Site icon SumutPos

Solar di Laut Rp 3 Ribu Per Liter

Perkampungan Belawan Lama adalah sebutan untuk seluruh pemukiman nelayan yang berada di sekitar Sungai Nonang, Belawan. Perahu-perahu bermesin milik nelayan terlihat berseliweran melintasi perairan tersebut untuk menuju laut. Sepintas perairan yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka ini hanya tampak biasa dan cuma disibukan oleh aktivitas nelayan. Tak heran, jika praktek ilegal di pesisir utara Kota Medan ini tidak begitu terlihat. Berikut liputan ekslusif kami.

Siang itu, Kamis (13/6), sebelum menyinggahi permukiman nelayan di Perkampungan Belawan Lama, wartawan Sumut Pos lebih dulu menghampiri sebuah warung kopi kemudian menghubungi seorang narasumber. Tokoh ini punya informasi terkait aktivitas ilegal di kampung itu.

Penelusuran bermula dari rasa penasaran atas kabar yang kencang berhembus akhir pekan lalu. Tersiar kabar kalau perairan Sungai Nonang dan Lampu Satu, Belawan menjadi perlintasan distribusi bahan bakar minyak (BBM) tak resmi dan ‘surga’ bagi pebisnis hitam. Beruntung, informasi awal dan berbagai petunjuk didapat dari tokoh tersebut.

Sambil menikmati segelas kopi, kami berkomunikasi melalui sambungan telepon. Percakapan dari seberangn
selular itu mendapat respon positif. Kami diarahkan untuk menuju ke sebuah tangkahan kapal ikan nelayan.
“Setengah jam lagi kalian berangkat ke tangkahan itu, atau nanti saya hubungi kembali untuk memastikannya,” sebutnya dari seberang selular.
Sekitar 30 menit narasumber balik menelepon, kami diminta segera berangkat ke tangkahan yang dimaksud. Setelah membayar minuman yang dipesan dan membeli perbekalan konsumsi, kamipun beranjak.
Di tangkahan, rupanya sudah ada seorang pria menunggu. Dari penampilan dan wajah, pria ini tidak kelihatan seperti seorang nelayan. Setelan busananya mirip seorang toke. Celana pendek, baju kaos dan memakai topi membalut tubuh pria berumur 40-an tahun ini. Ah, sudahlah, soal dia siapa sepertinya bukan jadi persoalan, pastinya kami disambut ramah olehnya. “Dari Sumut Pos ya? Cuma ini saja kan orangnya yang berangkat,” ujarnya sambil tersenyum.
Setelah berbincang sekitar 15 menit, sebuah perahu bermesin lengkap dengan setumpuk jaring jaring ikan tiba. Kami lalu dipersilahkan menuju ujung tangkahan. Usai menaikan perbekalan ke buritan perahu, kamipun naik ke atas boat. Rupanya, pria tadi tidak ikut berangkat bersama kami, dia hanya menugaskan anak buahnya, sebut saja Wak Uteh, mendampingi kami selama berada di laut.
Waktu itu, jam menujukan pukul 12.12 WIB, tali tambat perahu mulai dilepaskan. Secara perlahan putaran baling-baling perahu membawa kami menyusuri perairan Sungai Nonang, Belawan. Di sepanjang pelayaran, kami disajikan potret kehidupan para nelayan yang umumnya bersuku Melayu. Kami juga menikmati panorama hutan mangrove dipadu sejumlah keramba alam di sekitar pinggiran pantai.

Hampir setengah jam perjalanan, pemandangan kumuhnya rumah-rumah nelayan mulai terlihat menjauh. Tak terasa rupanya perjalanan kami sudah berada di tengah laut, kondisi air laut yang tadinya tenang mulai bergelombang. Tiupan angin dan ombak tampak saling berkejaran. Di hadapan kami hanya terlihat kapal-kapal kargo dan tanker berukuran raksasa sedang berlabuh jangkar, menunggu jadwal sandar di Pelabuhan Belawan yang dipadati kapal niaga.
“Banyak juga ya kapal yang berlabuh ditengah laut, menunggu sandar di dermaga,” tanya wartawan Sumut Pos kepada Wak Uteh, membuka pembicaraan.

Sambil menghisap sebatang rokok di tangan kanannya, Wak Uteh pun mengatakan, kondisi itu karena dermaga pelabuhan sangat padat sehingga tidak dapat menampung seluruh kapal yang akan bongkar muat di pelabuhan. “Suasana seperti ini sering terjadi, coba lihat, hampir seluruh dermaga di pelabuhan masih dipadati kapal yang sandar, apalagi menjelang bulan puasa nanti,” ujar Wak Uteh sambil mengarahkan jari telunjuknya kea rah pelabuhan.
Melihat respon pria berpakaian rapi ini cukup baik dan bernada sopan Sumut Pos mencoba menggali informasi soal aktivitas pebisnis tak resmi. “Kalau soal itu, waktu kalian berangkat salah, maunya berangkat malam hari. Karena kalau siang begini jarang ada yang main,” jawabnya.
Jawaban itu sedikit mempengaruhi semangat Sumut Pos. Bagaimana tidak, untuk mencapai laut Belawan saja sudah penuh perjuangan. Selain itu, mobil yang ditumpangi Sumut Pos harus terendam banjir air laut (rob). Tapi setelah tiba di lokasi informasi yang didapat sungguh tidak sebanding.
“Ya, tapi kita coba lihat saja di tengah laut nanti, paling sekitar satu jam lebih perjalanan lagi. Karena kabarnya menjelang harga minyak naik, ada juga yang nekat membawa barang gelap seperti solar dan barang selundupan yang diangkut dari kapal-kapal yang berlabuh jangkar di perairan Lampu Satu,” kata, Wak Uteh memberi harapan.
Dia pun mulai bercerita. Katanya, permainan atau bisnis gelap yang terjadi di perairan Belawan bukan merupakan hal baru lagi. Kegiatan ilegal itu sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan sarana transportasi laut sarat muatan ilegal melintasi markas aparat keamanan. “Yang sering mereka (pelaku) bisnis BBM seperti solar, berton-ton minyak itu diambil dari kapal-kapal yang bersedia ‘kencing’ di tengah laut, harga per liternya Rp3 ribu dibayar ke anak kapal (ABK),” sebut dia.
Sebagai perbandingan, harga solar bersubsidi dijual Rp4.500 di pasar bebas, sedangkan solar nonsubsidi berharga Rp8.450.
Biasanya, solar-solar itu diangkut menggunakan kapal ikan berukuran besar yang telah dimodifikasi. Tapi idealnya, para pemain harus melibatkan oknum petugas keamanan sebelum bermain. Bahkan di tengah laut, pelaku bisnis ini harus menyiapkan biaya ‘buser’ untuk oknum-oknum aparat keamanan yang berpura-pura tutup mata.
“Kalau tidak dibecking oknum aparat, mana mungkin mereka berani, kecuali pemain kelas teri yang hanya mengangkut beberapa jeriken saja. Tapi kalau model pemain ‘ngecor’ (pipa curah dari kapal niaga ke lambung kapal ikan, Red) harus kuatlah bekingnya,” bebernya.
Dari ucapan pria berambut lurus ini, sepertinya dia bukan orang biasa. Meski tak mau terbuka dengan jati dirinya, tapi tersiar kabar kalau dia merupakan mantan pekerja dari salah satu pebisnis ilegal di daerah pinggiran pesisir utara Kota Medan. Sekitar setengah mil laut lagi menuju Perairan Lampu Satu Belawan, Wak Uteh tiba-tiba menunjuk ke arah sebuah kapal ikan berbobot lebih dari 30 GT (gross tonase).
“Nah, itu dia kapal ikan bawa solarnya. Kita terlambat, pasti dia habis ‘ngecor’ (menampung) solar dari kapal tanker di Perairan Lampu Satu, dari kondisi kapalnya saja kelihatan sarat muatan,” katanya menunjuk sebuah kapal berwarna biru merah yang berada sekitar 500 meter di hadapan kami.
Melihat itu, Sumut Pos langsung beranjak ke sebelah kanan lambung perahu. Di tengah guncangan ombak kami mencoba menatap kapal ikan yang samar-samar ditutupi kabut itu, kami mencoba untuk mengabadikan kapal diduga bermuatan solar tersebut. “Inilah jalur yang mereka lintasi. Kalau mau kita telusuri saja pelan-pelan, Siapa tahu kalian bias melihat langsung cara permainanya,” ujar dia.
Tak pelak, tawaran itu langsung kami amini. Setidaknya, jika tidak berhasil menguak cerita praktek ilegal lebih dalam, Sumut Pos bisa melihat jalur perlintasan kapal pebisnis gelap disekitar kawasan itu. Tanpa banyak tanya lagi, kami meminta, Wak Uteh untuk menuju kapal-kapal tanker dan kargo yang berlabuh jangkar di tengah laut Perairan Lampu Satu Belawan.
Tak lama kemudian, perahu yang membawa kami digiring ke kapal niaga yang sedang berlabuh dengan mengandalkan sauhnya. Saat itu, waktu menunjukan sekitar pukul 14.00 WIB. Di tengah ayunan ombak yang mencapai ketinggian lebih kurang 1 meter, membuat perahu yang kami tumpangi terpaksa mengurangi kecepatan.
Bahkan sesekali mesin perahu dinaiki Sumut Pos terdengar ‘merengek’ saat menuju ke arah kapal yang sedang berlabuh jangkar. Wak Uteh lalu menarik tali gear boks untuk menghentikan laju perahu.
Setelah Wak Uteh turun ke ruang mesin, kami akhirnya kembali kami melanjutkan perjalanan. Perlahan kami mendekati dan mengelilingi sekitar 21 unit kapal niaga diantaranya kapal tongkang bermuatan kayu gelondongan, kapal pengangkut kontainer, tanker dan cargo untuk mengintip aktivitas kapal-kapal yang membuang muatan solar atau diistilahkan ‘kencing’ kepada kapal ikan penampung ilegal.
Hampir 50 menit mengitari Perairan Lampu Satu, Belawan, kami tak kunjung memergoki kegiatan illegal itu. “Dimana tempat mereka ‘kencing’, kenapa tak kelihatan dari tadi,” gerutu awak Sumut Pos.
“Sudahlah, yang kita lewati ini jalur mereka, dan kalau siang hari begini sulit kita medapatinya. Tapi kalau mau lain kali kalian berangkatnya malam hari,” timpal Wak Uteh.
Kabut yang mulai menebal terbawa tiupan angin dan ombak laut yang semakin meninggi membuat perahu yang kami tumpangi terombang ambing. Akhirnya, kami memutuskan sekitar pukul 15.00 WIB untuk kembali pulang ke tangkahan di Sungai Nonang, Belawan. Dalam hati terbersit keinginan untuk segera melakukan perjalanan malam hari, melihat langsung praktik perdagangan BBM ilegal di lokasi itu, dengan persiapan lebih matang tentunya. (tim)

Exit mobile version