Masyarakat Banjar di Kampung Lama, Desa Tandamhilir II, Hamparanperak, Deliserdang, terus melestarikan kebudaya khas etnis Banjar, Kalimantan Selatan, dalam menyambut perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Tradisi inipun mampu menarik perhatian masyarakat setiap tahunnya, karena dinilai menarik dan unik.
BARISAN ayunan bergantung cantik di Lapangan Bola, Jalan Karya Bakti, Dusun Kampung Lama, Desa Tandam Hilir II, Kecamatan Hamparanperak, Selasa (20/11). Ada 111 ayunan dari kain jarik batik tersusun dengan rapi. Semuanya dihias secantik mungkin menggunakan kertas warna-warni, ataupun kain yang dibentuk pita.
Di atas ayunan, ada nama bayi yang akan diayunkan. Terhitung, ada 111 bayi yang ikut peringatan Baayun Maulud. Setiap ayunan diisi seorang bayi dan didampingi kedua orangtuanya. Semula kegiatan ini merupakan upacara peninggalan nenek moyang orang Banjar ketika masih beragama Kaharingan. Tradisi ini persisnya hanya ada di Kabupaten Tapin, hingga akhirnya berkembang dan digelar di sejumlah daerah Kalimantan Selatan.
Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di Kampung Banua Halat biasanya menggelar Upacara Aruh Ganal yang diikuti dengan proses Baayun Anak. Ritual ini digelar secara meriah. Bahkan, cukup besar-besaran saat sawah menghasilkan banyak padi.
Ya, kemeriahan terpancar ketika Sumut Pos memasuki Desa Tandamhilir II, Selasa (20/11). Rumah berbaris di kanan dan kiri terlihat membuka pintunya. Orang-orang berpakaian rapi lengkap dengan lobenya, berseliwuran.
Pemandangan ini terlihat seperti Hari Raya Idul Fitri. Rupanya masyarakat setempat tengah menggelar Maulid Nabi Muhammad SAW 1440 Hijriah di lapangan terbuka desa tersebut. Acaranya cukup meriah. Apalagi, ada 111 balita yang diayun massal. “Sejak saya masih gadis, budaya seperti ini di kampung kami sudah ada. Hanya saja, dulu tidak sebanyak ini. Cuma ngayun-ngayun sederhana saja,” kata Ngatini, warga setempat, yang menyambut kedatangan Sumut Pos dengan makanan.
Warga di sana cukup ramah. Wanita paruh baya berusia 62 tahun ini bilang, pada 2018 tradisi Baayun Maulud baru digelar di lapangan terbuka. “Biasa di masjid. Baayun Maulud atau mengayunkan anak ini digelar pada malam hari di masjid. Lalu esok siangnya diisi dengan ceramah,” sambung nenek bercucuk empat ini.
Tahun ini kemeriahannya jelas terlihat. Meski matahari bersinar sangat terik, tak menyurutkan semangat masyarakat setempat memadati lapangan sepakbola tersebut.
Menurut Ngatini, warga dari kampung lain juga memadati Baayun Maulud. “Tahun ini ada 111 balita yang diayunkan. Biasanya paling banyak 85 balita. Paling sedikit 35 balita,” sebutnya.
Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhirnya upacara ini diislamisasikan. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, yakni menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam.
Upacara Baayun Anak digelar sebagai sarana atau media untuk mengenalkan si anak kepada Datu Ujung. Yakni sosok leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang Banjar zaman dulu meyakini, anak-anak mereka dapat memperoleh keberkatan dalam hidupnya. Tidak mudah menangis dan terhindar dari segala marabahaya.
Karenanya, pada zaman dulu, setiap anak harus melalui upacara Baayun Anak sebagai tanda penghormatan dan sekaligus memberi persembahan kepada Datu Ujung. Sejalan dengan masuknya Islam, Upacara Baayun Anak dipadukan dengan ajaran agama Islam.Akhirnya dikenallah istilah Baayun Maulud. Ritual ini digelar setiap Bulan Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Upacara Baayun Maulud dilakukan ketika anak berusia paling besar lima tahun. Pun umumnya, saat bayu berusia 40 tahun.
Peralatan yang dipakai ayunan dan hiasannya. Kemudian juga ada Piduduk atau Sasarahan. Ibu tiga anak ini melanjutkan, Piduduk merupakan syarat upacara yang berupa bahan-bahan mentah. “Bahan-bahannya biasa beras 3 kg, 1 buah gula merah dan 1 buah kelapa. Pelaksanaannya, peserta yang datang langsung cicipi penganan khas Banjar yang telah disediakan. bahan-bahan tadi untuk dibacakan kepada anak. Setiap tahun, antusias masyarakat cukup banyak,” jelas dia.
Bahkan, masyarakat Suku Jawa di Desa Tandamhilir II, sudah mengikuti budaya banjar. Nilai-nilai dalam pelaksanaan Upacara Baayun Mulud atau Baayun Anak yang kemudian berpadu dengan kebudayaan Islam yakni, meneladani dan mengambil berkah atas keluhuran serta kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Wujud nyata kearifan lokal dalam menerjemahkan hadis dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buaian atau ayunan. Ilmu yang dituntut yang telah diajarkan Nabi, mencakup dunia dan akhir.
Dalam pelaksanaan upacara ini, terkandung harapan agar si anak yang diayun selalu mendapati kebaikan dalam menempuh kehidupan selanjutnya. Menciptakan rasa kekeluargaan dan silaturahim karena dengan melaksanakan upacara Baayun Maulud, maka seluruh keluarga dan masyarakat dapat berkumpul memeriahkannya. Sebagai bentuk pelestarian tradisi leluhur, tapi tetap menjaga nilai-nilai keislaman. Terakhir mewariskan dan mengenalkan tradisi Banjar kepada generasi muda penerus bangsa.
Dengan demikian, Upacara Adat Baayun Maulud atau Baayun Anak sudah menjadi salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran anak. Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan masyarakat Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak. Ritual ini juga sebagai bentuk penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. (*)