25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

DPR Tolak Hapus Pilkada Langsung

JAKARTA – Rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang disetujui Depdagri terkait penolakan Pilkada langsung mendapat respons dari Komisi II DPR RI. Komisi yang membidangi Pemilu, pemerintahan, pertanahan, dan otonomi daerah itu menganggap rekomendasi yang disampaikan NU terlalu menggeneralisasi Pilkada dari sisi negatif.

“Mungkin itu bentuk keprihatinan, namun jangan digeneralisasi,” ujar anggota Komisi II DPR Nurul Arifin di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (18/9).
Nurul yang juga anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan, pemilihan langsung baru berjalan tiga kali di setiap daerah. Tidak bisa proses yang ada memunculkan defisit moral di kalangan masyarakat. Menurut dia, Pilkada adalah proses pembelajaran menuju demokrasi yang ideal. “Biarkan proses itu berlangsung,” kata Nurul.

Dia tidak sependapat jika pola pemilihan langsung dianggap sistem yang keliru karena mengadu domba publik. Menurut dia, rekomendasi NU tidak bisa kemudian mereduksi sistem yang sudah disepakati bersama. “Demokrasi memang bisa perwakilan, bisa langsung. Tapi, demokrasi langsung itu kemewahan rakyat,” jelasnya.

Jika pemilihan tidak langsung dilakukan di Pilgub, Nurul menilai hal itu bisa saja dibahas. Sebab, gubernur dianggap wakil pemerintah pusat. Namun, untuk pemilihan bupati/wali kota, tidak ada alasan untuk menyelenggarakan pemilihan melalui perwakilan. “Kalau di kabupaten/kota tidak reasonable. Apakah kemudian dipilih DPRD bisa memegang amanah. Uangnya (politik uang, Red) sama, tapi beredar di elite,” tandasnya.

Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo (PDIP) menilai, jika metode Pilkada memberikan kesempatan politik transaksional, politik uang adalah konsekuensi yang harus ditanggung. Saat ini, sudah ada solusi yang bisa dilakukan untuk menghindari politik uang itu. “Solusinya ya (pilkada) diserentakkan,” kata Arif.

Pilkada serentak, ujar Arif, akan secara masif mengurangi biaya politik pilkada. Penetapan calon sebaiknya dilakukan dalam waktu lama sebelum pemungutan suara dimulai. “Kewenangan kepala daerah terhadap dana-dana tak terduga juga harus dibatasi. Ini celah politik uang,” tandasnya.

Di bagian terpisah, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengatakan,  pelaksanaan otonomi daerah memang bisa asimetris. Dia mencontohkan, sistem Pilkada antardaerah tidak harus sama. Bagi daerah yang pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya sudah baik dan siap berdemokrasi secara santun, bisa diadakan Pilkada langsung.

Sebaliknya, bagi daerah yang masyarakatnya belum siap mempraktikkan Pilkada langsung, bisa ditempuh mekanisme perwakilan melalui DPRD. Lukman menambahkan ada juga daerah seperti Yogyakarta yang karena kekhususannya tidak mungkin ‘dipaksakan’ untuk menjalankan Pilgub langsung sampai kapan pun. “Jadi,  silakan saja masing-masing daerah menentukan,” tegas wakil ketua umum PPP itu.

Lukman menyampaikan,  Kemendagri tengah mengkaji kemungkinan Pilgub   dikembalikan kepada DPRD. Menurut dia, mungkin saja konsep itu bisa diterapkan untuk daerah-daerah tertentu. Tetapi, tidak diberlakukan kepada semua daerah. “Justru di sini kebhinekaan itu diakomodasi dalam demokrasi kita,” tegasnya.

Soal mekanisme pilkada, Lukman mengusulkan itu diserahkan kepada setiap daerah untuk mengaturnya melalui perda. Dalam proses perumusan perda itu, imbuh dia, DPRD dan kepala daerah harus melibatkan tokoh-tokoh adat dan masyarakat luas. “Supaya betul-betul merepresentasikan kehendak mayoritas masyarakat di situ,” tandas Lukman.

Sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola mengakui pelaksanaan Pilkada langsung sejauh ini memang masih diwarnai berbagai fakta negatif. Mulai dari money politics sampai munculnya praktik politik dinasti. “Suami selesai,  diganti istri dan anak. Ada semacam rezim mafia dari penguasa di daerah,” katanya.

Meski begitu, Thamrin tidak sepakat kalau mekanisme Pilkada langsung dikembalikan kepada DPRD. Menurut dia, opsi itu sama saja dengan mengembalikan praktik oligarki ala Orba.

Pelaksanaan Pilkada akan penuh praktik dagang sapi dan publik tidak punya jangkauan untuk mempengaruhinya. “Ini lebih bahaya daripada sekarang (Pilkada langsung, Red),” tandas Thamrin. (bay/pri/agm/jpnn)

JAKARTA – Rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang disetujui Depdagri terkait penolakan Pilkada langsung mendapat respons dari Komisi II DPR RI. Komisi yang membidangi Pemilu, pemerintahan, pertanahan, dan otonomi daerah itu menganggap rekomendasi yang disampaikan NU terlalu menggeneralisasi Pilkada dari sisi negatif.

“Mungkin itu bentuk keprihatinan, namun jangan digeneralisasi,” ujar anggota Komisi II DPR Nurul Arifin di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (18/9).
Nurul yang juga anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan, pemilihan langsung baru berjalan tiga kali di setiap daerah. Tidak bisa proses yang ada memunculkan defisit moral di kalangan masyarakat. Menurut dia, Pilkada adalah proses pembelajaran menuju demokrasi yang ideal. “Biarkan proses itu berlangsung,” kata Nurul.

Dia tidak sependapat jika pola pemilihan langsung dianggap sistem yang keliru karena mengadu domba publik. Menurut dia, rekomendasi NU tidak bisa kemudian mereduksi sistem yang sudah disepakati bersama. “Demokrasi memang bisa perwakilan, bisa langsung. Tapi, demokrasi langsung itu kemewahan rakyat,” jelasnya.

Jika pemilihan tidak langsung dilakukan di Pilgub, Nurul menilai hal itu bisa saja dibahas. Sebab, gubernur dianggap wakil pemerintah pusat. Namun, untuk pemilihan bupati/wali kota, tidak ada alasan untuk menyelenggarakan pemilihan melalui perwakilan. “Kalau di kabupaten/kota tidak reasonable. Apakah kemudian dipilih DPRD bisa memegang amanah. Uangnya (politik uang, Red) sama, tapi beredar di elite,” tandasnya.

Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo (PDIP) menilai, jika metode Pilkada memberikan kesempatan politik transaksional, politik uang adalah konsekuensi yang harus ditanggung. Saat ini, sudah ada solusi yang bisa dilakukan untuk menghindari politik uang itu. “Solusinya ya (pilkada) diserentakkan,” kata Arif.

Pilkada serentak, ujar Arif, akan secara masif mengurangi biaya politik pilkada. Penetapan calon sebaiknya dilakukan dalam waktu lama sebelum pemungutan suara dimulai. “Kewenangan kepala daerah terhadap dana-dana tak terduga juga harus dibatasi. Ini celah politik uang,” tandasnya.

Di bagian terpisah, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengatakan,  pelaksanaan otonomi daerah memang bisa asimetris. Dia mencontohkan, sistem Pilkada antardaerah tidak harus sama. Bagi daerah yang pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya sudah baik dan siap berdemokrasi secara santun, bisa diadakan Pilkada langsung.

Sebaliknya, bagi daerah yang masyarakatnya belum siap mempraktikkan Pilkada langsung, bisa ditempuh mekanisme perwakilan melalui DPRD. Lukman menambahkan ada juga daerah seperti Yogyakarta yang karena kekhususannya tidak mungkin ‘dipaksakan’ untuk menjalankan Pilgub langsung sampai kapan pun. “Jadi,  silakan saja masing-masing daerah menentukan,” tegas wakil ketua umum PPP itu.

Lukman menyampaikan,  Kemendagri tengah mengkaji kemungkinan Pilgub   dikembalikan kepada DPRD. Menurut dia, mungkin saja konsep itu bisa diterapkan untuk daerah-daerah tertentu. Tetapi, tidak diberlakukan kepada semua daerah. “Justru di sini kebhinekaan itu diakomodasi dalam demokrasi kita,” tegasnya.

Soal mekanisme pilkada, Lukman mengusulkan itu diserahkan kepada setiap daerah untuk mengaturnya melalui perda. Dalam proses perumusan perda itu, imbuh dia, DPRD dan kepala daerah harus melibatkan tokoh-tokoh adat dan masyarakat luas. “Supaya betul-betul merepresentasikan kehendak mayoritas masyarakat di situ,” tandas Lukman.

Sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola mengakui pelaksanaan Pilkada langsung sejauh ini memang masih diwarnai berbagai fakta negatif. Mulai dari money politics sampai munculnya praktik politik dinasti. “Suami selesai,  diganti istri dan anak. Ada semacam rezim mafia dari penguasa di daerah,” katanya.

Meski begitu, Thamrin tidak sepakat kalau mekanisme Pilkada langsung dikembalikan kepada DPRD. Menurut dia, opsi itu sama saja dengan mengembalikan praktik oligarki ala Orba.

Pelaksanaan Pilkada akan penuh praktik dagang sapi dan publik tidak punya jangkauan untuk mempengaruhinya. “Ini lebih bahaya daripada sekarang (Pilkada langsung, Red),” tandas Thamrin. (bay/pri/agm/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/