26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Polisi China Turun ke Medan

Lagi, 11 WNA Pelaku Cyber Crime Ditangkap

MEDAN-Pihak kepolisian China akan turun ke Medan. Ini terkait dengan penangkapan warga negara asing (WNA) yang ditangkap karena kasus cyber crime, Rabu (19/12) malam. Mereka hadir di Medan karena sebagian besar yang ditangkap adalah warga Negeri Tirai Bambu itu.

Terkait dengan itu, setelah menangkap 36 Warga Negara Asing (WNA) pelaku cyber crime, kemarin personel Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Poldasu menangkap 11 orang lagi. Ke-11 orang itu adalah warga Taiwan dan semuanya ditangkap di tempat yang sama, Komplek Malibu Indah, Kecamatan Medan Polonia.

“Inikan sindikat internasional dan termasuk transnasionalcrime. Jadi akan kita serahkan ke Bareskrim dan ini berkaitan juga dengan negara lain,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Poldasu, Kombes Pol Sadono Budi Nugroho, kemarin.

Ditreskrimsus Poldasu saat ini tengah menunggu kedatangan penyidik Bareskrim Mabes Polri. Selain itu, mereka juga menantikan kedatangan pihak Kedutaan Besar China. “Korbannya kan umumnya orang China, jadi pihak Kedubes China dan  polisi China yang sudah stand by di Jakarta  mau datang ke sini,” jelas Sadono.

Sadono mengatakan, saat ditangkap, para anggota sindikat cyber crime ini mencoba menghilangkan barang bukti dengan cara membakar sejumlah dokumen di dalam kamar mandi. Hingga kini, Poldasu telah mengamankan total 47 WNA.

Sadono memaparkan, penangkapan ini dilakukan setelah Polri berkordinasi dengan pihak kepolisian China yang memantau adanya sindikat penipuan yang beroperasi di Indonesia. Salah satunya dideteksi berada di Kota Medan.

Disebutkan Sadono, pihaknya belum mengetahui jelas bagaimana modus operandi yang dilakukan sindikat tersebut. “Belum jelas modus operandi sindikat ini. Namun berdasarkan informasi awal, mereka  menawarkan berbagai barang melalui situs internet. Kemudian korban mentransfer sejumlah uang kepada sindikat ini. Setelah uang dikirim, barang tak juga dikirim ke pembeli ,” ungkap Sadono.

Sadono mengatakan, ke-47 WNA ini sudah beroperasi di kota Medan sekitar dua bulan lalu. Mereka diperkirakan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain dalam periode tertentu. Untuk sementara ini, ke-47 WNA akan dikenakan pasal-pasal UU IT (Informasi dan Tekhnologi). Namun, polisi sedang berkoordinasi untuk mengetahui dugaan pelanggaran lainnya, termasuk dengan pihak keimigrasian. “Mereka mengaku punya paspor, tapi masih di tangan agennya. Namun sudah kita ambil untuk disesuaikan dengan pemegang paspor masing-masing,” jelas Sadono.

Indonesia Perlu National Proxy

Di sisi lain, pengamat hukum teknologi informasi (IT) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, tidak merasa aneh melihat banyaknya pelaku cyber crime dari dunia internasional, menjadikan Indonesia sebagai basis kejahatan. Karena sampai saat ini, Indonesia belum memiliki sistem pengamanan yang maksimal.

Menurutnya, para pelaku kemungkinan melihat Indonesia saat ini belum memiliki National Proxy, sehingga celah untuk masuk terbuka lebar. Ia mengistilahkan ibarat sebuah komplek perumahan, saat ini Indonesia memiliki banyak pintu-pintu untuk keluar masuk. Sementara petugas yang berjaga-jaga tidak ada.

“Jadi sebaiknya Indonesia perlu memiliki National Proxy, artinya semua jaringan yang masuk ke Indonesia harus melewati pintu tersebut. Bukan seperti sekarang ada banyak pintu dan semuanya terbuka lebar. Di banyak negara seperti Singapura, Malaysia, Cina dan negara-negara di Eropa, itu mereka telah memiliki National Proxy masing-masing. Jadi keamanan harus bermuara pada satu pintu,” katanya.
Hanya saja Edmond tidak memungkiri, seringkali upaya membuat satu pintu, dinilai sebagian pihak seolah-oleh negara menjadi otoriter. Padahal ia yakin jika undang-undangnya dibuat dengan baik, tentu hal tersebut bukan merupakan sebuah masalah.

“Internet sebenarnya kan dikembangkan untuk kemudahan. Namun pada kenyataannya, sangat riskan disalahgunakan, karena itu harus ada langkah pengamanan. Makanya perlu ada satu pintu gerbang internet untuk Indonesia. Kalau sekarang ini misalnya ada virus masuk saja, akan sulit untuk mengobatinya. Makanya tidak heran banyak pelaku cyber crime beroperasi dari Indonesia,” ujarnya.

Dengan satu pintu gerbang, maka saat ditemukan adanya indikasi tindak kejahatan, paling tidak menurut Desmond, petugas lebih cepat menelusuri. Karena itu melihat kondisi yang ada, ia tidak ingin menyebut kemampuan aparat yang menangani cyber crime di Indonesia, jauh tertinggal. Karena pada dasarnya, kebutuhan hardware atau sistem, menjadi kebutuhan utama. Sementara kemampuan maupun metode pengamanan, dapat melengkapi sesuai kebutuhan yang ada.

Selain belum memiliki National Proxy, character building masyarakat Indonesia menurutnya juga turut menjadi penyumbang maraknya cyber crime di tanah air. Terutama di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta dan Surabaya, dimana perkembangan internet sedemikian pesat, sementara masyarakat masih begitu mudahnya percaya.

“Misalnya saat kita mendapat sebuah aplikasi, itu banyak masyarakat yang tanpa berpikir panjang langsung mengisi data-data diri secara lengkap. Padahal kejahatan di internet itu, paling krusial masalah personal data ini. Siapa yang dapat menjamin kalau hardware atau program-programnya ternyata berisi malware?” katanya.

Oleh sebab itu Desmon menyarankan masyarakat pengguna lebih berhati-hati dan selalu waspada dalam menggunakan internet. Karena kalau 2004 trendnya kejahatan lebih kepada upaya membuat rusak komputer, saat ini berkembang menjadikan internet sebagai fasilitas melakukan perbuatan melawan hukum.(mag-12/gir)

Lagi, 11 WNA Pelaku Cyber Crime Ditangkap

MEDAN-Pihak kepolisian China akan turun ke Medan. Ini terkait dengan penangkapan warga negara asing (WNA) yang ditangkap karena kasus cyber crime, Rabu (19/12) malam. Mereka hadir di Medan karena sebagian besar yang ditangkap adalah warga Negeri Tirai Bambu itu.

Terkait dengan itu, setelah menangkap 36 Warga Negara Asing (WNA) pelaku cyber crime, kemarin personel Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Poldasu menangkap 11 orang lagi. Ke-11 orang itu adalah warga Taiwan dan semuanya ditangkap di tempat yang sama, Komplek Malibu Indah, Kecamatan Medan Polonia.

“Inikan sindikat internasional dan termasuk transnasionalcrime. Jadi akan kita serahkan ke Bareskrim dan ini berkaitan juga dengan negara lain,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Poldasu, Kombes Pol Sadono Budi Nugroho, kemarin.

Ditreskrimsus Poldasu saat ini tengah menunggu kedatangan penyidik Bareskrim Mabes Polri. Selain itu, mereka juga menantikan kedatangan pihak Kedutaan Besar China. “Korbannya kan umumnya orang China, jadi pihak Kedubes China dan  polisi China yang sudah stand by di Jakarta  mau datang ke sini,” jelas Sadono.

Sadono mengatakan, saat ditangkap, para anggota sindikat cyber crime ini mencoba menghilangkan barang bukti dengan cara membakar sejumlah dokumen di dalam kamar mandi. Hingga kini, Poldasu telah mengamankan total 47 WNA.

Sadono memaparkan, penangkapan ini dilakukan setelah Polri berkordinasi dengan pihak kepolisian China yang memantau adanya sindikat penipuan yang beroperasi di Indonesia. Salah satunya dideteksi berada di Kota Medan.

Disebutkan Sadono, pihaknya belum mengetahui jelas bagaimana modus operandi yang dilakukan sindikat tersebut. “Belum jelas modus operandi sindikat ini. Namun berdasarkan informasi awal, mereka  menawarkan berbagai barang melalui situs internet. Kemudian korban mentransfer sejumlah uang kepada sindikat ini. Setelah uang dikirim, barang tak juga dikirim ke pembeli ,” ungkap Sadono.

Sadono mengatakan, ke-47 WNA ini sudah beroperasi di kota Medan sekitar dua bulan lalu. Mereka diperkirakan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain dalam periode tertentu. Untuk sementara ini, ke-47 WNA akan dikenakan pasal-pasal UU IT (Informasi dan Tekhnologi). Namun, polisi sedang berkoordinasi untuk mengetahui dugaan pelanggaran lainnya, termasuk dengan pihak keimigrasian. “Mereka mengaku punya paspor, tapi masih di tangan agennya. Namun sudah kita ambil untuk disesuaikan dengan pemegang paspor masing-masing,” jelas Sadono.

Indonesia Perlu National Proxy

Di sisi lain, pengamat hukum teknologi informasi (IT) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, tidak merasa aneh melihat banyaknya pelaku cyber crime dari dunia internasional, menjadikan Indonesia sebagai basis kejahatan. Karena sampai saat ini, Indonesia belum memiliki sistem pengamanan yang maksimal.

Menurutnya, para pelaku kemungkinan melihat Indonesia saat ini belum memiliki National Proxy, sehingga celah untuk masuk terbuka lebar. Ia mengistilahkan ibarat sebuah komplek perumahan, saat ini Indonesia memiliki banyak pintu-pintu untuk keluar masuk. Sementara petugas yang berjaga-jaga tidak ada.

“Jadi sebaiknya Indonesia perlu memiliki National Proxy, artinya semua jaringan yang masuk ke Indonesia harus melewati pintu tersebut. Bukan seperti sekarang ada banyak pintu dan semuanya terbuka lebar. Di banyak negara seperti Singapura, Malaysia, Cina dan negara-negara di Eropa, itu mereka telah memiliki National Proxy masing-masing. Jadi keamanan harus bermuara pada satu pintu,” katanya.
Hanya saja Edmond tidak memungkiri, seringkali upaya membuat satu pintu, dinilai sebagian pihak seolah-oleh negara menjadi otoriter. Padahal ia yakin jika undang-undangnya dibuat dengan baik, tentu hal tersebut bukan merupakan sebuah masalah.

“Internet sebenarnya kan dikembangkan untuk kemudahan. Namun pada kenyataannya, sangat riskan disalahgunakan, karena itu harus ada langkah pengamanan. Makanya perlu ada satu pintu gerbang internet untuk Indonesia. Kalau sekarang ini misalnya ada virus masuk saja, akan sulit untuk mengobatinya. Makanya tidak heran banyak pelaku cyber crime beroperasi dari Indonesia,” ujarnya.

Dengan satu pintu gerbang, maka saat ditemukan adanya indikasi tindak kejahatan, paling tidak menurut Desmond, petugas lebih cepat menelusuri. Karena itu melihat kondisi yang ada, ia tidak ingin menyebut kemampuan aparat yang menangani cyber crime di Indonesia, jauh tertinggal. Karena pada dasarnya, kebutuhan hardware atau sistem, menjadi kebutuhan utama. Sementara kemampuan maupun metode pengamanan, dapat melengkapi sesuai kebutuhan yang ada.

Selain belum memiliki National Proxy, character building masyarakat Indonesia menurutnya juga turut menjadi penyumbang maraknya cyber crime di tanah air. Terutama di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta dan Surabaya, dimana perkembangan internet sedemikian pesat, sementara masyarakat masih begitu mudahnya percaya.

“Misalnya saat kita mendapat sebuah aplikasi, itu banyak masyarakat yang tanpa berpikir panjang langsung mengisi data-data diri secara lengkap. Padahal kejahatan di internet itu, paling krusial masalah personal data ini. Siapa yang dapat menjamin kalau hardware atau program-programnya ternyata berisi malware?” katanya.

Oleh sebab itu Desmon menyarankan masyarakat pengguna lebih berhati-hati dan selalu waspada dalam menggunakan internet. Karena kalau 2004 trendnya kejahatan lebih kepada upaya membuat rusak komputer, saat ini berkembang menjadikan internet sebagai fasilitas melakukan perbuatan melawan hukum.(mag-12/gir)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/