30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Lehernya Pernah Dilibas Ekor Buaya

Jemari, Pawang Buaya Asam Kumbang

Tak banyak orang yang mau bekerja menjadi pawang buaya karena bisa mengancam nyawa. Tapi, di tangan pria berusia 43 tahun bernama Jemari buaya yang buas menjadi jinak.

M Sahbainy Nasution, Medan

PAWANG BUAYA: Jemari bersama buaya.
PAWANG BUAYA: Jemari bersama buaya.

Jemari bekerja sebagai pawang buaya di Taman Buaya Asam Kumbang, tempat penangkaran buaya terbesar di Kota Medan di kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang. Jemari merupakan seorang pawang buaya yang cukup senior dibandingkan kedua pawang lainnya. Sudah 20 tahun Jemari bekerja sebagai pawang buata untuk memberi nafkah istri dan anaknya.

Jemari mengaku, dia tak pernah bercita-cita menjadi seorang pawang buaya. Awalnya, dia tinggal di Palembang dan bekerja sebagai pendodos kelapa sawit.

“Saat itu kami tinggal di rumah kepala sekolah dan disuruh menderes kelapa sawit, tapi bapak angkat saya menyuruh saya merantau ke Medan,”ucapnya.
Singkat cerita Jemari memutuskan untuk merantau ke Medan tepatnya saat bulan Suci Ramadan.

“Ada dua kerjaan yang ditawarkan kepada saya di Medan pertama kerja di pabrik baterai dan bekerja di peternakan buaya. Saat itu bapak angkat saya menyuruh saya kerja di peternakan buaya karena dekat rumah dan bapak angkat saya kenal dekat dengan pemiliknya (Almarhum Lo Than Muk),”ucapnya.

Jemari pun memutuskan bekerja menjadi pawang buaya. Menurutnya, selama 20 tahun bekerja di penangkaran buaya pasti banyak punya suka dan duka.

Sukanya, kata Jemari, bisa memahami karakter orang dan bersosialisasi kepada wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu tahu bagaimana cara perkembangbiakan buaya.

Sedangkan dukanya, kata Jemari, lehernya pernah dilibas buaya dengan ekornya. Saat itu buaya sedang bertelur itu sehingga buaya sangat ganas dan buas.

“Saat itu ada syuting film dari Taiwan di penangkaran. Saat saya hendak mendekat buaya tersebut merasa terganggu dan marah akibatnya leher saya diliasnya pakai ekornya,” katanya.

Menurutnya, kalau digigit sudah sering apalagi buaya yang masih anakan rasanya seperti dijarum. Selain itu, katanya, libur sangat terbatas sehingga dia jarang menghadiri pesta atau kemalangan di rumah tetangga atau saudaranya sendiri.

Jemari mengaku sempat diajari oleh pemilik Almarhum Lo Than Muk tentang reproduksi buaya. Menurut Jemari, anak buaya harus dijemur setiap hari agar tak rentan terkena penyakit, selain itu juga kolam buaya setiap hari harus dibersihkan.

Sekadar diketahui, Taman Buaya Asam Kumbang Medan memiliki sekitar 2.600 ekor buaya yang mulai dipelihara sejak 1959 hingga sekarang. Berdiri di tanah seluas 2 hektar lebih. Di dalamnya ada buaya yang baru lahir hingga yang berusia 52 tahun dan sebagain buaya tersebut terlatih dan mampu menyajikan atraksi yang menakjubkan. (*)

Jemari, Pawang Buaya Asam Kumbang

Tak banyak orang yang mau bekerja menjadi pawang buaya karena bisa mengancam nyawa. Tapi, di tangan pria berusia 43 tahun bernama Jemari buaya yang buas menjadi jinak.

M Sahbainy Nasution, Medan

PAWANG BUAYA: Jemari bersama buaya.
PAWANG BUAYA: Jemari bersama buaya.

Jemari bekerja sebagai pawang buaya di Taman Buaya Asam Kumbang, tempat penangkaran buaya terbesar di Kota Medan di kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang. Jemari merupakan seorang pawang buaya yang cukup senior dibandingkan kedua pawang lainnya. Sudah 20 tahun Jemari bekerja sebagai pawang buata untuk memberi nafkah istri dan anaknya.

Jemari mengaku, dia tak pernah bercita-cita menjadi seorang pawang buaya. Awalnya, dia tinggal di Palembang dan bekerja sebagai pendodos kelapa sawit.

“Saat itu kami tinggal di rumah kepala sekolah dan disuruh menderes kelapa sawit, tapi bapak angkat saya menyuruh saya merantau ke Medan,”ucapnya.
Singkat cerita Jemari memutuskan untuk merantau ke Medan tepatnya saat bulan Suci Ramadan.

“Ada dua kerjaan yang ditawarkan kepada saya di Medan pertama kerja di pabrik baterai dan bekerja di peternakan buaya. Saat itu bapak angkat saya menyuruh saya kerja di peternakan buaya karena dekat rumah dan bapak angkat saya kenal dekat dengan pemiliknya (Almarhum Lo Than Muk),”ucapnya.

Jemari pun memutuskan bekerja menjadi pawang buaya. Menurutnya, selama 20 tahun bekerja di penangkaran buaya pasti banyak punya suka dan duka.

Sukanya, kata Jemari, bisa memahami karakter orang dan bersosialisasi kepada wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu tahu bagaimana cara perkembangbiakan buaya.

Sedangkan dukanya, kata Jemari, lehernya pernah dilibas buaya dengan ekornya. Saat itu buaya sedang bertelur itu sehingga buaya sangat ganas dan buas.

“Saat itu ada syuting film dari Taiwan di penangkaran. Saat saya hendak mendekat buaya tersebut merasa terganggu dan marah akibatnya leher saya diliasnya pakai ekornya,” katanya.

Menurutnya, kalau digigit sudah sering apalagi buaya yang masih anakan rasanya seperti dijarum. Selain itu, katanya, libur sangat terbatas sehingga dia jarang menghadiri pesta atau kemalangan di rumah tetangga atau saudaranya sendiri.

Jemari mengaku sempat diajari oleh pemilik Almarhum Lo Than Muk tentang reproduksi buaya. Menurut Jemari, anak buaya harus dijemur setiap hari agar tak rentan terkena penyakit, selain itu juga kolam buaya setiap hari harus dibersihkan.

Sekadar diketahui, Taman Buaya Asam Kumbang Medan memiliki sekitar 2.600 ekor buaya yang mulai dipelihara sejak 1959 hingga sekarang. Berdiri di tanah seluas 2 hektar lebih. Di dalamnya ada buaya yang baru lahir hingga yang berusia 52 tahun dan sebagain buaya tersebut terlatih dan mampu menyajikan atraksi yang menakjubkan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/