25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

SK Pengangkatan Diteken Soeharto sebelum Lengser

Di Brasil, ternyata Indonesia punya perwakilan “tetap”. Dia adalah Jose Arraes de Allencar, konsul kehormatan Indonesia di Recife, Negara Bagian Pernam-buco, Brasil.  Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang sekarang bertugas di Negeri Samba berhasil menemui sang diplomat.

Jose Arraes de Allencar
Jose Arraes de Allencar

Agung P Iskandar, Rio De Janeiro

Belum genap lima menit pesan singkat yang saya kirim, Jose sudah menelepon. Kata-kata sederhana dalam bahasa Indonesia pun meluncur dari seberang telepon. “Halo, apa kabar” Selamat malam” Bagaimana kabarnya?” kata Jose bertubi-tubi.

Jose memang begitu gembira bisa bertemu orang Indonesia di Recife, kampung halamannya. Maklum, selama ini Indonesia bagaikan tanah air kedua bagi dia. Indonesia adalah negara setelah Brasil yang begitu dia cintai. Karena itu, ketika saya mengirim pesan singkat ingin bertemu, Jose langsung tanggap.

Besok paginya, Jose meluncur ke penginapan saya. Saya sempat membayangkan Jose sudah tua, lebih dari 50 tahun. Ternyata, dia relatif masih muda, 43 tahun. Di kotanya, Jose dikenal sebagai salah seorang pengusaha ternama. Penampilannya sangat kasual: bercelana jins dan sepatu kets warna cerah.

“Kamu adalah temanku. Semua orang Indonesia adalah teman-teman saya,” katanya membuka percakapan di lobi Hotel Barramares, tempat saya menginap selama di Kota Recife.

Jose mengaku kesengsem pada Indonesia setelah tinggal di Bandung pada 1991″1993. Dia berada di Indonesia gara-gara jatuh hati kepada neng geulis Bandung yang ditemui di Amerika. Kebetulan, keduanya sedang menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam.

Saat si pujaan hati pulang ke Bandung, Jose ikut serta. Selama dua tahun di Bandung, dia kaget dengan banyaknya peluang bisnis. Menurut dia, Indonesia memiliki produk-produk berkualitas dengan harga murah. Terutama di bidang tekstil dan furnitur.

Bersama sang pacar, Jose lalu mendirikan perusahaan eksporter. Yakni, usaha mengirim kain dan furnitur ke Brasil. Barang-barang itu laku keras. Namun, karena ayahnya sakit, Jose terpaksa pulang. Pengelolaan perusahaan diserahkan sepenuhnya kepada sang kekasih.

Jose kemudian menikah dengan warga Brasil dan dikaruniai dua anak. Yakni, Guilherme Arraes de Allencar, 11, dan Mariana Arraes de Allencar, 8. Dia tidak jadi menikahi si neng geulis.

“Tapi, sampai sekarang kami tetap bersahabat. Kami masih kontak dan kini lebih sebagai sahabat. Meskipun saya tidak jadi beristri orang Indonesia, Indonesia sudah menguasai hati saya,” kata Jose sambil menerawang.

Kini Jose sudah move on. Tidak hanya move on dari pacar lawasnya itu, tapi juga dari aktivitas niaga yang dia dirikan di Indonesia. Perusahaan pengimpor barang-barang Indonesia di Brasil juga dia berikan kepada temannya. Sampai sekarang nama perusahaan itu tetap beraroma Indonesia: Brasilindo Utama.

Kini Jose berfokus di perusahaan yang bergerak di bidang penyimpanan dokumen, DocBrasil. Perusahaan tersebut menjadi klien pemerintah Negara Bagian Recife. Sejumlah cabang sudah didirikan di berbagai kota.

“Targetnya, kami bisa menguasai semua kota besar di Brasil pada 2020,” ujarnya bersemangat.

Saya sempat diajak Jose berkeliling Recife dengan mobil pribadinya. Mulai kawasan kota tua di Marko Zero, kawasan permukiman pantai di Praia Boa Viagem, hingga kawasan utara Kota Recife, Arruda.

“Perempatan ini seperti di Bandung ya, saya selalu senang kalau lewat sini,” ujarnya saat melintasi perempatan kecil yang padat tapi lancar.

Mobil kemudian mandek di depan sebuah gudang. Ternyata, gudang itulah yang dipakai Jose untuk mengamankan dokumen-dokumen penting seisi kota. Gudang seluas separo lapangan sepak bola itu sengaja tidak menggunakan listrik untuk penerangan. Pengelola khawatir terjadi korsleting listrik yang bisa mengakibatkan kebakaran.

Jose lantas menunjukkan ruang kerjanya. Ruangan berukuran 3 x 4 meter itu hanya berisi dua meja. Salah satu meja dilengkapi telepon dan kertas yang ditempelkan rapi di dinding belakang kursi. Kertas tersebut dilapisi plastik bening untuk membuatnya tetap awet. “Ini surat pengangkatan saya menjadi konsul kehormatan untuk Indonesia di Recife,” ujar Jose sambil memperlihatkan kertas yang telah dilaminating itu.

Dokumen pengangkatan Jose sebagai konsul kehormatan tertulis dalam bahasa Inggris. Surat tersebut ditandatangani dua pejabat terpenting Indonesia saat itu. Yakni, Presiden Soeharto dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Surat keputusan tersebut bertanggal 17 April 1998.

“Banyak yang mengatakan bahwa (surat) ini adalah salah satu dokumen yang ditandatangani Soeharto sebelum mundur sebagai presiden,” tutur Jose yang hingga kini sudah 16 tahun menjalankan tugas sebagai salah satu perwakilan Indonesia di Brasil itu.

Memang, pada 1998, situasi politik di Indonesia sedang krisis. Gelombang unjuk rasa yang dimotori para mahasiswa menuntut Soeharto turun. Akhirnya, 21 Mei 1998, Soeharto benar-benar lengser.

Jose ditunjuk menjadi konsul kehormatan setelah kembali ke Recife. Dia ditawari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Brasil untuk menduduki jabatan diplomatik itu. Pemerintah Indonesia menganggap Jose mengenal Indonesia karena lama tinggal di Bandung. “Saya langsung terima tawaran tersebut,” tegasnya.

Jose juga memamerkan beberapa furnitur asal Indonesia yang dipakai kantornya. Salah satunya satu set meja kursi yang ditempatkan di depan gudang. “Ini enak kalau buat duduk sore-sore,” katanya sambil mengempaskan tubuhnya di kursi yang serat-serat kayunya terlihat jelas itu.

Perusahaan importer Jose yang dikelola temannya kini berkembang pesat. Di Recife saja terdapat empat toko furnitur yang sebagian besar menjual barang-barang produksi Indonesia. Kebanyakan dari Bali.

Toko-toko (lojas) furnitur itu diberi nama Jurandir. Saya sempat mengunjungi lojas Jurandir di pusat kota. Luas showroom furnitur itu mencapai empat lapangan voli. Di depan toko dipamerkan patung-patung dari Bali.

Jurandir memang menyasar konsumen kelas atas. Satu kursi dari rotan, misalnya, dihargai BRL 350 (Rp 1.750.000), sedangkan satu lemari sederhana BRL 1.600 (Rp 8 juta). Toko itu juga menjual barang-barang dengan poster penari Bali serta Presiden Soekarno. “Ini dulu saya yang memulai,” kata Jose.

Dia mengaku masih sering berkunjung ke Indonesia. Dalam setahun dia bisa 2″3 kali “pulang kampung” untuk urusan bisnis. Tapi, sejauh ini Jose belum pernah mengajak anak-anak dan istrinya ke Indonesia. Karena itu, dia berniat suatu hari nanti bisa mengajak keluarganya.

Yang paling dirindukan Jose di Indonesia adalah makanan dan buah-buahan. Mulai nasi goreng, rambutan, hingga durian. Tiga makanan itu menjadi favoritnya. Terutama durian. Saking gemarnya, dia pernah membawa bibit durian ke Brasil agar bisa menikmatinya tanpa harus pergi ke Indonesia.

Bibit durian bisa tumbuh subur. Jose senang bukan kepalang. Tapi, sampai bertahun-tahun, pohon itu tidak juga berbuah. Setelah diteliti, bibit pohon yang dibawa Jose ternyata termasuk yang tidak bisa berbuah alias mandul.

“Saya tidak tahu apa yang membuat demikian. Mungkin harus konsultasi dengan ahli tanaman,” ujarnya lantas terkekeh.

Jose mengungkapkan, sejatinya Indonesia dan Brasil memiliki banyak kesamaan. Kedua negara memiliki jumlah penduduk yang besar. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta jiwa, sedangkan Brasil sekitar 198 juta jiwa. Warga kedua negara sama-sama memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Keduanya juga sama-sama berada di zona tropis “meski Brasil lebih banyak di kawasan subtropis.

“Masalah di Indonesia lebih banyak soal stabilitas hukum dan ekonomi. Saat saya dulu mendirikan perusahaan, semua sangat stabil. Dolar sangat murah dan iklim usaha begitu menyenangkan,” paparnya mengenang era “Enak Jamanku, To?” itu.

Soal sepak bola, Jose juga yakin Indonesia bisa melejit. Memang masih jauh dari Brasil yang memiliki infrastruktur sepak bola yang lengkap. Namun, Indonesia sudah mempunyai modal dasar yang kuat, yakni para gibol (penggila sepak bola) yang besar.

“Saya dulu suka nonton Persib. Saat tim itu main, stadion penuh. Saya suka nonton karena ada pemainnya yang dari Brasil,” ungkapnya lantas terbahak. (*/c5/ari)

Di Brasil, ternyata Indonesia punya perwakilan “tetap”. Dia adalah Jose Arraes de Allencar, konsul kehormatan Indonesia di Recife, Negara Bagian Pernam-buco, Brasil.  Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang sekarang bertugas di Negeri Samba berhasil menemui sang diplomat.

Jose Arraes de Allencar
Jose Arraes de Allencar

Agung P Iskandar, Rio De Janeiro

Belum genap lima menit pesan singkat yang saya kirim, Jose sudah menelepon. Kata-kata sederhana dalam bahasa Indonesia pun meluncur dari seberang telepon. “Halo, apa kabar” Selamat malam” Bagaimana kabarnya?” kata Jose bertubi-tubi.

Jose memang begitu gembira bisa bertemu orang Indonesia di Recife, kampung halamannya. Maklum, selama ini Indonesia bagaikan tanah air kedua bagi dia. Indonesia adalah negara setelah Brasil yang begitu dia cintai. Karena itu, ketika saya mengirim pesan singkat ingin bertemu, Jose langsung tanggap.

Besok paginya, Jose meluncur ke penginapan saya. Saya sempat membayangkan Jose sudah tua, lebih dari 50 tahun. Ternyata, dia relatif masih muda, 43 tahun. Di kotanya, Jose dikenal sebagai salah seorang pengusaha ternama. Penampilannya sangat kasual: bercelana jins dan sepatu kets warna cerah.

“Kamu adalah temanku. Semua orang Indonesia adalah teman-teman saya,” katanya membuka percakapan di lobi Hotel Barramares, tempat saya menginap selama di Kota Recife.

Jose mengaku kesengsem pada Indonesia setelah tinggal di Bandung pada 1991″1993. Dia berada di Indonesia gara-gara jatuh hati kepada neng geulis Bandung yang ditemui di Amerika. Kebetulan, keduanya sedang menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam.

Saat si pujaan hati pulang ke Bandung, Jose ikut serta. Selama dua tahun di Bandung, dia kaget dengan banyaknya peluang bisnis. Menurut dia, Indonesia memiliki produk-produk berkualitas dengan harga murah. Terutama di bidang tekstil dan furnitur.

Bersama sang pacar, Jose lalu mendirikan perusahaan eksporter. Yakni, usaha mengirim kain dan furnitur ke Brasil. Barang-barang itu laku keras. Namun, karena ayahnya sakit, Jose terpaksa pulang. Pengelolaan perusahaan diserahkan sepenuhnya kepada sang kekasih.

Jose kemudian menikah dengan warga Brasil dan dikaruniai dua anak. Yakni, Guilherme Arraes de Allencar, 11, dan Mariana Arraes de Allencar, 8. Dia tidak jadi menikahi si neng geulis.

“Tapi, sampai sekarang kami tetap bersahabat. Kami masih kontak dan kini lebih sebagai sahabat. Meskipun saya tidak jadi beristri orang Indonesia, Indonesia sudah menguasai hati saya,” kata Jose sambil menerawang.

Kini Jose sudah move on. Tidak hanya move on dari pacar lawasnya itu, tapi juga dari aktivitas niaga yang dia dirikan di Indonesia. Perusahaan pengimpor barang-barang Indonesia di Brasil juga dia berikan kepada temannya. Sampai sekarang nama perusahaan itu tetap beraroma Indonesia: Brasilindo Utama.

Kini Jose berfokus di perusahaan yang bergerak di bidang penyimpanan dokumen, DocBrasil. Perusahaan tersebut menjadi klien pemerintah Negara Bagian Recife. Sejumlah cabang sudah didirikan di berbagai kota.

“Targetnya, kami bisa menguasai semua kota besar di Brasil pada 2020,” ujarnya bersemangat.

Saya sempat diajak Jose berkeliling Recife dengan mobil pribadinya. Mulai kawasan kota tua di Marko Zero, kawasan permukiman pantai di Praia Boa Viagem, hingga kawasan utara Kota Recife, Arruda.

“Perempatan ini seperti di Bandung ya, saya selalu senang kalau lewat sini,” ujarnya saat melintasi perempatan kecil yang padat tapi lancar.

Mobil kemudian mandek di depan sebuah gudang. Ternyata, gudang itulah yang dipakai Jose untuk mengamankan dokumen-dokumen penting seisi kota. Gudang seluas separo lapangan sepak bola itu sengaja tidak menggunakan listrik untuk penerangan. Pengelola khawatir terjadi korsleting listrik yang bisa mengakibatkan kebakaran.

Jose lantas menunjukkan ruang kerjanya. Ruangan berukuran 3 x 4 meter itu hanya berisi dua meja. Salah satu meja dilengkapi telepon dan kertas yang ditempelkan rapi di dinding belakang kursi. Kertas tersebut dilapisi plastik bening untuk membuatnya tetap awet. “Ini surat pengangkatan saya menjadi konsul kehormatan untuk Indonesia di Recife,” ujar Jose sambil memperlihatkan kertas yang telah dilaminating itu.

Dokumen pengangkatan Jose sebagai konsul kehormatan tertulis dalam bahasa Inggris. Surat tersebut ditandatangani dua pejabat terpenting Indonesia saat itu. Yakni, Presiden Soeharto dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Surat keputusan tersebut bertanggal 17 April 1998.

“Banyak yang mengatakan bahwa (surat) ini adalah salah satu dokumen yang ditandatangani Soeharto sebelum mundur sebagai presiden,” tutur Jose yang hingga kini sudah 16 tahun menjalankan tugas sebagai salah satu perwakilan Indonesia di Brasil itu.

Memang, pada 1998, situasi politik di Indonesia sedang krisis. Gelombang unjuk rasa yang dimotori para mahasiswa menuntut Soeharto turun. Akhirnya, 21 Mei 1998, Soeharto benar-benar lengser.

Jose ditunjuk menjadi konsul kehormatan setelah kembali ke Recife. Dia ditawari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Brasil untuk menduduki jabatan diplomatik itu. Pemerintah Indonesia menganggap Jose mengenal Indonesia karena lama tinggal di Bandung. “Saya langsung terima tawaran tersebut,” tegasnya.

Jose juga memamerkan beberapa furnitur asal Indonesia yang dipakai kantornya. Salah satunya satu set meja kursi yang ditempatkan di depan gudang. “Ini enak kalau buat duduk sore-sore,” katanya sambil mengempaskan tubuhnya di kursi yang serat-serat kayunya terlihat jelas itu.

Perusahaan importer Jose yang dikelola temannya kini berkembang pesat. Di Recife saja terdapat empat toko furnitur yang sebagian besar menjual barang-barang produksi Indonesia. Kebanyakan dari Bali.

Toko-toko (lojas) furnitur itu diberi nama Jurandir. Saya sempat mengunjungi lojas Jurandir di pusat kota. Luas showroom furnitur itu mencapai empat lapangan voli. Di depan toko dipamerkan patung-patung dari Bali.

Jurandir memang menyasar konsumen kelas atas. Satu kursi dari rotan, misalnya, dihargai BRL 350 (Rp 1.750.000), sedangkan satu lemari sederhana BRL 1.600 (Rp 8 juta). Toko itu juga menjual barang-barang dengan poster penari Bali serta Presiden Soekarno. “Ini dulu saya yang memulai,” kata Jose.

Dia mengaku masih sering berkunjung ke Indonesia. Dalam setahun dia bisa 2″3 kali “pulang kampung” untuk urusan bisnis. Tapi, sejauh ini Jose belum pernah mengajak anak-anak dan istrinya ke Indonesia. Karena itu, dia berniat suatu hari nanti bisa mengajak keluarganya.

Yang paling dirindukan Jose di Indonesia adalah makanan dan buah-buahan. Mulai nasi goreng, rambutan, hingga durian. Tiga makanan itu menjadi favoritnya. Terutama durian. Saking gemarnya, dia pernah membawa bibit durian ke Brasil agar bisa menikmatinya tanpa harus pergi ke Indonesia.

Bibit durian bisa tumbuh subur. Jose senang bukan kepalang. Tapi, sampai bertahun-tahun, pohon itu tidak juga berbuah. Setelah diteliti, bibit pohon yang dibawa Jose ternyata termasuk yang tidak bisa berbuah alias mandul.

“Saya tidak tahu apa yang membuat demikian. Mungkin harus konsultasi dengan ahli tanaman,” ujarnya lantas terkekeh.

Jose mengungkapkan, sejatinya Indonesia dan Brasil memiliki banyak kesamaan. Kedua negara memiliki jumlah penduduk yang besar. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta jiwa, sedangkan Brasil sekitar 198 juta jiwa. Warga kedua negara sama-sama memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Keduanya juga sama-sama berada di zona tropis “meski Brasil lebih banyak di kawasan subtropis.

“Masalah di Indonesia lebih banyak soal stabilitas hukum dan ekonomi. Saat saya dulu mendirikan perusahaan, semua sangat stabil. Dolar sangat murah dan iklim usaha begitu menyenangkan,” paparnya mengenang era “Enak Jamanku, To?” itu.

Soal sepak bola, Jose juga yakin Indonesia bisa melejit. Memang masih jauh dari Brasil yang memiliki infrastruktur sepak bola yang lengkap. Namun, Indonesia sudah mempunyai modal dasar yang kuat, yakni para gibol (penggila sepak bola) yang besar.

“Saya dulu suka nonton Persib. Saat tim itu main, stadion penuh. Saya suka nonton karena ada pemainnya yang dari Brasil,” ungkapnya lantas terbahak. (*/c5/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/