MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masih sedikit di antara masyarakat yang mengetahui, bahwa Senin (19/11) hari ini merupakan Hari Toilet Sedunia. Hari Toilet Sedunia adalah sebuah kampanye untuk memberikan motivasi untuk menggerakkan dunia tentang pentingnya sanitasi.
DOSEN Universitas Sari Mutiara (USM) Indonesia Dr S Otniel Ketaren MSi kepada Sumut Pos di Medan Minggu (18/11) mengatakan, untuk mengingatkan pentingnya Hari Toilet Sedunia maka USM Indonesia menggelar perlombaan kebersihan toilet sekolah dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Medan.
‘’USM Indonesia merencanakan Lomba Toilet Bersih untuk sekolah dan SPBU di Medan. Hari Toilet Sedunia, kata Otnel, dinisiasi oleh World Toilet Organization pada 19 November 2001 dan pada tanggal 19 November 2013 yang lalu PBB menandatangani penetapan HTS sebagai salah satu hari internasional PBB,’’ kata Otniel Ketaren.
Menurut laporan WHO dan Unicef, bahwa lebih 1,1 miliar orang di dunia masih berperilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Berdasarkan laporan Tingkat dan Tren Kematian Anak-anak 2014 PBB, Indonesia merupakan peringkat kedua setelah India sebagai negara dengan tingkat BABS yang mencapai seperlima dari populasi.
‘’Perilaku BABS ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang di desa tetapi juga kota-kota besar begitu juga dengan fasilitas tempat umum yang disebabkan oleh sebagian tidak mempunyai fasilitas toilet dan juga dipengaruhi oleh kondisi toilet yang tidak bersih dan tidak layak pakai,’’ katanya.
Ia menegaskan, bahwa toilet merupakan sarana kebersihan dan kesehatan. Sebab toilet merupakan salah satu indikator terbersih dan sehatnya sebuah rumah atau bangunan umum seperti sekolah, SPBU, mall dan bandara. ‘’Kebersihan toilet dapat dijadikan ukuran terhadap kualitas manajemen sanitasi di suatu tempat,’’ terangnya.
Sebagai sarana buang air manusia, lanjut dia, toilet merupakan sumber perkembangbiakan berbagai kuman penyakit, sehingga harus dipelihara dengan baik. Persyaratan toilet yang baik dan sehat adalah dilihat dari kebersihan, ketersediaan air dan tipenya.
‘’Jumlah kisaran BABS di India 616 juta jiwa, Indonesia 63 juta jiwa, Pakistan 40 juta jiwa, Nigeria 39 juta jiwa, Ethiophia 38 juta jiwa. Kuman bisa berkembang biak di kamar mandi atau toilet yang kotor setiap 20 menit sekali. Dalam 24 jam saja bisa mejadi 8 juta sel, sehigga menimbulkan bau yang tidak sedap,’’ sebut dia.
Akibat perilaku BABS itu, lanjut dia, Kementerian Kesehatan memperkirakan kerugian ekonomi sekitar Rp56,8 triliun per tahun. Sebab biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan untuk mengatasi penyakit akibat sanitasi yang buruk, antara lain penyakit diare yang disebabkan toilet kotor yang menjadi sumber penularan bakteri yang berkembang biak dengan mudah dan cepat yang berbahaya bagi kesehatan.
Ia menambahkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan toilet di fasilitas-fasilitas umum masih sangat rendah. Penelitian yang pernah dilakukan Yayasan Lembaga dan Konsumen Indonesia (YLKI) tahun 2011 tentang pengelolaan toilet di SPBU dan Mushola mengatakan banyak konsumen yang tidak puas dalam memanfaatkan fasilitas tersebut.
‘’Sebanyak 42 SPBU atau 87,5 persen persen dari sampel dianggap tak memiliki toilet mumpuni. Aspek utama yang menjadi masalah adalah tentang hygenitas. Perjalanan yang menempuh waktu yang lama membuat banyak orang terkadang ingin buang air kecil.
Dan tempat paling strategis untuk buang air kecil sekaligus beristirahat adalah SPBU. Akan tetapi, kondisi toilet di SPBU ini dari segi kebersihannya tidak terpelihara, aroma kurang sedap yang menyengat, dan yang paling umum terjadi yaitu tidak adanya air tersedia bahkan saluran air yang banyak tersumbat,’’ imbuhnya.
Kondisi kebersihan toilet yang tidak bersih telah memberikan kesan yang kurang baik bagi masyarakat pengguna khususnya yang ada dalam perjalanan ke suatu tempat. Apalagi lokasi yang dituju adalah daerah tujuan wisata (DTW), yang ramai dikunjungi wisatawan baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan luar negeri.
Bagaimana potret kebiasaan BAB di Sumut? Kondisi BABS di Sumut menurut hasil Riskesdas tahun 2010 bahwa 18,2 persen rumah tangga di Provsu tidak mempunyai fasilitas BAB, lebih besar dari rata-rata nasional 15,8 persen. Persentase rumah tangga menurut tempat pembuangan akhir tinja adalah tangki septik 61,4 persen, SPAL 3,1 persen, kolam/sawah 1,7 persen, sungai/danau 14,8 persen, lubang tanah 10,1 persen dan kebun 7 persen.
‘’Persentase rumah tangga yang tidak punya akses terhadap pembuangan tinja layak sesuai MDG’s adalah sebesar 42,7 persen. Yang paling memprihatinkan adalah sebanyak 19,9 persen rumah tangga masih BABS (open defecation), lebih tinggi dari rata-rata nasional 17,2 persen.’’ katanya.
Tak bisa dipungkiri, bahwa masih banyak warga dibeberapa daerah di Sumut masih BABS karena tidak mempunyai fasilitas BAB. BAB masih ke kali, sungai, kolam, kebun di belakang rumah. Kondisi ini diperparah dengan perilaku buruk dari warga, seperti penyediaan air bersih yang tidak layak, pembuangan limbah rumah tangga yang buruk dan memelihara ternak yang tidak dikandangkan.
Kondisi dan perilaku warga yang BABS khususnya ke kebun belakang rumah ditambah dengan adanya ternak-ternak seperti babi dan anjing yang berkeliaran memberi cerita atau kisah sendiri. Kalau seseorang mau buang hajat ke kebun belakang rumah, maka haruslah ia membawa satu kalau perlu dua tongkat kayu. Tongkat dimaksud adalah untuk mengusir hewan ternak tersebut, karena begitu anda jongkok mau BAB beberapa ekor ternak dalam posisi siap menerkam “produk BAB”.
Situasi seperti ini tentu tidak nyaman kalau tidak bisa dikatakan berbahaya, oleh karena itu tongkat dimaksud berguna untuk mengusir hewan ternak yang mengikuti atau menunggui orang yang sedang BAB. Penulis menyebut atau mengusulkan kondisi seperti ini dengan istilah “Kakus Tongkat”.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
Dengan pertimbangan kondisi diatas, pada tahun 2008 pemerintah membuat strategi kebijakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang sebelumnya didahului oleh program Community Led Total Sanitation (CLTS) yang di uji coba dibeberapa kabupaten / kota terpilih.
STBM adalah pendekatan untuk merubah perilaku hiegene dan sanitasi melallui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Prinsip STBM adalah sebagai berikut, pertama, apa yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat, untuk selalu menciptakan kondisi sanitasi yang lebih baik tanpa bantuan pihak diluar warga. Kedua,dengan membangkitkan atau memicu rasa malu, rasa jijik, dan rasa takut terhadap penyakit.
STBM sebenarnya di disain untuk sasaran masyarakat pedesaan. Namun pendekatan partisipatif dengan pemicuan bisa digunakan untuk masyarakat perkotaan dengan beberapa penyesuaian. Sikap dan perilaku yang ingin diubah melalui partisipatif ini adalah kebiasaan BAB, kebiasaan CTPS, kebiasaan pengelolaan air minum rumah tangga, kebiasaan pengelolaan pembuangan air limbah, dan pengelolaan sampah.
Indikator output dan outcomenya adalah setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi dasar sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang tempat (ODF). Kemudian setiap rumah tangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan yang aman di rumah tangga.
Selanjutnya, setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas (seperti sekolah, kantor, rumah makan,puskesmas, pasar, terminal) tersedia fasilitas cuci tangan (air, sabun, sarana cuci tangan) sehingga semua orang mencuci tangan dengan benar. ‘’Setiap rumah tangga mengelola limbahnya dengan benar. Setiap rumah tangga mengelola sampahnya dengan benar,’’ tegas Otniel Ketaren. (*)