25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Polisi Jangan Jebak Masyarakat

MEDAN- Untuk meningkatkan kinerja kepolisian secara profesional di masa depan, maka diperlukan polisi yang proaktif dan berbaur dengan masyarakat. Jangan jebak masyarakat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini diungkaplan Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Drs Edward Aritonang MM dalam seminar nasional “Refleksi, Evaluasi, dan Visi Grand Strategis Polri 2005-2025 di HUT Bhayangkara Ke-65 tahun di Aula Kamtibmas Mapolda Sumut, Rabu (20/7).

Saat ini kata dia banyak saat ini polisi untuk mendapat rupiah menjebak masyarakat. Misalnya, petugas kepolisian yang berdiri di belakang rambu lalu lintas. Setelah masyarakat melintas langsung ditangkap untuk menanyakan kelengkapan surat-surat kenderaan bermotor, ujungnya akan melakukan perdamaian. Seharusnya, petugas kepolisian  berdiri di depan rambu lalu lintas dan memberikan teguran kepada masyarakat bila dianggap melanggar lalu lintas, bukan menilang masyarakat dengan cara sembunyi.

Disebutkan mantan Kadiv Humas Mabes Polri ini, polisi ke depan harus demokratis dengan cara menjunjung tinggi akuntabilitas dalam bertugas, memprioritaskan pelayanan, melindungi HAM dan bekerja sesuai dengan prosedur hukum. Dalam pemeriksaan kasus harus bersikap adil dan tegas serta harus menghindari tindakan yang dilakukan kepolisian dapat menyakiti hati rakyat. Harus diingat polisi itu milik negara dan masyarakat.

Dikatakan Jenderal Bintang Dua ini, dalam melaksanakan tugas selama ini pihak kepolisian melakukan kerja setelah adanya pengaduan dari masyarakat. Untuk kedepannya, petugas kepolisian harus pro aktif dengan membaur bersama masyarakat agar mendapat informasi tentang kejahatan sehingga tindakan kriminal dapat dicegah sedini mungkin.
“Polisi juga harus merespon permintaan masyarakat yang mengganggu kamtibnas. Misalnya, masyarakat meminta polisi untuk menjaga umat muslim saat sholat Jumat sering terganggu oleh pengendera sepeda motor yang bising. Atas permintaan itu, pihak kepolisian harus menempatkan personil agar masyarakat yang akan melintas Mesjid diarahkan ke jalan yang lain sehingga umat Islam dalam menjalan ibadah dapar berjalan dengan khidmat.

“Intinya kedepan polisi harus berbenah diri dan mereformasi mulai saat ini. Jangan lagi pihak kepolisian menjebak masyarakat hanya untuk mementingkan diri sendiri” tegas Edward.

Di sisi lain, anggota Komisi Kepolisian Nasional Novel Ali menjelaskan dalam grand strategi Polri 2005-2025 ada tiga pilar utama yang merupakan kebutuhan publik terhadap pelayanan publik, yakni tahap membangun kepercayaan masyarakat, membangun jaringan dan kemitraan serta pelayanan prima.

Disebutkannya, pencapaian ketiga pilar grand strategi polri itu, memprasyaratkan kinerja Polri dalam aneka performance Polri. Diantaranya polisi sipil bukan polisi berwatakan militer, polisi berbasis pelayanan masyarakat, polisi berbasis hak asasi manusia dan pemolisian demokraktik.

Lebih lanjut ia mengatakan pemolisian demokraktik karena merupakan penjabaran/aktualisasi sistem kepolisian nasional yang perlu dipergunakan dalam rangka memantapkan revitalisasi Polri membangun kepercayaan, kemitraan/jaringan guna mewujudkan pelayanan prima.

“Berbasis paradigma pemolisian demokraktik seluruh warga negara Indonesia dapat berharap tidak akan membangun kekuasaan negara yang menjadi beban tanggungjawab Polri, dengan pendekatan ideologis dan refresif” terangnya.
Sementara, Hj Azlaini Agus dari tim Ombudsman mengatakan pertemuan kali ini sia-sia. “Coba lihat, banyak kursi yang kosong. Seharusnya yang diundang dalam kegiatan ini para Kapolsek dan Kapolres, karena mereka merupakan ujung tombak institusi Kepolisian untuk melayani masyarakat,” tegasnya.

Dia juga mengeluhkan paradigma yang berlaku selama ini, bahwa setiap oknum Polisi yang bermasalah selalu dibuang ke Nias Selatan (Nisel). “Jangan sampai Nisel dijadikan lokasi pembuangan oknum Polisi yang bermasalah. Bagaimana masyarakat di sana bisa mendapat pelayanan yang baik kalau Polisinya bermasalah,” pintanya.

Kalau bisa, lanjutnya, berikan penghargaan misalnya kenaikan pangkat istimewa atau remunerasi lebih kepada Polisi yang mau bertugas di sana.

Soal reformasi Polri, dia mengatakan memang berjalan tetapi sangat lambat bahkan terseok-seok. Sangat berbeda dengan gerak perubahan di masyarakat yang begitu cepat. Salah satu contoh, jika terjadi kasus di suatu lingkungan disarankan melapor ke Ketua Rukun Tetangga (RT) kenapa bukan ke Polisi. Jadi wajar rasanya masyarakat masih ragu terhadap Kepolisian.(ari)

MEDAN- Untuk meningkatkan kinerja kepolisian secara profesional di masa depan, maka diperlukan polisi yang proaktif dan berbaur dengan masyarakat. Jangan jebak masyarakat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini diungkaplan Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Drs Edward Aritonang MM dalam seminar nasional “Refleksi, Evaluasi, dan Visi Grand Strategis Polri 2005-2025 di HUT Bhayangkara Ke-65 tahun di Aula Kamtibmas Mapolda Sumut, Rabu (20/7).

Saat ini kata dia banyak saat ini polisi untuk mendapat rupiah menjebak masyarakat. Misalnya, petugas kepolisian yang berdiri di belakang rambu lalu lintas. Setelah masyarakat melintas langsung ditangkap untuk menanyakan kelengkapan surat-surat kenderaan bermotor, ujungnya akan melakukan perdamaian. Seharusnya, petugas kepolisian  berdiri di depan rambu lalu lintas dan memberikan teguran kepada masyarakat bila dianggap melanggar lalu lintas, bukan menilang masyarakat dengan cara sembunyi.

Disebutkan mantan Kadiv Humas Mabes Polri ini, polisi ke depan harus demokratis dengan cara menjunjung tinggi akuntabilitas dalam bertugas, memprioritaskan pelayanan, melindungi HAM dan bekerja sesuai dengan prosedur hukum. Dalam pemeriksaan kasus harus bersikap adil dan tegas serta harus menghindari tindakan yang dilakukan kepolisian dapat menyakiti hati rakyat. Harus diingat polisi itu milik negara dan masyarakat.

Dikatakan Jenderal Bintang Dua ini, dalam melaksanakan tugas selama ini pihak kepolisian melakukan kerja setelah adanya pengaduan dari masyarakat. Untuk kedepannya, petugas kepolisian harus pro aktif dengan membaur bersama masyarakat agar mendapat informasi tentang kejahatan sehingga tindakan kriminal dapat dicegah sedini mungkin.
“Polisi juga harus merespon permintaan masyarakat yang mengganggu kamtibnas. Misalnya, masyarakat meminta polisi untuk menjaga umat muslim saat sholat Jumat sering terganggu oleh pengendera sepeda motor yang bising. Atas permintaan itu, pihak kepolisian harus menempatkan personil agar masyarakat yang akan melintas Mesjid diarahkan ke jalan yang lain sehingga umat Islam dalam menjalan ibadah dapar berjalan dengan khidmat.

“Intinya kedepan polisi harus berbenah diri dan mereformasi mulai saat ini. Jangan lagi pihak kepolisian menjebak masyarakat hanya untuk mementingkan diri sendiri” tegas Edward.

Di sisi lain, anggota Komisi Kepolisian Nasional Novel Ali menjelaskan dalam grand strategi Polri 2005-2025 ada tiga pilar utama yang merupakan kebutuhan publik terhadap pelayanan publik, yakni tahap membangun kepercayaan masyarakat, membangun jaringan dan kemitraan serta pelayanan prima.

Disebutkannya, pencapaian ketiga pilar grand strategi polri itu, memprasyaratkan kinerja Polri dalam aneka performance Polri. Diantaranya polisi sipil bukan polisi berwatakan militer, polisi berbasis pelayanan masyarakat, polisi berbasis hak asasi manusia dan pemolisian demokraktik.

Lebih lanjut ia mengatakan pemolisian demokraktik karena merupakan penjabaran/aktualisasi sistem kepolisian nasional yang perlu dipergunakan dalam rangka memantapkan revitalisasi Polri membangun kepercayaan, kemitraan/jaringan guna mewujudkan pelayanan prima.

“Berbasis paradigma pemolisian demokraktik seluruh warga negara Indonesia dapat berharap tidak akan membangun kekuasaan negara yang menjadi beban tanggungjawab Polri, dengan pendekatan ideologis dan refresif” terangnya.
Sementara, Hj Azlaini Agus dari tim Ombudsman mengatakan pertemuan kali ini sia-sia. “Coba lihat, banyak kursi yang kosong. Seharusnya yang diundang dalam kegiatan ini para Kapolsek dan Kapolres, karena mereka merupakan ujung tombak institusi Kepolisian untuk melayani masyarakat,” tegasnya.

Dia juga mengeluhkan paradigma yang berlaku selama ini, bahwa setiap oknum Polisi yang bermasalah selalu dibuang ke Nias Selatan (Nisel). “Jangan sampai Nisel dijadikan lokasi pembuangan oknum Polisi yang bermasalah. Bagaimana masyarakat di sana bisa mendapat pelayanan yang baik kalau Polisinya bermasalah,” pintanya.

Kalau bisa, lanjutnya, berikan penghargaan misalnya kenaikan pangkat istimewa atau remunerasi lebih kepada Polisi yang mau bertugas di sana.

Soal reformasi Polri, dia mengatakan memang berjalan tetapi sangat lambat bahkan terseok-seok. Sangat berbeda dengan gerak perubahan di masyarakat yang begitu cepat. Salah satu contoh, jika terjadi kasus di suatu lingkungan disarankan melapor ke Ketua Rukun Tetangga (RT) kenapa bukan ke Polisi. Jadi wajar rasanya masyarakat masih ragu terhadap Kepolisian.(ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/