MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang digulirkan pemerintah menuai pro kontra dari berbagai kalangan, termasuk di Sumut.
Menurut Pengamat Ekonomi, Gunawan Benjamin, RUU Omnibus Law merupakan tuntutan zaman di era pasar terbuka. Kata dia, salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pengangguran.
“Jika RUU ini disahkan atau dijadikan UU nantinya, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Gunawan dalam diskusi ‘Urgensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja’n
yang digagas Suluh Muda Indonesia (SMI) di Restoran Bunda, Jalan Iskandar Muda, Medan, Sabtu (14/3).
Diyakini Gunawan, RUU tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. “Saya yakin kalau RUU ini disahkan, pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh 6 hingga 7 persen per tahun. Itu angka ideal untuk Indonesia, karena angka 5 persen pertumbuhan tidak cukup,” kata dosen Universitas Islam Negeri Sumut ini.
Gunawan menjelaskan, dalam perhitungan ekonom, 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa meng-cover 500 ribu orang. Sementara, angka pencari kerja 4,5 juta orang per tahun di Indonesia.
“Kaum buruh yang menolak RUU ini juga harus melihat dari sisi masyakarat kelompok pengangguran. Omnibus Law ini akan memberikan kesempatan kerja yang luas kepada kelompok pengangguran, maka kesejahteraan akan meningkat dan merata,” terang Gunawan.
Diutarakan dia, Indonesia jangan terlambat menerapkan Omnibus Law. Hal ini mengingat negara-negara tetangga sudah menerapkan itu dan secara ekonomi mengalami peningkatan. “Tentang ini, kita harus berpikir panjang. Sebab ini untuk kepentingan ekonomi jangka panjang Indonesia. Jika Indonesia tidak menerapkan itu, Indonesia akan rugi sendiri,” cetusnya.
Ia melanjutkan, kesempatan seperti ini akan diambil negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia maupun Thailand. Di satu sisi, Indonesia tidak bisa lepas dari tren global. “Karenanya, apa yang dilakukan pemerintah sudah tepat, meski beberapa hal tetap harus dikritisi sehingga draft ini lebih baik dan mengakomodir semua kepentingan,” tegasnya.
Dia menambahkan, RUU ini harus menyentuh semua stakeholder dan disosialisasikan lebih masif. Selain itu, masyarakat harus diajak memahami apa yang melatarbelakangi dasar perubahan dari pasal-pasal tersebut.
“Gejolak yang terjadi di masyarakat akibat ketidakpahaman atau subtansi UU tersebut, karena dianggap mengancam kepentingan sana sini, harus direduksi, harus diperkecil,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif SMI Kristian Redison Simarmata yang juga hadir dalam diskusi itu mengatakan, banyak hal yang masih perlu dibahas dalam RUU ini. Antara lain, penghapusan Amdal dan potensi makin tereksploitasinya lingkungan.
“Sementara dari sisi masyarakat, investasi yang diusung di-draft ini juga tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Kalau ada negara yang memberlakukan upah per jam, sebagaimana yang ditekankan didraft RUU, itu karena standar upahnya sudah tinggi, beda dengan di Indonesia. Mestinya yang diperkuat adalah inovasi masyarakat, bukan investasi karena investasi itu cenderung eksploitatif,” ujar Kristian.
Kristian menuturkan, draft ini terkesan terburu-buru dan sepertinya tidak punya naskah akademis. Dari sisi regulasi, jika semua regulasi ujung-ujungnya ditentukan pemerintah pusat, maka dikhawatirkan Indonesia akan kembali ke demokrasi terpimpin. “Jadi sebenarnya masalahnya bukan di birokrasi, tapi SDM di birokrasi yang perlu dirubah. Karena itu, selain inovasi, SDM yang perlu didorong bukan ujug-ujug undang investor,” pungkasnya. (ris/ila)