SUMUTPOS.CO – Sejatinya, kehadiran PLTA Batangtoru untuk mendukung program pemerintah membangun 35.000 MW hingga tahun 2022. Dalam mendukung upaya itu, PLTA Batangtoru rela menginvestasikan US$1,6 miliar atau sekitar Rp20 triliun lebih. Namun belum lagi proyek ini berjalan sepenuhnya, isu perusakan lingkungan telah digulirkan sejumlah LSM.
SENIOR Executive for External Relations PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE), Firman Taufick mengakui, selama ini telah terjadi tersumbatnya arus informasi ke publik kerap menimbulkan multitafsir di masyarakat. “Kami hadir dengan energi baru terbarukan, yaitu memanfaatkan air sungai Batangtoru,” kata Firman saat mengunjungi kantor Harian Sumut Pos di Jalan Sisingamangaraja Km 8,2 Nomor 134 Medan Amplas, Kamis (21/2) petang.
Menurutnya, dengan energi baru terbarukan itu, pihaknya juga mendukung target pemerintah mendukung 23 persen energi baru terbarukan di 2025. Kehadiran PLTA Batangtoru ini juga sangat penting bagi Sumatera Utara, Indonesia, maupun dunia. Karena PLTA Batangtoru akan mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). “Pilihan pada PLTA, karena lebih bersih dan lebih berkesinambungan. Karena itu kehadiran PLTA Batangtoru akan mendukung pengurangan emisi karbon nasionaln
Proyek kami ini akan memberikan kontribusi pengurangan emisi karbon sebesar 1,6 hingga 2,2 MTon/tahun atau sebesar 4 persen dari target nasional,” terang Firman yang datang ke kantor redaksi Sumut Pos bersama Hayat Mansur selaku Research And Media Relations Director Inter Matrix Communication, Konsultan Komunukasi NSHE.
Firman juga menjelaskan, saat ini progres pembangunan PLTA Batangtoru masih berkisar 30 persen, yakni masih tahap pembangunan jalan. Dan dalam pembangunan PLTA Batangtoru tersebut, pihaknya sangat memikirkan pelestarian lingkungan. Apalagi, pembakit listrik ini bahan bakunya adalah air. Makanya, kondisi air di kawasan Batangtoru harus tetap terjaga, termasukan areal hutannya.
Mereka juga tidak mau, keberadaan PLTA ini malah berdampak terhadap kerusakan lingkungan. “Karena bahan bakunya air, maka kita konsentrasi terhadap air juga. Bagaimana melakukan perawatan air itu? Pastinya kita lakukan dengan kajian-kajian,” sebut Firman kepada awak redaksi Sumut Pos, diantaranya Pimpanan Redaksi Dame Ambarita, Wakil Pimpinan Redaksi Laila Azizah, Redaktur Pelaksana Ade Zulfi A Simatupang, Manajer Iklan Hirzan, dan Manajer Advertorial Asih Astuti.
Dalam pembangunan PLTA ini, PT NSHE pastinya sudah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dengan SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 660 tertanggal 31 Januari 2015. Dan pastinya SK itu sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Di samping itu, jelasnya, lokasi PLTA Batangtoru ini terletak di kawasan Batangtoru di Sipirok dan Marancar yang masuk dalam kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan tidak masuk dalam kawasan hutan. “6.500 hektar itu, berada di areal penggunaan lain (APL), Bukan di hutan. Jadi tidak seperti informasi yang berkembang selama ini, di hutan,” ungkapnya.
Dia juga membantah kalau PLTA Batangtoru dibangun di atas patahan gempa. “Tim analisis kita mengkaji, (lokasi PLTA Batangtoru) tidak berada dipatahan gempa. Tetapi tetap dibangun untuk tahan gempa dengan mengadopsi praktek terbaik dari ketentuan nasional dan intemasional terbaru yang berlaku, seperti pedoman untuk desain dan pelaksanaan bendungan beton dari Balai Bendungan, dan international Commission on Large Dams (ICOLD),” bebernya.
Selain itu, dia juga memastikan, debit air Sungai Batangtoru tidak akan mengalami penurunan apalagi sampai mengakibatkan kekeringan. Pasalnya, meski akan dibangun bendungan, tapi debit air tetap sama dan tidak berkurang sama sekali.
Selain itu, dia juga meluruskan isu, PLTA Batangtoru bakal menggenangi sekitar 9.600 hutan Batangtoru.
Menurutnya NSHE punya dasar. Pertama karena luas lahan yang akan digenangi untuk keperluan menggerakkan pembangkit, hanya 90 Ha, itupun sudah termasuk badan sungai 24 hektare. Bahkan total keseluruhan lahan yang dibutuhkan untuk operasional PLTA Batangtoru, hanya 122 Ha, yakni 90 Ha genangan dan sisanya antara lain perkantoran dan pembangkit.
“Isu menggenangi 9.600 lahan di hutan Batangtoru, sekali tidak betul. Jangankan desa sekitar, pembangkit kami pun ikut tenggalam,” ujarnya.
Firman juga mengungkapkan, pihaknya akan terus berkontribusi sosial di areal pembangunan PLTA Batangtoru tersebut. Misalnya menggelar perobatan gratis dan memberikan bantuan dalam beasiswa sekolah kepada masyarakat di sana. “Kita juga memikirkan kondisi orangutan dengan memberikan jembatan kepada orangutan. Di mana mencari makanan, di mana bermain. Semua itu, kita pikirkan dan kita kaji. Di sini, kita tidak ada merusak lingkungan,” tandasnya.
Lalu, ke mana listrik yang dihasilkan PLTA Batangtoru dijual? Menurut Firman, daya listrik yang dihasilkan sepenuhnya akan dialirkan oleh PLN. “Perjanjian jual belinya atau Power Purchase Agreement (PPA) sudah kami sepakati dengan PLN,” sebutnya.
Tentang tenaga kerja, pihaknya mempekerjakan hingga 2.000 orang. Dari jumlah itu, di antaranya 75 persen tenaga kerja dalam negeri termasuk local. Sisanya tenaga ahli asing. “Kita tetap lebih memprioritaskan kebutuhan tenaga kerja lokal,” tandasnya.
Selamatkan Hutan Batangtoru
Terpisah, sejumlah aktivis dari komunitas pecinta alam (KPA) seperti KPA Malaka, KPA Mata Alam, Rata Bumi, Telapak Tapanuli, Explore Tabagsel, dan Kompel UMTS bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut menggelar aksi bertajuk Selamatkan Hutan Batangtoru di atas Jembatan Aek Sisomagodang di atas Daerah Aliran Sungai (DAS) Batangtoru, Kamis (21/2). Aksi digelar karena mereka khawatir ekosistem hutan Batangtoru rusak.
Aksi tersebut menarik perhatian masyarakat dan pengguna jalan yang melintas di jalan tersebut. Mereka mengajak agar masyarakat juga ikut peduli dengan ancaman kerusakan yang terjadi akibat pembangunan proyek PLTA tersebut.
“Ancaman pembangunan PLTA Batangtoru sangat banyak, ada satwa yang dilindungi termasuk Orangutan Tapanuli yang hanya hidup di sana. Sehingga pembangunan PLTA Batangtoru itu yang kita khawatirkan kepunahannya dan terancamnya habitat di sana,” ungkap koordinator aksi, Andi Daulay.
Tidak hanya Oranghutan, habitat satwa lain di sana juga terancam. “Di antaranya Burung Enggang Badak yang menjadi identitas Tapanuli Selatan. Ketika pembangunan PLTA dilakukan di sana, satwa kita akan terancam punah termasuk orangutan Tapanuli, burung Enggang Badak itu,” sebutnya.
Selain itu, lanjut Andi, dengan pembangunan tersebut, hilir sungai Batangtoru bakal mengering lantaran akan dibangun bendungan untuk PLTA tersebut. “Sementara banyak lahan pertanian masyarakat yang bergantung pada sungai itu,” sebutnya.
Diungkapkannya, Hutan Batangtoru merupakan hamparan hutan primer dengan luas 1.400 Km persegi di perbatasan Taput, Tapteng, dan Tapsel. Lebih dari 100 ribu jiwa menggantungkan hidup di Hutan Batangtoru. “Data yang kita miliki juga, di hulu juga ada 1.200 hektar lahan pertanian produktif milik masyarakat dan masyarakat adat,” sebutnya.
Dengan begitu, kata Andi, menjaga Hutan Batangtoru sama arti menjaga masa depan generasi muda di Tapsel. “Jadi kita harus menjaga hutan tersebut. Percuma berbicara kesejahteraan tapi masyarakatnya tidak dilindungi,” sebutnya.
Dia juga menuding Pemkab Tapsel tidak peduli terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati alam di Hutan Batangtoru. Nilai konservasi hutan tersebut memiliki nilai yang tinggi dan tak ternilai kekayaan hayatinya. “Harusnya pemerintah daerah dapat memberikan keputusan dan kebijakan yang dapat menyelamatkan bentang alam Hutan Batangtoru,” sebutnya.
Manajer Advokasi Walhi Sumut, Roy Lumbangaol mengatakan, dari kajian para ahli mengatakan, pembangunan PLTA di sana berpotensi merusak ekosistem alam. “Kita tidak anti pembangunan, tapi kalau pembangunan itu berpotensi merusak alam tentu kita akan melawan, mengkritisi. Walhi Sumut konsen untuk menyelamatkan Rimba terakhir, ya, Hutan Batangtoru ini kenapa kami sebut rimba terakhir karena hutan yang murni di Sumut menjadi kekayaan yang tersisa,” sebutnya.
Menurutnya, Walhi sudah melakukan gugatan terhadap AMDAL pembangunan PLTA Batangtoru dan mereka berharap hakim memutuskan dengan adil. “Gugatan masih jalan dan putusan itu nanti bulan Maret. Harapan kami hakim bisa memberikan putusan yang adil tanpa intervensi. Ini bukan kepentingan kami atau sekelompok orang. Ini semuanya adalah kepentingan orang banyak,” ungkapnya. (gus/dvs)