31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Tak Perlu Menunggu 8 Jam untuk Melihat Bulan Sabit

Pada 27-29 April nanti di Surabaya digelar workshop pemotretan bulan sabit dengan menggunakan peralatan astrofotografi. Workshop itu mengha-dirkan astrofotografer kelas dunia dari Prancis, Thierry Legault. Penulis buku serial tasawuf modern AGUS MUSTOFA berkesempatan menemui Thierry di rumahnya yang asri di Paris.

SUPERCANGGIH: Agus Mustofa memperhatikan Thierry Legault mempraktikkan kerja astrofotografi yang bisa memotret benda-benda di langit secara jernih.
SUPERCANGGIH: Agus Mustofa memperhatikan Thierry Legault mempraktikkan kerja astrofotografi yang bisa memotret benda-benda di langit secara jernih.

Hari terakhir di Paris saya manfaatkan sepenuhnya untuk berdiskusi dengan Thierry Legault. Dia adalah astrofotografer kelas dunian
yang namanya diabadikan sebagai nama asteroid seperti halnya Averroes (Ibnu Rusyd), ilmuwan masyhur pada zaman keemasan Islam di Andalusia, Spanyol. Yakni, Asteroid 19458 Legault yang disematkan The International Astronomical Union. Karya-karyanya diapresiasi secara luas oleh berbagai kalangan di dunia astronomi, termasuk NASA, lembaga antariksa Amerika Serikat.

“Okay, I will go to your hotel and bring my equipment (Baiklah, saya akan pergi ke hotelmu dan membawa peralatan saya, Red),” katanya lewat SMS saat saya tanya di mana pertemuan dengannya diadakan.

Tetapi, Thierry hanya akan membawa peralatan fotografi yang berukuran kecil karena yang lebih besar sudah diset permanen di halaman belakang rumahnya. Maka, saya pun segera membalas SMS-nya, “I think it will be better if  I visit your home. I want to know the big one (Saya kira akan lebih baik jika saya ke rumah Anda. Saya ingin tahu peralatan fotografi yang besar, Red).”

Setelah disetujui, saya pun meluncur ke rumah Thierry Legault di kawasan suburban 4 Place de Molay, Elancourt, yang berjarak sekitar 30 km dari pusat Kota Paris. Diperlukan sekitar 45 menit perjalanan dengan taksi untuk sampai di rumah Thierry di kawasan perumahan yang asri. Rumah Thierry terbilang cukup besar untuk ukuran Eropa. Bertingkat dua, halaman depan dan belakangnya dipenuhi tanaman khas empat musim.

Insinyur bidang aeronautika itu tinggal sendirian di rumahnya yang sepi. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak tunggalnya tinggal di New York, AS. Maka, selain menjadi konsultan dan auditor di berbagai perusahaan penerbangan komersial seperti Boeing, Airbus, dan Aerospace, Thierry tenggelam dalam hobinya: astrofotografi.

Dia hobi memotret benda-benda langit, mulai bulan, matahari, planet-planet dalam tata surya, asteroid, komet, nebula, sampai bintang-bintang dan galaksi, di kedalaman langit. Karya-karyanya yang sangat fenomenal “antara lain, tentang peta terbaru permukaan bulan” diabadikannya dalam bentuk buku berjudul Astrophotography Handbook, Techniques for the Amateur. Buku itu sering dikutip media-media terkenal di seluruh dunia seperti Nature, Scientific American, The Times, MSNBC, BBC, CNN, ABC, CBS, Fox, CBC, The Wall Street Journal, The Discovery Channel, Popular Science, Aviation, dan tak ketinggalan NASA.

Siang itu, sebelum berpraktik dengan peralatan astrofotografinya, kami makan di resto dekat rumahnya. Kami berdiskusi tentang teknik pemotretan bulan sabit yang akan kami workshop-kan di Surabaya. “Kita bisa melakukannya,” tegasnya saat saya tanya apakah benar dia bisa memotret bulan sabit sangat muda yang masih berusia beberapa menit dari konjungsi.

Selama ini, khususnya di Indonesia, diyakini bahwa bulan sabit muda atau hilal Ramadan baru bisa dilihat jika sudah berusia minimal delapan jam atau setara dengan ketinggian 2 derajat dari horizon. Namun, Thierry telah membuktikan bahwa peralatan fotografinya bisa menangkap bulan yang masih sangat muda. Dia telah melakukannya beberapa kali sejak 2010. Yang terbaru, pada 8 Juli 2013, saat umat Islam di seluruh dunia sibuk melakukan rukyat dengan mata telanjang atau menggunakan teleskop biasa, tapi tidak berhasil melihatnya karena ukuran bulan yang sangat tipis.

“Kita harus memakai filter inframerah,” paparnya.

Dengan menggunakan filter inframerah, kamera yang berfungsi memotret bulan sabit sangat tipis itu akan memperoleh cahaya yang memadai. Selain itu, untuk memotret bulan sabit, diperlukan mounting yang memiliki motor penggerak otomatis untuk melacak posisi bulan. Dengan disertai GPS, mounting akan “mengunci” posisi bulan sehingga tidak bisa lepas dari pantauan teleskop.

“Kita tinggal merekamnya dengan video sampai berapa lama pun yang kita inginkan,” jelasnya.

Saya cukup terkesan dengan teknik astrofotografi yang digunakannya. Apalagi, dia sudah berpengalaman. Karyanya juga sudah dipublikasikan secara luas di dunia internasional. Karena itulah, saya ingin menularkan metode pemotretan bulan sabit ala Thierry tersebut kepada para perukyat hilal di Indonesia. Harapannya, saat menjelang Ramadan, para perukyat bisa membuktikan terbitnya bulan sabit baru meskipun umurnya belum mencapai delapan jam. Bahkan, dimungkinkan saat bulan sabit masih berusia beberapa menit atau sesaat setelah terjadinya konjungsi alias ijtimak. Kita bisa memotret bulan sebelum konjungsi, saat terjadi konjungsi, dan setelahnya.

Lantaran fungsinya yang penting, saya akhirnya memutuskan untuk membeli peralatan astrofotografi lengkap seperti yang dia anjurkan. Untuk keperluan workshop pemotretan bulan sabit April nanti, saya sudah membeli empat set yang masing-masing terdiri atas teleskop, kamera, mounting, GPS, filter inframerah, dan berbagai aksesorinya. Harga satu set sekitar Rp 100 juta. Bulan depan saya pesan enam set lagi. Dananya merupakan sumbangan jamaah yang peduli pada upaya untuk menyelesaikan masalah kontroversial itu.Saya akan membeli sepuluh set lagi, namun masih menunggu uluran tangan dari mereka yang peduli terhadap masalah tersebut agar saat rukyat menjelang Ramadan Juni nanti kita bisa melakukan pengamatan di 20 titik. Dengan harapan, jika satu lokasi tertutup awan, di lokasi lainnya perukyat bisa memperoleh gambar yang lebih jernih.

“The sky must be deep blue (Langit harus cerah, Red),” tegas Thierry. Kondisi cuaca merupakan tantangan tersendiri bagi perukyat meskipun sudah menggunakan peralatan yang canggih. Karena itu, Thierry menganjurkan untuk mencari lokasi-lokasi yang tidak terlalu berawan. Tidak harus di pantai seperti lazimnya yang dilakukan selama ini. Tapi, bisa juga di gunung.

Menurut dia, semakin tinggi lokasi pemotretan makin rendah kelembapan dan tingkat polusinya, semakin rendah pula serapan cahayanya sehingga berdampak bagus pada hasil pemotretan.

“Ayo, kita kembali ke rumah,” ajaknya seusai makan siang. Dia ingin segera menunjukkan kinerja peralatan astrofotografinya. Keseriusan astrofotografer yang telah melanglang buana itu terlihat dari bagaimana dia menyiapkan materi workshop. Dia telah menguji coba peralatan yang akan dipakai di Indonesia saat workshop maupun festival menjelang Ramadan. Menurut dia, agar bisa berfungsi di kawasan ekuator yang berderajat lintang rendah seperti Indonesia, peralatannya perlu dimodifikasi di beberapa bagian. Dia pun sudah melakukannya.

Optique & Vision yang bermarkas di Prancis telah mengirimkan contoh peralatan yang sudah dimodifikasi itu. “Ini adalah peralatan yang bisa Anda pakai pada workshop itu,” tutur Thierry sambil menunjukkan peralatan yang sudah dimodifikasi. Saya pun diberi kesempatan untuk mengintip benda-benda langit dari peralatan astrofotografinya. Siang itu saya bisa melihat dengan jernih bola api matahari dan sejumlah planet di tata surya melalui sistem filter yang dipasang di peralatan seharga puluhan ribu euro miliknya. Untuk melihat bulan sabit, kata dia, tidak diperlukan alat secanggih yang dia miliki. Yang penting, tercukupi spesifikasi yang diperlukan. Selebihnya, Thierry menjelaskannya secara lebih detail di acara workshop di Surabaya bulan depan.

Saya berharap workshop itu bisa dimanfaatkan kalangan penggemar fotografi, klub-klub astronomi, perguruan tinggi, lembaga-lembaga hisab dan rukyat, serta siapa saja yang peduli dengan masalah tersebut. Sebab, selain jarang bisa memperoleh kesempatan belajar dari ahli astrofotografi sekaliber Thierry, metode itu diharapkan bisa menyelesaikan perbedaan hisab dan rukyat di Indonesia yang sudah sangat menyesakkan dada.

Jauh hari sebelum menemui Thierry di Prancis, saya mendapat restu untuk menggelar workshop pemotretan bulan sabit di Indonesia itu. Di antaranya, dari Menteri Agama Suryadharma Ali, Mendikbud M. Nuh, Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan Rais Syuriah PB NU KH Masdar F. Mas’udi. (c10/ari/rbb)

Pada 27-29 April nanti di Surabaya digelar workshop pemotretan bulan sabit dengan menggunakan peralatan astrofotografi. Workshop itu mengha-dirkan astrofotografer kelas dunia dari Prancis, Thierry Legault. Penulis buku serial tasawuf modern AGUS MUSTOFA berkesempatan menemui Thierry di rumahnya yang asri di Paris.

SUPERCANGGIH: Agus Mustofa memperhatikan Thierry Legault mempraktikkan kerja astrofotografi yang bisa memotret benda-benda di langit secara jernih.
SUPERCANGGIH: Agus Mustofa memperhatikan Thierry Legault mempraktikkan kerja astrofotografi yang bisa memotret benda-benda di langit secara jernih.

Hari terakhir di Paris saya manfaatkan sepenuhnya untuk berdiskusi dengan Thierry Legault. Dia adalah astrofotografer kelas dunian
yang namanya diabadikan sebagai nama asteroid seperti halnya Averroes (Ibnu Rusyd), ilmuwan masyhur pada zaman keemasan Islam di Andalusia, Spanyol. Yakni, Asteroid 19458 Legault yang disematkan The International Astronomical Union. Karya-karyanya diapresiasi secara luas oleh berbagai kalangan di dunia astronomi, termasuk NASA, lembaga antariksa Amerika Serikat.

“Okay, I will go to your hotel and bring my equipment (Baiklah, saya akan pergi ke hotelmu dan membawa peralatan saya, Red),” katanya lewat SMS saat saya tanya di mana pertemuan dengannya diadakan.

Tetapi, Thierry hanya akan membawa peralatan fotografi yang berukuran kecil karena yang lebih besar sudah diset permanen di halaman belakang rumahnya. Maka, saya pun segera membalas SMS-nya, “I think it will be better if  I visit your home. I want to know the big one (Saya kira akan lebih baik jika saya ke rumah Anda. Saya ingin tahu peralatan fotografi yang besar, Red).”

Setelah disetujui, saya pun meluncur ke rumah Thierry Legault di kawasan suburban 4 Place de Molay, Elancourt, yang berjarak sekitar 30 km dari pusat Kota Paris. Diperlukan sekitar 45 menit perjalanan dengan taksi untuk sampai di rumah Thierry di kawasan perumahan yang asri. Rumah Thierry terbilang cukup besar untuk ukuran Eropa. Bertingkat dua, halaman depan dan belakangnya dipenuhi tanaman khas empat musim.

Insinyur bidang aeronautika itu tinggal sendirian di rumahnya yang sepi. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak tunggalnya tinggal di New York, AS. Maka, selain menjadi konsultan dan auditor di berbagai perusahaan penerbangan komersial seperti Boeing, Airbus, dan Aerospace, Thierry tenggelam dalam hobinya: astrofotografi.

Dia hobi memotret benda-benda langit, mulai bulan, matahari, planet-planet dalam tata surya, asteroid, komet, nebula, sampai bintang-bintang dan galaksi, di kedalaman langit. Karya-karyanya yang sangat fenomenal “antara lain, tentang peta terbaru permukaan bulan” diabadikannya dalam bentuk buku berjudul Astrophotography Handbook, Techniques for the Amateur. Buku itu sering dikutip media-media terkenal di seluruh dunia seperti Nature, Scientific American, The Times, MSNBC, BBC, CNN, ABC, CBS, Fox, CBC, The Wall Street Journal, The Discovery Channel, Popular Science, Aviation, dan tak ketinggalan NASA.

Siang itu, sebelum berpraktik dengan peralatan astrofotografinya, kami makan di resto dekat rumahnya. Kami berdiskusi tentang teknik pemotretan bulan sabit yang akan kami workshop-kan di Surabaya. “Kita bisa melakukannya,” tegasnya saat saya tanya apakah benar dia bisa memotret bulan sabit sangat muda yang masih berusia beberapa menit dari konjungsi.

Selama ini, khususnya di Indonesia, diyakini bahwa bulan sabit muda atau hilal Ramadan baru bisa dilihat jika sudah berusia minimal delapan jam atau setara dengan ketinggian 2 derajat dari horizon. Namun, Thierry telah membuktikan bahwa peralatan fotografinya bisa menangkap bulan yang masih sangat muda. Dia telah melakukannya beberapa kali sejak 2010. Yang terbaru, pada 8 Juli 2013, saat umat Islam di seluruh dunia sibuk melakukan rukyat dengan mata telanjang atau menggunakan teleskop biasa, tapi tidak berhasil melihatnya karena ukuran bulan yang sangat tipis.

“Kita harus memakai filter inframerah,” paparnya.

Dengan menggunakan filter inframerah, kamera yang berfungsi memotret bulan sabit sangat tipis itu akan memperoleh cahaya yang memadai. Selain itu, untuk memotret bulan sabit, diperlukan mounting yang memiliki motor penggerak otomatis untuk melacak posisi bulan. Dengan disertai GPS, mounting akan “mengunci” posisi bulan sehingga tidak bisa lepas dari pantauan teleskop.

“Kita tinggal merekamnya dengan video sampai berapa lama pun yang kita inginkan,” jelasnya.

Saya cukup terkesan dengan teknik astrofotografi yang digunakannya. Apalagi, dia sudah berpengalaman. Karyanya juga sudah dipublikasikan secara luas di dunia internasional. Karena itulah, saya ingin menularkan metode pemotretan bulan sabit ala Thierry tersebut kepada para perukyat hilal di Indonesia. Harapannya, saat menjelang Ramadan, para perukyat bisa membuktikan terbitnya bulan sabit baru meskipun umurnya belum mencapai delapan jam. Bahkan, dimungkinkan saat bulan sabit masih berusia beberapa menit atau sesaat setelah terjadinya konjungsi alias ijtimak. Kita bisa memotret bulan sebelum konjungsi, saat terjadi konjungsi, dan setelahnya.

Lantaran fungsinya yang penting, saya akhirnya memutuskan untuk membeli peralatan astrofotografi lengkap seperti yang dia anjurkan. Untuk keperluan workshop pemotretan bulan sabit April nanti, saya sudah membeli empat set yang masing-masing terdiri atas teleskop, kamera, mounting, GPS, filter inframerah, dan berbagai aksesorinya. Harga satu set sekitar Rp 100 juta. Bulan depan saya pesan enam set lagi. Dananya merupakan sumbangan jamaah yang peduli pada upaya untuk menyelesaikan masalah kontroversial itu.Saya akan membeli sepuluh set lagi, namun masih menunggu uluran tangan dari mereka yang peduli terhadap masalah tersebut agar saat rukyat menjelang Ramadan Juni nanti kita bisa melakukan pengamatan di 20 titik. Dengan harapan, jika satu lokasi tertutup awan, di lokasi lainnya perukyat bisa memperoleh gambar yang lebih jernih.

“The sky must be deep blue (Langit harus cerah, Red),” tegas Thierry. Kondisi cuaca merupakan tantangan tersendiri bagi perukyat meskipun sudah menggunakan peralatan yang canggih. Karena itu, Thierry menganjurkan untuk mencari lokasi-lokasi yang tidak terlalu berawan. Tidak harus di pantai seperti lazimnya yang dilakukan selama ini. Tapi, bisa juga di gunung.

Menurut dia, semakin tinggi lokasi pemotretan makin rendah kelembapan dan tingkat polusinya, semakin rendah pula serapan cahayanya sehingga berdampak bagus pada hasil pemotretan.

“Ayo, kita kembali ke rumah,” ajaknya seusai makan siang. Dia ingin segera menunjukkan kinerja peralatan astrofotografinya. Keseriusan astrofotografer yang telah melanglang buana itu terlihat dari bagaimana dia menyiapkan materi workshop. Dia telah menguji coba peralatan yang akan dipakai di Indonesia saat workshop maupun festival menjelang Ramadan. Menurut dia, agar bisa berfungsi di kawasan ekuator yang berderajat lintang rendah seperti Indonesia, peralatannya perlu dimodifikasi di beberapa bagian. Dia pun sudah melakukannya.

Optique & Vision yang bermarkas di Prancis telah mengirimkan contoh peralatan yang sudah dimodifikasi itu. “Ini adalah peralatan yang bisa Anda pakai pada workshop itu,” tutur Thierry sambil menunjukkan peralatan yang sudah dimodifikasi. Saya pun diberi kesempatan untuk mengintip benda-benda langit dari peralatan astrofotografinya. Siang itu saya bisa melihat dengan jernih bola api matahari dan sejumlah planet di tata surya melalui sistem filter yang dipasang di peralatan seharga puluhan ribu euro miliknya. Untuk melihat bulan sabit, kata dia, tidak diperlukan alat secanggih yang dia miliki. Yang penting, tercukupi spesifikasi yang diperlukan. Selebihnya, Thierry menjelaskannya secara lebih detail di acara workshop di Surabaya bulan depan.

Saya berharap workshop itu bisa dimanfaatkan kalangan penggemar fotografi, klub-klub astronomi, perguruan tinggi, lembaga-lembaga hisab dan rukyat, serta siapa saja yang peduli dengan masalah tersebut. Sebab, selain jarang bisa memperoleh kesempatan belajar dari ahli astrofotografi sekaliber Thierry, metode itu diharapkan bisa menyelesaikan perbedaan hisab dan rukyat di Indonesia yang sudah sangat menyesakkan dada.

Jauh hari sebelum menemui Thierry di Prancis, saya mendapat restu untuk menggelar workshop pemotretan bulan sabit di Indonesia itu. Di antaranya, dari Menteri Agama Suryadharma Ali, Mendikbud M. Nuh, Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan Rais Syuriah PB NU KH Masdar F. Mas’udi. (c10/ari/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/