS akan disediakan kamar gratis untuk menarik minat para tamu. Sedikitnya terdapat 20 rumah berdiameter 10×20 meter,  mengitari Komplek Parloha, dengan masing-masing rumah memiliki empat kamar. Dengan kata lain, tersedia 80 kamar. Selain untuk tempat tinggal para WPS, kamar itu juga digunakan sebagai ruang ‘praktik’.

Tarif rata-rata untuk short time, para WPS mematoknya dengan harga Rp70 ribu. Jadi, setiap WPS akan mendapatkan hasil bersih sebesar Rp45 ribu, di luar dari tip yang diberikan tamu dan dipotong biaya sewa kamar.

Sementara bea yang harus dikeluarkan untuk long time atau menginap, para tamu harus memberikan dua kali lipat dan berlaku sama untuk biaya sewa kamarnya.

Sedangkan untuk keamanan para WPS, ditanggung sepenuhnya oleh penanggung jawab itu sendiri. Salah satu contoh bilang MT, yakni mengawasi dan menindak sikap tamu yang berlaku tidak sopan. Seperti kisahnya, MT pernah melayani tamu. Namun tanpa disangka, tamu yang dilayaninya memasukkan selotip ke dalam kemaluannya.

Penangung jawab yang mendapatkan laporan, langsung memukuli tamu tersebut dan meminta ganti rugi karena telah merugikan pekerjanya. “Awalnya aku dibayar Rp100 ribu Bang. Tapi karena dia buat jahat masukan selotip ke dalam kemaluanku, aku jadi minta ganti rugi Rp200 ribu,” kenangnya. (bersambung)

Kompleks Prostitusi Parloha, Kenikmatan Lain di Berastagi (1)

Berastagi. Kawasan pegunungan ini ternyata tidak hanya dikenal dengan markisa dan alamnya yang indah. Ada sebuah tempat khusus yang digandrungi para lelaki hidung belang. Parloha namanya.

Kesuma Ramadhan, Medan

Parloha memang tidak setenar Bandar Baru; lokalisasi yang letaknya lebih dekat ke Medan. Namun, Parloha memiliki daya tarik tersendiri. Sehingga tak jarang lokasi ini dijadikan rujukan bagi pria hidung belang dari segala lini untuk memanjakan diri lewat kegiatan prostistusi.
Berada di kawasan Desa Sempah Jaya, Dusun VI, Kecamatan Berastagi.

Kabupaten Karo, Parloha berjarak sekitar 800 meter di antara persimpangan Desa Sempah dan Desa Peceren. Agak sulit memang untuk menemukan kampung tersebut bagi yang belum pernah mendatanginya.

Pasalnya, selain tempatnya agak tersembunyi, Parloha juga tertutup oleh beberapa perumahan yang berdiri megah; ada 3 komplek perumahan yang dilalui, satu di antaranya adalah Vila Mas. Selain itu, untuk menuju ke kampung tersebut, harus melawati jalan penuh tanjakan dan tikungan berliku.

Senin pagi dua pekan lalu, Sumut Pos, mencoba mencari tahu kehidupan di komplek tersebut. Ditemani seorang pendamping peduli HIV dari Sumatera Peduli Kesehatan (SPKS), Sumut Pos tiba di lokasi sekira 11.42 WIB. Sebuah perjalanan panjang, butuh tiga jam mengendarai sepeda motor agar sampai di lokasi itu dari Medan.

Sebelum tiba di lokasi, saat di tengah perjalanan, kami menyempatkan beristirahat dan mengganjal perut di sebuah warung makan, yang berlokasi di Simpang Amoy Berastagi, sekira pukul 10.20 WIB. Hal ini dilakukan untuk menghindari kejadian tidak diinginkan, karena harus menempuh rute yang penuh tanjakan, sehingga dibutuhkan konsentrasi penuh untuk mengitarinya.

Setelah perut terganjal, perjalanan kembali dilanjutkan sekitar pukul 10.40 WIB. Satu jam berikutnya atau tepatnya pukul 11.42 WIB kami tiba di simpang komplek Parloha; tentunya setelah melewati tanjakan dan jalan berliku. Di persimpangan itu, kami menunggu seorang pendamping lainnya. Adalah Wenny, pegiat LSM Persada yang saat itu menggunakan bus angkutan umum.

Setelah Wenny muncul, kami pun langsung memasuki lokalisasi itu. Sumut Pos harus bolak-balik menjemput pedamping tersebut, maklum sepeda motor hanya satu. Butuh 10 menit dari persimpangan itu agar bisa menjumpai komplek yang dimaksud. Suasana dingin pun menyergap, bukan karena takut tidak disambut baik, tapi karena udara pegunungan memang lagi sejuk-sejuknya.

Setibanya di lokasi, kehadiran kami disambut senyuman oleh sejumlah wanita yang ada di sana. Sedikitnya, ada sebelas wanita berusia 18 hingga 40 tahun, terlihat antusias menanti kehadiran pendamping sesuai jadwal yang dijanjikan.

Belasan wanita itu, tengah duduk dan berkumpul di depan sebuah warung yang didesain layaknya cafe, sembari menikmati rokok dengan penuh kepulan asap dari mulutnya.

Hari itu, memang ada sosialisasi kegunaan kondom yang dilakukan dua pedamping tersebut. Ya, belasan wanita itu adalah sebahagian dari puluhan wanita pekerja seks (WPS)  yang tinggal dan mengais rezeki di Komplek Parloha.

Ragam bentuk dan cerita didapat dari kegiatan sosialisasi kegunaan kondom yang disampaikan Dewi Sundari selaku direktur program SPKS. Satu cerita pembuka, yakni ketika mengisi daftar hadir.

Sebahagian WPS mengaku, sama sekali tak bisa membaca dan menulis. Salah satunya yakni diakui WPS bernama D (25) yang akrab disapa Hidung. Disebut Hidung karena bahagian indera pencium wanita ini tidak lagi sempurna akibat penyakit. Secara medis penyakit itu diketahui sebagai gangguan kulit yakni penyakit sifilis.

D kurang setuju kalau dia kena sifilis, dia beranggapan itu karena ulah pelanggannya alias diguna-guna. “Mungkin karena kurang mantap dia dilayani, makanya hidung aku dibuatnya jadi separuh kayak gini,” ujar D.

Soal sosialisasi penggunaan kondom memang sedikit merepotkan di tempat seperti tersebut. Buktinya, dua pedamping memang harus memiliki kesabaran yang tinggi. Termasuk ketika mengenalkan kondom khusus untuk wanita. “Ribet menggunakan kondom, cuma cerita aja tu pakai kondom. Apalagi banyak tamu yang tidak mau menggunakan kondom karena kurang nikmat,” ujar WPS lainnya yang ternyata berinisial D juga.

Begitu juga ketika diterangkan kalau kondom perempuan yang berbahan spon bisa menyimpan sperma laki-laki. Selain bisa meresap sperma lelaki, kondom wanita ini bisa digunakan untuk tiga kali pemakaian. “Short time sekali aja paling dah selesai, ribet ah. Mending pakai kondom laki-laki aja lebih simple lagian risih kalau tidak langsung dicuci sehabis berhubungan,” ujar wanita pemilik rambut menjulur itu.

Dari sosialisasi tiu diketahui, WPS di Parloha bisa melayani satu hingga tiga tamu per harinya. Hanya saja beberapa bulan belakangan, para WPS mengaku mengalami penurunan dari segi jumlah tamu.

Seorang wanita lainnya, yang disapa MT, mengaku penurunan tamu berdampak atas penurunan omset. Wanita berusia 40 tahunan ini mengaku sudah berada di kampung Parloha sejak 1994 lalu. Saat itu, usianya berkisar 23 tahun. Namun, dia mengaku tidak menetap selama 17 tahun di lokasi tersebut, tapi sering berpindah-pindah ke lokalisasi lainnya. Baru empat tahun belakangan, MT tak lagi berpikir pindah dengan kondisi usia yang terus bertambah.
Untuk sistem setoran, Mak Tesa menyebutkan, para WSP akan dikenakan Rp25 ribu untuk biaya kamar setiap sekali show (short time). “Dulunya kita membayar 5 ribu untuk kamarnya. Sekarang sudah 25 ribu. Itu ibarat setoran sama bapak (sebutan penanggung jawab lokasi prostitusi, Red),”akunya.
Tanpa ada keterikatan dan paksaan, para WPS akan disediakan kamar gratis untuk menarik minat para tamu. Sedikitnya terdapat 20 rumah berdiameter 10×20 meter,  mengitari Komplek Parloha, dengan masing-masing rumah memiliki empat kamar. Dengan kata lain, tersedia 80 kamar. Selain untuk tempat tinggal para WPS, kamar itu juga digunakan sebagai ruang ‘praktik’.

Tarif rata-rata untuk short time, para WPS mematoknya dengan harga Rp70 ribu. Jadi, setiap WPS akan mendapatkan hasil bersih sebesar Rp45 ribu, di luar dari tip yang diberikan tamu dan dipotong biaya sewa kamar.

Sementara bea yang harus dikeluarkan untuk long time atau menginap, para tamu harus memberikan dua kali lipat dan berlaku sama untuk biaya sewa kamarnya.

Sedangkan untuk keamanan para WPS, ditanggung sepenuhnya oleh penanggung jawab itu sendiri. Salah satu contoh bilang MT, yakni mengawasi dan menindak sikap tamu yang berlaku tidak sopan. Seperti kisahnya, MT pernah melayani tamu. Namun tanpa disangka, tamu yang dilayaninya memasukkan selotip ke dalam kemaluannya.

Penangung jawab yang mendapatkan laporan, langsung memukuli tamu tersebut dan meminta ganti rugi karena telah merugikan pekerjanya. “Awalnya aku dibayar Rp100 ribu Bang. Tapi karena dia buat jahat masukan selotip ke dalam kemaluanku, aku jadi minta ganti rugi Rp200 ribu,” kenangnya. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/