MEDAN- Aksi menuntut Presiden SBY mundur dari jabatannya yang marak belakangan ini dinilai tidak etis. Bahkan, pelaku dianggap tidak mengerti undang-undang dan mencoreng lambang negara.
“Sekarang ini di masyarakat kita telah terjangkit penyakit-penyakit demokrasi eforia. Sportivitas orang Indonesia sudah sangat menurun. Artinya, dulu rakyat kita dikenal anti kekerasan, antiradikalisme dan anti memfitnah orang. Tapi sekarang orang Indonesia telah terjangkit demokrasi dari luar, sehingga apapun yang dilakukan pejabat public tidak pernah dianggap benar. Sampai-sampai berani bersikap kurang ajar menghina lambang negera dan seenaknya menggelar aksi menuntut presiden turun dari jabatannya. Inikan namanya tidak etis,” tegas praktisi hukum DR. Putra Kaban SH MH kepada wartawan, kemarin.
Menurutnya, kalau rakyat Indonesia susah tidak lagi mempunyai jati diri, berarti dimana lagi harga diri kita sebagai anak bangsa, karena setiap kebijakan yang dikeluarkan pejabat publik, bila tidak disukai pasti didemo.
Politisi senior partai penguasa ini menilai, hal itu terjadi disebabkan karena parlemen-parlemen yang diharapkan membawa aspirasi masyarakat, belum bisa menjadi seperti yang diharapkan. Sehingga muncul parlemen-parleman jalanan yang selalu mengkritisi dan menyalahkan setiap kebijakan pemerintah. “Dalam demokrasi boleh-boleh saja melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Tapi tentunya tidak boleh menghina lambang negara, dengan cara mendiskreditkan dan memfitnah kepala negara. Mencari kelemahan-kelemahan lembaga-lembaga lain yang akhirnya semua kesalahan itu dilimpahkan kepada presiden. Disinilah letak tidak fairnya aksi unjukrasa, apalagi sampai mengeluarkan bahasa-bahasa yang menyinggung presiden,” papar advokad senior yang juga pengusaha muda taman wisata alam ini.
Putra Kaban menambahkan, rakyat Indonesia harus menghargai presiden dan mendukung kebijakan-kebijakannya. Apalagi Presiden SBY merupakan pemenang Pemilu 2009 dari partai Demokrat. Bahkan kemenangan Partai Demokrat sendiri pada Pemilu lalu mencapai 60 persen, baik untuk eksekutif maupun legislatif.
Dengan kemenangan itu, artinya masyarakat sangat mempercayai SBY sebagai pemimpin negara. Sehingga bila dalam perjalanan kepemimpinannya tidak sesuai dengan harapan, maka harus dikritik secara santun. Jangan melakukan penghinaan terhadap kepala negara, karena ini kurang bagus.
Permintaan mundur terhadap Presiden SBY-Boediono yang disampaikan pelaku aksi unjukrasa beberapa waktu lalu, tambah Kaban, juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab harus melalui prosedur dan tahapan-tahan yang telah ditetapkan undang-undang. “Kalau kita mempelajari undang-undang, tidak mungkin SBY-Boediono dilengserkan sebelum 2014, atau sebelum berakhirnya masa jabatan mereka,” ungkap putra kelahiran Kaban Jahe ini. (ton/smg)