26 C
Medan
Saturday, December 6, 2025

DPRD Medan Gagas Hak Interpelasi, Pembatalan PBI BPJS

M IDRIS/Sumutpos
Teks foto: Komisi B DPRD Medan melakukan rapat bersama dengan Dinkes, Dinsos dan BPJS Kesehatan Medan terkait 12 ribu kartu peserta baru PBI yang belum didistribusikan tetapi sudah dicetak, Senin (20/5).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi B DPRD Medan berencana melakukan hak interpelasi kepada Wali Kota Medan, terkait proses pembatalan 12 ribu warga Medan menjadi peserta baru Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.

Hal itu disepakati usai menggelar rapat bersama dengan Dinkes Medan, Dinsos Medan dan BPJS Kesehatan Medan di ruang Komisi B, Senin (20/5), yang dipimpin Ketua Komisi B Bahrumsyah.

Sebagaimana dalam rapat, anggota DPRD Medan yang bergaung di Komisi B, Bahrumsyah (Ketua), Edward Ht Barat, Paulus Sinulingga, Rajudin Sagala, Jumadi, M Yusuf bersama Kadis Kesehatan Kota Medan dr Edwin dan Dinas Sosial, BPJS Kesehatan tidak menemukan titik terang apa alasan pembatalan 12 warga menjadi peserta PBI BPJS.

Padahal, sebelumnya DPRD Medan bersama Dinas Kesehatan Kota Medan sudah menyepakati ke 12 ribu warga layak sebagai peserta PBI BPJS. Bahkan, kartu ke 12 ribu itu sudah dicetak namun belum didistribusikan. Begitu juga soal anggaran, Pemko Medan sudah mengalokasilan dana di APBD 2019 sebesar Rp21,5 miliar.

Terkait pembatalan 12 ribu warga masuk peserta PBI BPJS, DPRD Medan menuding keuangan di Pemko Medan tidak sehat. “Kita menduga ada skenario politik tidak sehat dalam kasus ini. Tujuannya APBD murni 2019 biar terjadi Silpa dengan pengalihan kebutuhan lain,” ujar Bahrumsyah.

Maka itu, lanjut Bahrumsyah, masalah itu harus tuntas sehingga Komisi B akan mengajukan hak Interpelasi. DPRD Medan juga menyebut pengelolaan keuangan saat ini sangat amburadul.

Sebelumnya pada rapat tersebut terungkap kalau 12 ribuan kartu BPJS Kesehatan untuk warga Medan yang menjadi calon peserta baru PBI, hingga kini belum juga didistribusikan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Medan. Padahal, kartu tersebut sudah dicetak. Ini menimbulkan kecurigaan Komisi B DPRD Kota Medan, di mana anggaran yang sudah dialokasikan sebesar Rp21,5 miliar akan dialihkan untuk kegiatan lain.

Ketua Komisi B DPRD Medan, Bahrumsyah mengatakan, dirinya sudah mendapat kabar bahwasanya kartu BPJS Kesehatan peserta baru PBI sebanyak 12 ribu tersebut belum didistribusikan. Bahkan, informasinya malah mau dibatalkan. Padahal, warga sudah tahu bahwa kartunya sudah dicetak.

“Penganggaran untuk program kesehatan ini tidak sepihak, melainkan harus ada kesepakatan antara DPRD dan Pemko Medan. Artinya, Pemko Medan tidak bisa ujuk-ujuk membuat kebijakan lain dengan sendirinya. Sebab, penganggaran ini sudah tertuang dalam peraturan daerah (perda). Jadi, tidak bisa dibatalkan begitu saja atau sepihak,” tegas Bahrumsyah yang memimpin rapat.

Diutarakan dia, pada bulan Maret dan April tahun ini, premi BPJS Kesehatan sudah berjalan dan anggarannya sudah dicairkan. Artinya, sudah dua bulan berjalan premi dan seharusnya masyarakat sudah menerima kartunya serta bisa memanfaatkannya. Namun, kenyataannya sekarang surat pengantar dari Dinkes Medan belum ada, sehingga menjadi pertanyaan premi yang dua bulan ini dikembalikan atau dilanjutkan?

Untuk triwulan pertama tahun ini sudah dibayarkan kepada BPJS Kesehatan, baik yang peserta lama maupun peserta baru. Namun, yang baru belum bisa dimanfaatkan lantaran kartu belum didistribusikan tetapi sudah dicetak. “Uang sudah dibayarkan kepada BPJS Kesehatan untuk triwulan. Namun tiba-tiba ditunda atau dibatalkan oleh Dinkes Medan. Bahkan, disebut-sebut mau ditarik kembali anggaran yang sudah dialokasikan untuk program kesehatan warga Medan. Kalau seperti ini jelas sudah tidak benar,” cetusnya.

Kata Bahrumsyah, kalau memang prosesnya harus melalui validasi data dari Dinsos Medan, kenapa Dinkes Medan menyampaikan data ke BPJS Kesehatan? Kalau begitu, data yang masuk tidak boleh disampaikan Dinkes Medan ke BPJS Kesehatan tanpa ada validasi Dinsos Medan. Namun, Dinkes Medan malah memberikan data kepada BPJS Kesehatan.

Namun demikian, muncul pertanyaan bagaimana mungkin BPJS Kesehatan berani mencetak kartu peserta baru PBI sebanyak 12 ribuan kalau tidak ada komunikasi dari Dinkes Medan? “Sangat tidak masuk akal BPJS Kesehatan berani mencetak kartu peserta baru PBI tersebut tanpa ada persetujuan dari Dinkes Medan. Tapi, kenapa tiba-tiba Dinkes Medan berdalih harus ada validasi dari Dinsos Medan,” ucapnya.

Ia menegaskan kembali, tidak mungkin BPJS Kesehatan berani mencetak kartu tanpa ada komunikasi dari Dinkes Medan. Sebab, secara aturan BPJS Kesehatan tidak lagi membutuhkan rekomendasi validasi data dari Dinsos Medan untuk peserta baru PBI. “BPJS Kesehatan tidak bodoh, ada datang petugas Dinkes Medan memberi data. Lantas, tiba-tiba tanpa ada komunikasi BPJS Kesehatan lalu memproses data tersebut dengan mencetak kartunya. Artinya, hanya melakukan konfirmasi data saja lantas BPJS Kesehatan mencetak kartunya, itu jelas tidak mungkin dilakukan,” ungkap Bahrumsyah.

Disebutkan dia, BPJS Kesehatan melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, artinya ada komunikasi sebelumnya. Bahkan mereka telah melakukan hal ini sejak tahun lalu tetapi tidak pernah muncul persoalan.

“Dinkes Medan jangan berdalih harus ada validasi dari Dinsos Medan karena merujuk dari Permensos Nomor 5/2016. Padahal, Permensos tersebut sudah jauh belakangan sebelumnya. Artinya, sudah berganti kepala dinas tetap saja program kesehatan ini terus berjalan. Akan tetapi, kenapa kok sekarang digunakan payung hukum tersebut untuk program kesehatan ini yang sudah berjalan beberapa tahun? Kenapa tidak diterapkan pada tahun 2018? Kenapa tiba-tiba tahun ini baru teringat ada aturan tersebut lalu mau diterapkan pas ketika sudah dicetak kartunya,” papar Bahrumsyah.

Oleh sebab itu, politisi PAN ini menilai ada persoalan di Dinkes Medan kalau seperti itu kondisinya? Apakah memang bisa petugas Dinkes Medan memberi data lantas dicetak oleh BPJS Kesehatan? “BPJS Kesehatan tidak mungkin berani mencetak kalau tidak ada data yang mereka terima dari orang yang memiliki kapasitas. Jadi, jangan mempersulit yang sudah dianggarkan karena persoalan ini menyangkut nyawa orang dan tidak main-main,” ketusnya.

Dia melanjutkan, gara-gara sesuatu yang tidak pas, masyarakat menjadi korban tidak mendapat layanan kesehatan dari Pemko Medan. “Ada alur yang tidak benar terjadi di Dinkes Medan kalau memang seperti itu. Sangat aneh dan janggal, data yang diberikan Dinkes Medan untuk peserta baru PBI lalu diproses oleh BPJS Kesehatan dan dicetak kartunya. Namun, di tengah jalan tiba-tiba Dinkes Medan berubah haluan dengan mengacu kepada Permensos Nomor 5/2016,” ujarnya.

Jika memang belum menjadi ketetapan, lanjutnya, kenapa dibayarkan sehingga dicetak kartunya? BPJS Kesehatan baru bisa mengklaim ke BPKAD Medan apabila ada dokumen resmi dan sah dari Dinkes Medan. “Jadi, tidak mungkin BPJS Kesehatan langsung mengklaim ke BPKAD Medan tanpa ada surat resmi dan sah. Jika demikian alur atau pola keuangan di Pemko Medan, maka jelas amburadul,” beber dia.

Bahrumsyah menduga, ada intervensi atau intruksi pimpinan di Pemko Medan sehingga 12 ribu kartu yang sudah dicetak tapi belum juga didistribusikan. “Ada instruksi belakangan kepada Kepala Dinkes Medan, tapi tidak mungkin disampaikan olehnya untuk dibatalkan. Sehingga, mau tidak mau memasang badan agar program ini tidak berjalan. Kalau demikian yang dilakukan, tentu berbahaya dan akan bermasalah di kemudian hari. Ini akan menjadi masalah besar, karena sudah disepakati dan sesuai alurnya hingga dicetak kartunya tetapi mendadak belakangan diduga kuat ada instruksi untuk menghambat proses ini agar tidak berjalan,” ujarnya.

Menurut dia, Kepala Dinkes Medan awalnya sudah benar menerapkan seluruh alurnya. Namun, karena mendapat intervensi pimpinannya lantas berubah haluan. “Di dalam APBD kita tidak ada mengganggarkan kepada Dinsos Medan untuk melakukan validasi data sampai akhir tahun ini. Artinya, tak satu rupiah pun dianggarkan untuk itu. Oleh karena itu, seharusnya dari awal sudah ada perencanaan yang matang dari Sekda Kota Medan untuk masalah validasi yang tidak lagi dibebankan kepada Dinsos Medan. Kalau Dinsos Medan melakukan validasi maka menabrak aturan. Sebab, untuk validasi membutuhkan dana karena harus turun ke lapangan guna melakukan kroscek,” jabarnya.

Dia menyatakan, kalau memang mau dialihkan anggarannya jangan di tengah jalan. Jika memang teringat Permensos Nomor 5/2016, ketika melakukan rancangan anggaran bukan di saat sudah disahkan anggaran di Dinkes Medan. Artinya, ketika dilakukan rancangan APBD disampaikan bahwa proses validasi data untuk peserta baru PBI dilakukan oleh Dinsos Medan. Dengan demikian, sudah tertuang dalam nomenklatur APBD.

“Ini kok tiba-tiba, istilahnya enggak ada angin dan enggak ada hujan Permensos Nomor 5/2016 diterapkan kembali. Hal ini jelas tidak bisa dilakukan karena sudah diatur oleh Perda APBD (2019) dan tidak pernah mengamanahkan walaupun ada regulasi di atasnya (Permensos) untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan sosial. Artinya, aturan di atasnya harus diimplementasi melalui yang ada di bawahnya, bukan tumpang tindih. Jadi, lebih baik ketika pembahasan rancangan APBD tidak disetujui untuk penambahan peserta baru PBI. Daripada seperti ini, sudah disepakati ternyata di tengah jalan ada kebijakan yang melanggar aturan dan menghambat,” ketusnya.

Masih kata Bahrumsyah, sudah jelas diatur dalam Perda APBD bahwa validasi dilakukan oleh Dinkes Medan. Tapi Dinkes Medan malah bersikeras Dinsos Medan yang melakukan validasi karena berdasarkan Permensos Nomor 5/2016. Kalau begini caranya, jelas ada sesuatu yang ingin mengacaukan program yang sudah dirancang jauh-jauh hari.

“Jadi, ini mau diharapkan anggaran untuk program kesehatan supaya silpa. Selanjutnya, ketika perubahan APBD dialihkan ke kegiatan lain. Oleh karena itu, kami merekomendasi untuk segera melanjutkan program yang sudah dirancang sejak jauh-jauh hari. Jangan dipaksakan validasi kepada Dinsos Medan sementara tidak ada nomenklatur yang mengaturnya. Jangan pula berupaya menghambat dengan mencari-cari aturan sebagai payung hukum,” ujarnya lagi.

Lebih lanjut dia mengatakan, anggaran yang dialokasi untuk program ini sebesar Rp21,5 miliar kini sudah memasuki bulan Mei tapi satu rupiah pun belum terserap. “Kami tidak mau ada skenario lain dibalik ini, hanya karena ingin dialihkan pada perubahan APBD nanti. Kalau memang begitu, kita jelas tidak setuju atau menolak,” ucapnya.

Bahrumsyah menuturkan, ada kebijakan dari petinggi di Pemko Medan untuk membatalkan proses ini semua. Kalau begini, maka seperti memakan buah simalakama. “Kalau ada kebijakan di tengah jalan, tidak bisa dikorbankan sistem yang sudah berjalan. Kalau demikian, bisa rusak sistem dan masyarakat dikorbankan. Baru kali ini terjadi persoalan seperti itu, padahal sebelumnya program ini sudah beberapa tahun berjalan,” tuturnya.

Sambung dia, enggak ada pernah yang sudah dituangkan dalam APBD tiba-tiba dibatalkan. Tidak boleh itu terjadi, dan APBD 2019 yang disahkan wali kota ikut meneken. “Kita akan mempertanyakan kepada wali kota nantinya. Bahkan, menggulirkan hak interplasi karena menyangkut masalah nyawa banyak orang. Seorang pimpinan daerah tidak boleh meminta kepala dinas untuk melampaui kewenangannya atau menabrak aturan. Apa memang benar ada kebijakan dari Sekda yang mengintervensi kepala Dinkes Medan sehingga ingin membatalkan? Makanya, kami ingin memastikan lebih jauh,” tanya dia.

Ditambahkannnya, ada ketidaksinkronan di Dinkes Medan, kok bisa-bisanya kepala Dinas tidak mengetahui data yang dikirim ke BPJS Kesehatan hingga kartunya dicetak. Disisi lain, BPKAD Medan telah mengeluarkan anggaran untuk membayar klaim pencetakan kartu tersebut. “Makanya, ini perlu disikapi secara serius. Pemko kebingungan mencari dana segar, makanya dilakukan efisiensi hingga memotong gaji (memberhentikan) honorer (pegawai harian lepas). Padahal, efesiensi bukan memangkas tetap mengurangi anggaran kegiatan yang tidak bersifat prioritas. Makanya, ini sangat kejam dan bahaya,” kata dia.

Anggota Komisi B, Rajuddin Sagala yang hadir mempertanyakan kenapa kartu sudah dicetak tetapi belum didistribusikan apalagi digunakan, ada apa ini sebenarnya? “Saya heran dan mempertanyakan, kenapa sudah dicairkan dan dicetak kartunya tapi Dinkes Medan seolah-olah buang badan atau tidak tahu, ada apa ini? Dari yang disampaikan BPJS Kesehatan, mereka sudah mengajukan ke Dinkes Medan dan mendapat persetujuan untuk dicairkan ke BPKAD Medan. Jadi, sepertinya Pak Edwin sudah jelas tidak tepat diposisinya,” kata Rajuddin.

Sementara, Kepala Dinkes Medan, Edwin Effendi mengaku, prosedur untuk penambahan peserta PBI memang harus ada surat pengantar resmi dari pihaknya. Sebelum ada surat pengantar tersebut, maka belum menjadi ketetapan penambahan kepesertaan PBI dan ini sudah tertuang dalam kesepakatan dengan BPJS Kesehatan.

Namun, dalam proses peserta baru PBI ini, menurut dia, prosedurnya perlu melalui validasi Dinsos Medan yang tertuang dalam Permensos Nomor 5/2016. “Dalam Permensos tersebut tegas menyatakan tentang kepesertaan PBI. Awalnya kami memberikan untuk data peserta baru guna mempermudah tetapi belum menjadi ketetapan karena harus melalui proses validasi Dinsos Medan,” akunya.

Edwin bersikukuh bahwa pihaknya tetap membutuhkan validasi dari Dinsos Medan untuk penambahan peserta baru PBI. “Kita hanya mengantarkan data saja tetapi belum menjadi ketetapan karena butuh validasi dari Dinsos Medan,” katanya.

Disinggung adanya instruksi dari pimpinan di Pemko Medan sehingga belum juga terdistribusi kartu BPJS Kesehatan tersebut, Edwin tak menjawab pasti. Ia mengaku hanya mengikuti tupoksi atau kewenangannya sehingga kembali menerapkan Permensos 5/2016.

Kepala Bidang Kepesertaan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Medan, Supriyanto mengatakan, peserta PBI bulan Mei 2019 belum ada penambahan satu pun. Artinya, belum mendapat data dari Dinkes Medan. “Kita hanya menunggu kapan data itu masuk dan paling lambat per tanggal 20 setiap bulan,” ujarnya.

Dikatakan Supriyanto, pihaknya baru bisa memproses apabila sudah ada surat resmi dari Dinkes Medan. Dengan kata lain, harus ada surat pengantar dari Dinkes Medan. “Kalau data yang disampaikan hanya secara lisan maka belum bisa diproses lebih jauh. Sebab, surat pengantar tersebut menjadi laporan pertanggungjawaban nantinya karena akan diaudit,” tegasnya.

Diakui dia, untuk pembayaran pencetakan kartu memang sudah ada persetujuan dari Dinkes Medan, makanya bisa mengklaim ke BPKAD Medan untuk dicairkan. “Kita tetap mengajukan ke Dinkes Medan lalu baru ke BPKAD,” ucapnya.

Namun demikian, walaupun kartu sudah dicetak, tetapi tetap belum bisa memproses dan menagihnya ke Dinkes Medan dikarenakan belum ada surat resmi. “Jika nantinya dibayarkan, maka akan kita kembalikan karena surat resmi yang masuk ke kita belum ada menerima sampai sekarang. Akan tetapi, lantaran belum ada surat resmi maka belum dapat diproses dan kita pertanyakan lagi apakah dikembalikan atau didistribusikan,” tandasnya.

Diketahui, alokasi anggaran untuk jaminan kesehatan khususnya PBI BPJS Kesehatan telah ditambah tahun ini dari sebelumnya Rp90 miliar menjadi Rp111,5 miliar. Otomatis, jumlah penerima bantuan kesehatan ini pun bertambah. Di tahun 2018, kepesertaan BPJS berjumlah sekitar 326 ribu jiwa. Maka dari itu, pada 2019 kuota bertambah 80.527 jiwa. Artinya, sekitar 400 ribu lebih penerima bantuan kesehatan yang diakomodir. (ris/ila)

M IDRIS/Sumutpos
Teks foto: Komisi B DPRD Medan melakukan rapat bersama dengan Dinkes, Dinsos dan BPJS Kesehatan Medan terkait 12 ribu kartu peserta baru PBI yang belum didistribusikan tetapi sudah dicetak, Senin (20/5).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi B DPRD Medan berencana melakukan hak interpelasi kepada Wali Kota Medan, terkait proses pembatalan 12 ribu warga Medan menjadi peserta baru Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.

Hal itu disepakati usai menggelar rapat bersama dengan Dinkes Medan, Dinsos Medan dan BPJS Kesehatan Medan di ruang Komisi B, Senin (20/5), yang dipimpin Ketua Komisi B Bahrumsyah.

Sebagaimana dalam rapat, anggota DPRD Medan yang bergaung di Komisi B, Bahrumsyah (Ketua), Edward Ht Barat, Paulus Sinulingga, Rajudin Sagala, Jumadi, M Yusuf bersama Kadis Kesehatan Kota Medan dr Edwin dan Dinas Sosial, BPJS Kesehatan tidak menemukan titik terang apa alasan pembatalan 12 warga menjadi peserta PBI BPJS.

Padahal, sebelumnya DPRD Medan bersama Dinas Kesehatan Kota Medan sudah menyepakati ke 12 ribu warga layak sebagai peserta PBI BPJS. Bahkan, kartu ke 12 ribu itu sudah dicetak namun belum didistribusikan. Begitu juga soal anggaran, Pemko Medan sudah mengalokasilan dana di APBD 2019 sebesar Rp21,5 miliar.

Terkait pembatalan 12 ribu warga masuk peserta PBI BPJS, DPRD Medan menuding keuangan di Pemko Medan tidak sehat. “Kita menduga ada skenario politik tidak sehat dalam kasus ini. Tujuannya APBD murni 2019 biar terjadi Silpa dengan pengalihan kebutuhan lain,” ujar Bahrumsyah.

Maka itu, lanjut Bahrumsyah, masalah itu harus tuntas sehingga Komisi B akan mengajukan hak Interpelasi. DPRD Medan juga menyebut pengelolaan keuangan saat ini sangat amburadul.

Sebelumnya pada rapat tersebut terungkap kalau 12 ribuan kartu BPJS Kesehatan untuk warga Medan yang menjadi calon peserta baru PBI, hingga kini belum juga didistribusikan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Medan. Padahal, kartu tersebut sudah dicetak. Ini menimbulkan kecurigaan Komisi B DPRD Kota Medan, di mana anggaran yang sudah dialokasikan sebesar Rp21,5 miliar akan dialihkan untuk kegiatan lain.

Ketua Komisi B DPRD Medan, Bahrumsyah mengatakan, dirinya sudah mendapat kabar bahwasanya kartu BPJS Kesehatan peserta baru PBI sebanyak 12 ribu tersebut belum didistribusikan. Bahkan, informasinya malah mau dibatalkan. Padahal, warga sudah tahu bahwa kartunya sudah dicetak.

“Penganggaran untuk program kesehatan ini tidak sepihak, melainkan harus ada kesepakatan antara DPRD dan Pemko Medan. Artinya, Pemko Medan tidak bisa ujuk-ujuk membuat kebijakan lain dengan sendirinya. Sebab, penganggaran ini sudah tertuang dalam peraturan daerah (perda). Jadi, tidak bisa dibatalkan begitu saja atau sepihak,” tegas Bahrumsyah yang memimpin rapat.

Diutarakan dia, pada bulan Maret dan April tahun ini, premi BPJS Kesehatan sudah berjalan dan anggarannya sudah dicairkan. Artinya, sudah dua bulan berjalan premi dan seharusnya masyarakat sudah menerima kartunya serta bisa memanfaatkannya. Namun, kenyataannya sekarang surat pengantar dari Dinkes Medan belum ada, sehingga menjadi pertanyaan premi yang dua bulan ini dikembalikan atau dilanjutkan?

Untuk triwulan pertama tahun ini sudah dibayarkan kepada BPJS Kesehatan, baik yang peserta lama maupun peserta baru. Namun, yang baru belum bisa dimanfaatkan lantaran kartu belum didistribusikan tetapi sudah dicetak. “Uang sudah dibayarkan kepada BPJS Kesehatan untuk triwulan. Namun tiba-tiba ditunda atau dibatalkan oleh Dinkes Medan. Bahkan, disebut-sebut mau ditarik kembali anggaran yang sudah dialokasikan untuk program kesehatan warga Medan. Kalau seperti ini jelas sudah tidak benar,” cetusnya.

Kata Bahrumsyah, kalau memang prosesnya harus melalui validasi data dari Dinsos Medan, kenapa Dinkes Medan menyampaikan data ke BPJS Kesehatan? Kalau begitu, data yang masuk tidak boleh disampaikan Dinkes Medan ke BPJS Kesehatan tanpa ada validasi Dinsos Medan. Namun, Dinkes Medan malah memberikan data kepada BPJS Kesehatan.

Namun demikian, muncul pertanyaan bagaimana mungkin BPJS Kesehatan berani mencetak kartu peserta baru PBI sebanyak 12 ribuan kalau tidak ada komunikasi dari Dinkes Medan? “Sangat tidak masuk akal BPJS Kesehatan berani mencetak kartu peserta baru PBI tersebut tanpa ada persetujuan dari Dinkes Medan. Tapi, kenapa tiba-tiba Dinkes Medan berdalih harus ada validasi dari Dinsos Medan,” ucapnya.

Ia menegaskan kembali, tidak mungkin BPJS Kesehatan berani mencetak kartu tanpa ada komunikasi dari Dinkes Medan. Sebab, secara aturan BPJS Kesehatan tidak lagi membutuhkan rekomendasi validasi data dari Dinsos Medan untuk peserta baru PBI. “BPJS Kesehatan tidak bodoh, ada datang petugas Dinkes Medan memberi data. Lantas, tiba-tiba tanpa ada komunikasi BPJS Kesehatan lalu memproses data tersebut dengan mencetak kartunya. Artinya, hanya melakukan konfirmasi data saja lantas BPJS Kesehatan mencetak kartunya, itu jelas tidak mungkin dilakukan,” ungkap Bahrumsyah.

Disebutkan dia, BPJS Kesehatan melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, artinya ada komunikasi sebelumnya. Bahkan mereka telah melakukan hal ini sejak tahun lalu tetapi tidak pernah muncul persoalan.

“Dinkes Medan jangan berdalih harus ada validasi dari Dinsos Medan karena merujuk dari Permensos Nomor 5/2016. Padahal, Permensos tersebut sudah jauh belakangan sebelumnya. Artinya, sudah berganti kepala dinas tetap saja program kesehatan ini terus berjalan. Akan tetapi, kenapa kok sekarang digunakan payung hukum tersebut untuk program kesehatan ini yang sudah berjalan beberapa tahun? Kenapa tidak diterapkan pada tahun 2018? Kenapa tiba-tiba tahun ini baru teringat ada aturan tersebut lalu mau diterapkan pas ketika sudah dicetak kartunya,” papar Bahrumsyah.

Oleh sebab itu, politisi PAN ini menilai ada persoalan di Dinkes Medan kalau seperti itu kondisinya? Apakah memang bisa petugas Dinkes Medan memberi data lantas dicetak oleh BPJS Kesehatan? “BPJS Kesehatan tidak mungkin berani mencetak kalau tidak ada data yang mereka terima dari orang yang memiliki kapasitas. Jadi, jangan mempersulit yang sudah dianggarkan karena persoalan ini menyangkut nyawa orang dan tidak main-main,” ketusnya.

Dia melanjutkan, gara-gara sesuatu yang tidak pas, masyarakat menjadi korban tidak mendapat layanan kesehatan dari Pemko Medan. “Ada alur yang tidak benar terjadi di Dinkes Medan kalau memang seperti itu. Sangat aneh dan janggal, data yang diberikan Dinkes Medan untuk peserta baru PBI lalu diproses oleh BPJS Kesehatan dan dicetak kartunya. Namun, di tengah jalan tiba-tiba Dinkes Medan berubah haluan dengan mengacu kepada Permensos Nomor 5/2016,” ujarnya.

Jika memang belum menjadi ketetapan, lanjutnya, kenapa dibayarkan sehingga dicetak kartunya? BPJS Kesehatan baru bisa mengklaim ke BPKAD Medan apabila ada dokumen resmi dan sah dari Dinkes Medan. “Jadi, tidak mungkin BPJS Kesehatan langsung mengklaim ke BPKAD Medan tanpa ada surat resmi dan sah. Jika demikian alur atau pola keuangan di Pemko Medan, maka jelas amburadul,” beber dia.

Bahrumsyah menduga, ada intervensi atau intruksi pimpinan di Pemko Medan sehingga 12 ribu kartu yang sudah dicetak tapi belum juga didistribusikan. “Ada instruksi belakangan kepada Kepala Dinkes Medan, tapi tidak mungkin disampaikan olehnya untuk dibatalkan. Sehingga, mau tidak mau memasang badan agar program ini tidak berjalan. Kalau demikian yang dilakukan, tentu berbahaya dan akan bermasalah di kemudian hari. Ini akan menjadi masalah besar, karena sudah disepakati dan sesuai alurnya hingga dicetak kartunya tetapi mendadak belakangan diduga kuat ada instruksi untuk menghambat proses ini agar tidak berjalan,” ujarnya.

Menurut dia, Kepala Dinkes Medan awalnya sudah benar menerapkan seluruh alurnya. Namun, karena mendapat intervensi pimpinannya lantas berubah haluan. “Di dalam APBD kita tidak ada mengganggarkan kepada Dinsos Medan untuk melakukan validasi data sampai akhir tahun ini. Artinya, tak satu rupiah pun dianggarkan untuk itu. Oleh karena itu, seharusnya dari awal sudah ada perencanaan yang matang dari Sekda Kota Medan untuk masalah validasi yang tidak lagi dibebankan kepada Dinsos Medan. Kalau Dinsos Medan melakukan validasi maka menabrak aturan. Sebab, untuk validasi membutuhkan dana karena harus turun ke lapangan guna melakukan kroscek,” jabarnya.

Dia menyatakan, kalau memang mau dialihkan anggarannya jangan di tengah jalan. Jika memang teringat Permensos Nomor 5/2016, ketika melakukan rancangan anggaran bukan di saat sudah disahkan anggaran di Dinkes Medan. Artinya, ketika dilakukan rancangan APBD disampaikan bahwa proses validasi data untuk peserta baru PBI dilakukan oleh Dinsos Medan. Dengan demikian, sudah tertuang dalam nomenklatur APBD.

“Ini kok tiba-tiba, istilahnya enggak ada angin dan enggak ada hujan Permensos Nomor 5/2016 diterapkan kembali. Hal ini jelas tidak bisa dilakukan karena sudah diatur oleh Perda APBD (2019) dan tidak pernah mengamanahkan walaupun ada regulasi di atasnya (Permensos) untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan sosial. Artinya, aturan di atasnya harus diimplementasi melalui yang ada di bawahnya, bukan tumpang tindih. Jadi, lebih baik ketika pembahasan rancangan APBD tidak disetujui untuk penambahan peserta baru PBI. Daripada seperti ini, sudah disepakati ternyata di tengah jalan ada kebijakan yang melanggar aturan dan menghambat,” ketusnya.

Masih kata Bahrumsyah, sudah jelas diatur dalam Perda APBD bahwa validasi dilakukan oleh Dinkes Medan. Tapi Dinkes Medan malah bersikeras Dinsos Medan yang melakukan validasi karena berdasarkan Permensos Nomor 5/2016. Kalau begini caranya, jelas ada sesuatu yang ingin mengacaukan program yang sudah dirancang jauh-jauh hari.

“Jadi, ini mau diharapkan anggaran untuk program kesehatan supaya silpa. Selanjutnya, ketika perubahan APBD dialihkan ke kegiatan lain. Oleh karena itu, kami merekomendasi untuk segera melanjutkan program yang sudah dirancang sejak jauh-jauh hari. Jangan dipaksakan validasi kepada Dinsos Medan sementara tidak ada nomenklatur yang mengaturnya. Jangan pula berupaya menghambat dengan mencari-cari aturan sebagai payung hukum,” ujarnya lagi.

Lebih lanjut dia mengatakan, anggaran yang dialokasi untuk program ini sebesar Rp21,5 miliar kini sudah memasuki bulan Mei tapi satu rupiah pun belum terserap. “Kami tidak mau ada skenario lain dibalik ini, hanya karena ingin dialihkan pada perubahan APBD nanti. Kalau memang begitu, kita jelas tidak setuju atau menolak,” ucapnya.

Bahrumsyah menuturkan, ada kebijakan dari petinggi di Pemko Medan untuk membatalkan proses ini semua. Kalau begini, maka seperti memakan buah simalakama. “Kalau ada kebijakan di tengah jalan, tidak bisa dikorbankan sistem yang sudah berjalan. Kalau demikian, bisa rusak sistem dan masyarakat dikorbankan. Baru kali ini terjadi persoalan seperti itu, padahal sebelumnya program ini sudah beberapa tahun berjalan,” tuturnya.

Sambung dia, enggak ada pernah yang sudah dituangkan dalam APBD tiba-tiba dibatalkan. Tidak boleh itu terjadi, dan APBD 2019 yang disahkan wali kota ikut meneken. “Kita akan mempertanyakan kepada wali kota nantinya. Bahkan, menggulirkan hak interplasi karena menyangkut masalah nyawa banyak orang. Seorang pimpinan daerah tidak boleh meminta kepala dinas untuk melampaui kewenangannya atau menabrak aturan. Apa memang benar ada kebijakan dari Sekda yang mengintervensi kepala Dinkes Medan sehingga ingin membatalkan? Makanya, kami ingin memastikan lebih jauh,” tanya dia.

Ditambahkannnya, ada ketidaksinkronan di Dinkes Medan, kok bisa-bisanya kepala Dinas tidak mengetahui data yang dikirim ke BPJS Kesehatan hingga kartunya dicetak. Disisi lain, BPKAD Medan telah mengeluarkan anggaran untuk membayar klaim pencetakan kartu tersebut. “Makanya, ini perlu disikapi secara serius. Pemko kebingungan mencari dana segar, makanya dilakukan efisiensi hingga memotong gaji (memberhentikan) honorer (pegawai harian lepas). Padahal, efesiensi bukan memangkas tetap mengurangi anggaran kegiatan yang tidak bersifat prioritas. Makanya, ini sangat kejam dan bahaya,” kata dia.

Anggota Komisi B, Rajuddin Sagala yang hadir mempertanyakan kenapa kartu sudah dicetak tetapi belum didistribusikan apalagi digunakan, ada apa ini sebenarnya? “Saya heran dan mempertanyakan, kenapa sudah dicairkan dan dicetak kartunya tapi Dinkes Medan seolah-olah buang badan atau tidak tahu, ada apa ini? Dari yang disampaikan BPJS Kesehatan, mereka sudah mengajukan ke Dinkes Medan dan mendapat persetujuan untuk dicairkan ke BPKAD Medan. Jadi, sepertinya Pak Edwin sudah jelas tidak tepat diposisinya,” kata Rajuddin.

Sementara, Kepala Dinkes Medan, Edwin Effendi mengaku, prosedur untuk penambahan peserta PBI memang harus ada surat pengantar resmi dari pihaknya. Sebelum ada surat pengantar tersebut, maka belum menjadi ketetapan penambahan kepesertaan PBI dan ini sudah tertuang dalam kesepakatan dengan BPJS Kesehatan.

Namun, dalam proses peserta baru PBI ini, menurut dia, prosedurnya perlu melalui validasi Dinsos Medan yang tertuang dalam Permensos Nomor 5/2016. “Dalam Permensos tersebut tegas menyatakan tentang kepesertaan PBI. Awalnya kami memberikan untuk data peserta baru guna mempermudah tetapi belum menjadi ketetapan karena harus melalui proses validasi Dinsos Medan,” akunya.

Edwin bersikukuh bahwa pihaknya tetap membutuhkan validasi dari Dinsos Medan untuk penambahan peserta baru PBI. “Kita hanya mengantarkan data saja tetapi belum menjadi ketetapan karena butuh validasi dari Dinsos Medan,” katanya.

Disinggung adanya instruksi dari pimpinan di Pemko Medan sehingga belum juga terdistribusi kartu BPJS Kesehatan tersebut, Edwin tak menjawab pasti. Ia mengaku hanya mengikuti tupoksi atau kewenangannya sehingga kembali menerapkan Permensos 5/2016.

Kepala Bidang Kepesertaan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Medan, Supriyanto mengatakan, peserta PBI bulan Mei 2019 belum ada penambahan satu pun. Artinya, belum mendapat data dari Dinkes Medan. “Kita hanya menunggu kapan data itu masuk dan paling lambat per tanggal 20 setiap bulan,” ujarnya.

Dikatakan Supriyanto, pihaknya baru bisa memproses apabila sudah ada surat resmi dari Dinkes Medan. Dengan kata lain, harus ada surat pengantar dari Dinkes Medan. “Kalau data yang disampaikan hanya secara lisan maka belum bisa diproses lebih jauh. Sebab, surat pengantar tersebut menjadi laporan pertanggungjawaban nantinya karena akan diaudit,” tegasnya.

Diakui dia, untuk pembayaran pencetakan kartu memang sudah ada persetujuan dari Dinkes Medan, makanya bisa mengklaim ke BPKAD Medan untuk dicairkan. “Kita tetap mengajukan ke Dinkes Medan lalu baru ke BPKAD,” ucapnya.

Namun demikian, walaupun kartu sudah dicetak, tetapi tetap belum bisa memproses dan menagihnya ke Dinkes Medan dikarenakan belum ada surat resmi. “Jika nantinya dibayarkan, maka akan kita kembalikan karena surat resmi yang masuk ke kita belum ada menerima sampai sekarang. Akan tetapi, lantaran belum ada surat resmi maka belum dapat diproses dan kita pertanyakan lagi apakah dikembalikan atau didistribusikan,” tandasnya.

Diketahui, alokasi anggaran untuk jaminan kesehatan khususnya PBI BPJS Kesehatan telah ditambah tahun ini dari sebelumnya Rp90 miliar menjadi Rp111,5 miliar. Otomatis, jumlah penerima bantuan kesehatan ini pun bertambah. Di tahun 2018, kepesertaan BPJS berjumlah sekitar 326 ribu jiwa. Maka dari itu, pada 2019 kuota bertambah 80.527 jiwa. Artinya, sekitar 400 ribu lebih penerima bantuan kesehatan yang diakomodir. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru