Pada 2008 The Asian Foundation melakukan penelitian praktik pungutan liar (pungli) di jembatan timbang. Hasilnya, pungli di jembatan timbang yang berada di Sumatera Utara tergolong parah.
Untuk membuktikan itu, reporter Sumut Pos Joko Gunawan melakukan perjalanan dengan menumpang truk dari Labuhanbatu ke Belawan pulang pergi. Hasilnya, penelitian The Asian Foundation bisa dikatakan tak salah.
Selasa, pertengahan April lalu, sekitar pukul 19.15 WIB saya menghampiri salahsatu ekspedisi truk tronton roda 10 di Kota Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu. Tujuannya bukan untuk konfirmasi suatu permasalahan, namun untuk menumpang tujuan Medan guna mengetahui adanya pungli yang disebut-sebut di setiap jembatan timbang.
Setelah terjadi pembicaraan – tentunya dengan deal-deal tertentu – dengan seorang sopir truk yang mengaku bertempat tinggal di Kecamatan Rantau Selatan, sekitar pukul 20.50 WIB truk pun bergerak melintasi Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum). Suasana terasa kaku. Sopir terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri sembari fokus menyetir. Saya sempat bingung untuk memulai pembicaraan. Beruntung tape truk itu, jadi saya punya alasan untuk buka suara.
“Rusak, dek. Sudah lama kali pun” balas sopir itu sambil terus memandang jalan.
Kami diam lagi. Truk melaju pelan, bahkan sangat pelan. Suara rengekan mesin serta gesekan besi dikarenakan beratnya beban muatan truk menjadi hiburan tersendiri.
Tak mau terlena dengan perjalanan hingga tertidur, saya langsung mengajaknya bicara soal pungli yang ada di jembatan timbang. Belum lagi selesai pertanyaan, sopir yang minta nama serta nama perusahaan ekspedisinya jangan diikutcampurkan itu langsung menjawab bahwa kutipan itu emmang ada. “Kalau di jalan ini Dek, semuanya harus pakai duit. Semua-semua duit, susahlah. Apalagi di Timbangan, kalau tidak dibayar bisa gawat kita,” ungkapnya.
Saya mengangguk senang. Saya berharap dia bercerita lagi. Namun, yang ada hanya hening. Truk melaju dengan kecepatan rata-rata 50 kilometer/jam. Saya pun mengunci mulut. Saya berpikir, sopir itu pasti tak akan mau langsung buka-bukaan. Kami kan baru saja bertemu. Jadi, saya memilih untuk menunggu saja.
Sesekali terdengar sopir kelahiran 1956 silam itu bersiul dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Usai mengoper persneling, sopir yang sudah memiliki cucu enam itu meraih sebungkus rokok sembari menyalakannya. Hembusan asap yang keluar dari mulutnya terkesan menggambarkan keletihan akibat usia semakin tua.
Tanpa terasa, waktu berlalu hingga pukul 23.00 WIB sampailah kami di Jembatan Timbang di bawah naungan Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Dikarenakan kernetnya tertidur pulas, sopir itu mengambil peran untuk memberikan ‘setoran’ pada petugas jaga. Dia mengeluarkan selembar surat beserta uang Rp80 ribu. Uang itu dimasukan dalam lipatan surat tersebut. Dan, dia pun langsung menyodorkan pada petugas.
Tanpa menunggu lama, truk pun dibiarkan untuk terus melanjutkan perjalanan. “Kalau kita di bawah ada yayasan, tidak perlu lagi tawar-menawar harga,” sebutnya tiba-tiba.
Bak mendapat angin segar, saya pun langsung bertanya ini dan itu. Tentunya tentang uang Rp80 ribu dan surat yang tampaknya sakti tadi. Sang sopir pun menjawab dengan lancar. Menurutnya, dana itu memang merupakan kesepakatan antara pihak yayasan yang menaungi mereka dengan pihak Dishub Sumut. “Karena yayasan pun mau makan juga. Kalau tidak pakai yayasan, bisa lebih banyak bayarnya. Tengoklah tadi berat kita 37 ton,” bebernya.
Sebenarnya, jika sesuai speksi, untuk jenis truk Mitsubishi tronton roda sepuluh, berat Jumlah Beban Ideal (JBI) untuk truk sekitar 10 ton, jumlah beban muatan sekitar 11 ton setelah ditambah dengan tiga penumpang. Sehingga, total berat truk ditambah muatan serta tiga orang penumpang (supir dan dua kernet) hanya seberat 21 ton. Artinya, ada kelebihan 16 ton.
Sesuai peraturan daerah (Perda), kelebihan beban hingga 16 ton tentunya tak bisa dimaklumi. Beban yang bisa dimaklumi hanya sampai 26 ton. Perda mengatur, beban boleh bertambah sekitar 25 persen dari total berat truk dan muatan. Jika pengusaha truk hanya mengangkut beban truk ditambah beban seberat 21 ton, sopir tidak akan dipungli oleh petugas Jembatan Timbang. “Kalau hanya 21 ton kita tidak harus membayar karena memang itu seharusnya berat truk ditambah muatannya,” jelas sopir tersebut.
Jika beban 26 ton, maka pengusaha melalui sopir truk akan membayarkan sebesar Rp100.000 kepada petugas Jembatan Timbang yang pertama kali dilintasi. Dan angka itu tidak lagi berlaku kepada Jembatan Timbang lainnya sepanjang masih di wilayah Provinsi Sumut. “Yang Rp100.000 itulah Perda untuk 5 ton, karena kita bertambah 25 persen muatannya dan itu istilahnya sudah JBB. Berapa banyak pun jembatan kita lewati tidak akan bayar, tapi kita tunjukkanlah surat dari Jembatan Timbang yang pertama itu,” terangnya.
Tetapi jika beban truk melebihi 26 ton, barulah berlaku pungli yang dihitung dengan setiap ton. Beruntung jika ikut dalam salahsatu yayasan/organisasi. Jika tidak, petugas Jembatan Timbang akan memaksa untuk mengurangi beban dan itu tidak akan pernah diinginkan para sopir. Untuk mengatasi hal itu, muncul angka yang tidak sepantasnya dan biasanya sering terjadi pertengkaran antara sopir dan petugas.
“Kalau kita ikut yayasan, kita hanya membayar Rp7.500 untuk setiap ton. Tapi kalau tidak, satu ton bisa Rp15.000. Kalau tidak, kita dipaksa bongkar muatan. Makanya setelah ada yayasan ini kita tidak lagi sibuk, mungkin tauke dan dinas (Dishub, Red)sudah menentukan besarannya,” sebutnya lagi. (bersambung)