30 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Selesaikan atau Rugi Triliunan Rupiah

Konflik Warga-Investor di Tambang Emas Martabe

Kepala BPMP Sumut:  G-Resourches Bisa Menggugat Indonesia

MEDAN- Konflik antara pengelola tambang emas di proyek Martabe di Batangtoru, Tapanuli Selatan dengan warga di 11 desa di sekitar tambang terkait limbah tambang, harus segera diselesaikan. Bila ketidaksepahaman ini dibiarkan, akan menimbulkan efek negatif citra Sumatera Utara di mata dunia, bahkan akan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah untuk Sumatera Utara.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) Sumut, Purnama Dewi menegaskan, faktor penting yang harus dijaga agar investor bersedia hadir dan bertahan di Sumut adalah menjaga keamanan mereka. Apalagi, manfaat dan fungsi investor hadir itu adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
“Banyak kerugian yang akan timbul bila tambang.

Martabe tutup, walau untuk sementara. PT Agincourt Resource (pengelola tambang) melalui induk usahanya G-Resource listing di Hongkong. Kalau mereka tutup, dunia internasional dan PMA lain (di Indonesia) akan melihat, dan akan mulai berpikir, ada apa ini?” ujar Dewi.
Kalau investor tidak nyaman, mereka hengkang. Padahal investasi mereka berlaku jangka panjang dan membuka lapangan kerja. “Kalau ada lapangan kerja, berarti kesejahteraan kita meningkat,” ungkap Dewi.

G-Resource, yang terdaftar sebagai di PMA (penanaman modal asing) di pusat, bias saja menuntut pemerintah Indonesia. “Dengan alasan tidak mematuhi perjanjian internasional,” tambah Dewi.

Dewi memaparkan, pernah terjadi PMA yang menuntut Indonesia, karena keamanannya tidak diperhatikan. Akibatnya, PMA tersebut hengkang dan menuntut Indonesia hingga triliunan rupiah. “Kalau saya tidak salah, kejadiannya di Sulawesi atau Papua. Karena itu, mari kita selesaikan ini dengan sebaik mungkin. Bicara dengan baik. Agar semua tidak merasa di rugikan,” ungkap.

Saat ini, tambang emas asal Hongkong tersebut sulit untuk memproduksi emas, dikarenakan pipa penyaluran air sisa proses belum terpasang. “Kalau memang tambangnya sudah mengantongi AMDAL, dan aman menurut BLH, mereka wajib dilindungi. Apalagi, mereka hadir juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat,” jelasnya.

Menurut catatan Dewi, kejadian yang menimpa PMA terkait dengan sengketa dengan masyarakat di Sumut pernah terjadi. Tepatnya di kawasan Danau Toba, yaitu perusahaan Aquafarm yang merupakan budidaya ikan. Setelah bertahun-tahun berdiri, perusahaan asal Swiss ini dipermasalahkan oleh warga. “Tetapi masalah ini sudah selesai, jadi tidak perlu di ungkit lagi,” tambah Dewi.

Pengamat ekonomi yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen, Dr Ir Parulian Simanjuntak MA memandang masalah yang saat ini dihadapi G-Resource merupakan masalah klasik dan hampir selalu dialami PMA di Sumut. “Hampir semua bermasalah. Ini berarti ada masalah, ketegasan kita tidak ada. Sama sekali tidak ada. Urutkan secara baik, selain masalah infrastruktur, yang membuat investor malas ke sumut itu apa?. Lahan. Sengketa lahan yang tidak selesai,” ujarnya.

Sebagai pengusaha, yang paling dibutuhkan saat berinvestasi adalah kepastian hukum. Karena dengan adanya hukum, maka perlakuan tidak menyenangkan dapat dihindari. “Misalkan saya di Afrika. Walau daerah itu kaya akan sumber daya alam, seperti minyak, emas, dan lainnya, daerah itu tidak menjadi pilihan. Karena disana tidak ada kepastian hukum. Akibatnya apa? Pertumbuhan ekonomi di sana stagnan. Tidak ada peningkatan,” ujarnya.

Niat G-Resource yang akan menutup sementara tambang menasnya, dianggap Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Amsal Nasution, bukanlah pilihan bijak. Apalagi, niat itu akan berakibat PHK ribua pekerja di perusahaan itu dan perusahaan subkontraktor di sana.
Dia melihat, masalah saat ini muncul karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat setempat. “Kalau selama ini, komunikasi hanya kepada segelintir masyarakat. Atau hanya kepada pemda. Emang, tanah di sana hanya milik Pemda? Bukan kan?,” ujar anggota Fraksi PKS ini.

Amsal melihat rencana penutupan sementara tambang itu hanya ancaman. “Saya berpikirnya begini. Rencana tambang ini sudah puluhan tahun. Tetapi kenapa fasilitas untuk pipa itu belum di bangun juga? Kan berarti ada alasan di balik ini semua,” ujarnya menduga.

Amsal meminta manajemen PT Agincourt Resource bentukan G-Resource untuk mengelola tambang, tidak menganggap sepele keberadaan masyarakat setempat.

Walaupun begitu, Amsal mengakui bahwa support dari pemerintah daerah tidak sepenuhnya untuk tambang emas ini. “Saya berharap, agar perusahaan bersedia untuk melakukan komunikasi ulang dengan masyarakat. Agar kesepakatan tercapai,” ungkapnya.

Sebelumnya, Communications Manager PT Agincourt Resources, Katarina Hardono mengklaim sudah melakukan sosialisasi dan musyawarah guna mengambil langkah-langkah terbaik agar pemasangan pipa sepanjang 2,7 km ke Sungai Batangtoru dapat dilanjutkan.

Awalnya perusahaan berencana memulai pemasangan pipa pada Selasa, 4 September 2012.  Pekerjaan ini membutuhkan 14 hari kerja, dan diproyeksikan dapat dituntaskan tanggal 18 September 2012. “Air yang akan dialirkan adalah air sisa pabrik pengolahan bijih emas dan perak yang telah diproses dalam Instalasi Pemurnian Air Sisa Proses – atau lazim disebut Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) – agar memenuhi standar baku mutu kualitas yang disyaratkan KepMenLH No 202 Tahun 2004. Keseluruhan proses ini sudah sesuai dengan dokumen AMDAL yang telah disahkan Bupati Tapanuli Selatan pada 13 Maret 2008,” ujar Katarina.

Untuk memulai pekerjaan ini, Tambang Emas Martabe telah memperoleh ijin dan mendapat dukungan penuh dari sejumlah instansi pemerintah, yaitu Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Propinsi Sumatra Utara, Polda Tapanuli Selatan, Polsek Batangtoru, Muspika Batangtoru, Departemen Perhubungan, PTPN III dan masyarakat sekitar lokasi tambang.

Setelah penolakan warga di 11 desa menghentikan pemasangan pipa, pihak manajemen telah meminta perlindungan dari pemerintah provinsi dan pemkan Tapsel dan pihak terkait lainnya.

Sekilas Tambang Emas Martabe

Tambang Emas Martabe terletak di sisi barat pulau Sumatera, Kecamatan Batang Toru, Propinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 1.639 km2, di bawah Kontrak Karya generasi keenam (“CoW”) yang ditandatangani April 1997.  Kontrak Karya ini mendefinisikan semua syarat, ketentuan dan kewajiban kedua belah pihak, antara G-Resources dan Pemerintah Indonesia, di sepanjang masa berlakunya.

Tambang Emas Martabe, dengan basis sumber daya sebesar 7,86 juta oz emas dan 73,48 juta oz perak, adalah aset awal utama G-Resources. Tambang Emas Martabe memulai produksi di pit 1 (Purnama) di bulan Juli 2012, dan pada kapasitas penuh diharapkan untuk menghasilkan 250.000 oz emas dan 2-3 juta oz perak per tahun, dengan biaya operasional rendah.

G-Resources berkembang melalui eksplorasi wilayah Kontrak Karya yang sangat luas dan prospektif serta melalui akuisisi aset emas kualitas lainnya.  Tambang Emas Martabe akan menjadi standar acuan bagi G-Resources untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia dan di wilayah lainnya, dan terus bertumbuh dengan tetap mengutamakan keselamatan kerja, kelestarian lingkungan, dan pengembangan komunitas.

Saat ini dua ribu orang bekerja di Tambang Emas Martabe, 70% diantaranya direkrut dari masyarakat di sekitar tambang. Tambang Emas Martabe memprioritaskan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan melalui penerapan program-program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dengan meningkatkan usaha kecil dan menengah, serta produksi pertanian dan perikanan di wilayah Batangtoru dan sekitarnya, yang sebagian besar telah tumbuh secara signifikan.

Pemegang saham Tambang Emas Martabe adalah G-Resources Group Ltd sebesar 95 persen, dan pemegang 5 persen saham lainnya adalah PT Artha Nugraha Agung, yang 70 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan 30 persen dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Sumatra Utara.(ram/tms)

Konflik Warga-Investor di Tambang Emas Martabe

Kepala BPMP Sumut:  G-Resourches Bisa Menggugat Indonesia

MEDAN- Konflik antara pengelola tambang emas di proyek Martabe di Batangtoru, Tapanuli Selatan dengan warga di 11 desa di sekitar tambang terkait limbah tambang, harus segera diselesaikan. Bila ketidaksepahaman ini dibiarkan, akan menimbulkan efek negatif citra Sumatera Utara di mata dunia, bahkan akan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah untuk Sumatera Utara.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) Sumut, Purnama Dewi menegaskan, faktor penting yang harus dijaga agar investor bersedia hadir dan bertahan di Sumut adalah menjaga keamanan mereka. Apalagi, manfaat dan fungsi investor hadir itu adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
“Banyak kerugian yang akan timbul bila tambang.

Martabe tutup, walau untuk sementara. PT Agincourt Resource (pengelola tambang) melalui induk usahanya G-Resource listing di Hongkong. Kalau mereka tutup, dunia internasional dan PMA lain (di Indonesia) akan melihat, dan akan mulai berpikir, ada apa ini?” ujar Dewi.
Kalau investor tidak nyaman, mereka hengkang. Padahal investasi mereka berlaku jangka panjang dan membuka lapangan kerja. “Kalau ada lapangan kerja, berarti kesejahteraan kita meningkat,” ungkap Dewi.

G-Resource, yang terdaftar sebagai di PMA (penanaman modal asing) di pusat, bias saja menuntut pemerintah Indonesia. “Dengan alasan tidak mematuhi perjanjian internasional,” tambah Dewi.

Dewi memaparkan, pernah terjadi PMA yang menuntut Indonesia, karena keamanannya tidak diperhatikan. Akibatnya, PMA tersebut hengkang dan menuntut Indonesia hingga triliunan rupiah. “Kalau saya tidak salah, kejadiannya di Sulawesi atau Papua. Karena itu, mari kita selesaikan ini dengan sebaik mungkin. Bicara dengan baik. Agar semua tidak merasa di rugikan,” ungkap.

Saat ini, tambang emas asal Hongkong tersebut sulit untuk memproduksi emas, dikarenakan pipa penyaluran air sisa proses belum terpasang. “Kalau memang tambangnya sudah mengantongi AMDAL, dan aman menurut BLH, mereka wajib dilindungi. Apalagi, mereka hadir juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat,” jelasnya.

Menurut catatan Dewi, kejadian yang menimpa PMA terkait dengan sengketa dengan masyarakat di Sumut pernah terjadi. Tepatnya di kawasan Danau Toba, yaitu perusahaan Aquafarm yang merupakan budidaya ikan. Setelah bertahun-tahun berdiri, perusahaan asal Swiss ini dipermasalahkan oleh warga. “Tetapi masalah ini sudah selesai, jadi tidak perlu di ungkit lagi,” tambah Dewi.

Pengamat ekonomi yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen, Dr Ir Parulian Simanjuntak MA memandang masalah yang saat ini dihadapi G-Resource merupakan masalah klasik dan hampir selalu dialami PMA di Sumut. “Hampir semua bermasalah. Ini berarti ada masalah, ketegasan kita tidak ada. Sama sekali tidak ada. Urutkan secara baik, selain masalah infrastruktur, yang membuat investor malas ke sumut itu apa?. Lahan. Sengketa lahan yang tidak selesai,” ujarnya.

Sebagai pengusaha, yang paling dibutuhkan saat berinvestasi adalah kepastian hukum. Karena dengan adanya hukum, maka perlakuan tidak menyenangkan dapat dihindari. “Misalkan saya di Afrika. Walau daerah itu kaya akan sumber daya alam, seperti minyak, emas, dan lainnya, daerah itu tidak menjadi pilihan. Karena disana tidak ada kepastian hukum. Akibatnya apa? Pertumbuhan ekonomi di sana stagnan. Tidak ada peningkatan,” ujarnya.

Niat G-Resource yang akan menutup sementara tambang menasnya, dianggap Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Amsal Nasution, bukanlah pilihan bijak. Apalagi, niat itu akan berakibat PHK ribua pekerja di perusahaan itu dan perusahaan subkontraktor di sana.
Dia melihat, masalah saat ini muncul karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat setempat. “Kalau selama ini, komunikasi hanya kepada segelintir masyarakat. Atau hanya kepada pemda. Emang, tanah di sana hanya milik Pemda? Bukan kan?,” ujar anggota Fraksi PKS ini.

Amsal melihat rencana penutupan sementara tambang itu hanya ancaman. “Saya berpikirnya begini. Rencana tambang ini sudah puluhan tahun. Tetapi kenapa fasilitas untuk pipa itu belum di bangun juga? Kan berarti ada alasan di balik ini semua,” ujarnya menduga.

Amsal meminta manajemen PT Agincourt Resource bentukan G-Resource untuk mengelola tambang, tidak menganggap sepele keberadaan masyarakat setempat.

Walaupun begitu, Amsal mengakui bahwa support dari pemerintah daerah tidak sepenuhnya untuk tambang emas ini. “Saya berharap, agar perusahaan bersedia untuk melakukan komunikasi ulang dengan masyarakat. Agar kesepakatan tercapai,” ungkapnya.

Sebelumnya, Communications Manager PT Agincourt Resources, Katarina Hardono mengklaim sudah melakukan sosialisasi dan musyawarah guna mengambil langkah-langkah terbaik agar pemasangan pipa sepanjang 2,7 km ke Sungai Batangtoru dapat dilanjutkan.

Awalnya perusahaan berencana memulai pemasangan pipa pada Selasa, 4 September 2012.  Pekerjaan ini membutuhkan 14 hari kerja, dan diproyeksikan dapat dituntaskan tanggal 18 September 2012. “Air yang akan dialirkan adalah air sisa pabrik pengolahan bijih emas dan perak yang telah diproses dalam Instalasi Pemurnian Air Sisa Proses – atau lazim disebut Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) – agar memenuhi standar baku mutu kualitas yang disyaratkan KepMenLH No 202 Tahun 2004. Keseluruhan proses ini sudah sesuai dengan dokumen AMDAL yang telah disahkan Bupati Tapanuli Selatan pada 13 Maret 2008,” ujar Katarina.

Untuk memulai pekerjaan ini, Tambang Emas Martabe telah memperoleh ijin dan mendapat dukungan penuh dari sejumlah instansi pemerintah, yaitu Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Propinsi Sumatra Utara, Polda Tapanuli Selatan, Polsek Batangtoru, Muspika Batangtoru, Departemen Perhubungan, PTPN III dan masyarakat sekitar lokasi tambang.

Setelah penolakan warga di 11 desa menghentikan pemasangan pipa, pihak manajemen telah meminta perlindungan dari pemerintah provinsi dan pemkan Tapsel dan pihak terkait lainnya.

Sekilas Tambang Emas Martabe

Tambang Emas Martabe terletak di sisi barat pulau Sumatera, Kecamatan Batang Toru, Propinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 1.639 km2, di bawah Kontrak Karya generasi keenam (“CoW”) yang ditandatangani April 1997.  Kontrak Karya ini mendefinisikan semua syarat, ketentuan dan kewajiban kedua belah pihak, antara G-Resources dan Pemerintah Indonesia, di sepanjang masa berlakunya.

Tambang Emas Martabe, dengan basis sumber daya sebesar 7,86 juta oz emas dan 73,48 juta oz perak, adalah aset awal utama G-Resources. Tambang Emas Martabe memulai produksi di pit 1 (Purnama) di bulan Juli 2012, dan pada kapasitas penuh diharapkan untuk menghasilkan 250.000 oz emas dan 2-3 juta oz perak per tahun, dengan biaya operasional rendah.

G-Resources berkembang melalui eksplorasi wilayah Kontrak Karya yang sangat luas dan prospektif serta melalui akuisisi aset emas kualitas lainnya.  Tambang Emas Martabe akan menjadi standar acuan bagi G-Resources untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia dan di wilayah lainnya, dan terus bertumbuh dengan tetap mengutamakan keselamatan kerja, kelestarian lingkungan, dan pengembangan komunitas.

Saat ini dua ribu orang bekerja di Tambang Emas Martabe, 70% diantaranya direkrut dari masyarakat di sekitar tambang. Tambang Emas Martabe memprioritaskan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan melalui penerapan program-program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dengan meningkatkan usaha kecil dan menengah, serta produksi pertanian dan perikanan di wilayah Batangtoru dan sekitarnya, yang sebagian besar telah tumbuh secara signifikan.

Pemegang saham Tambang Emas Martabe adalah G-Resources Group Ltd sebesar 95 persen, dan pemegang 5 persen saham lainnya adalah PT Artha Nugraha Agung, yang 70 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan 30 persen dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Sumatra Utara.(ram/tms)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/