Lambannya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan anak yang terjadi selama ini, mengundang keperihatinan dari Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut, Zahrin Piliang. Seperti kasus yang dialami Muhammad Alfariji (9), warga Dusun IV Percut Sei Tuan yang saat ini ditangani Polsek Percut Sei Tuan dan kasus yang dialami Zainal Arif (14), warga Jalan Sei Baharu, Hamparan Perak, yang kasusnya ditangani Polres KP3 Belawan. Hingga kini kedua kasus tersebut belum juga terselesaikan.
Karenanya, Zahrin mendesak agar aparat kepolisian segera mengambil sikap tegas dan menindak oknum pelaku tindak kekerasan terhadap anak tersebut. Berikut petikan wawancara wartawan Sumut Pos Bagus Syahputra dengan Zahrin Piliang, kemarin (20/3).
Seperti apa Anda menilai penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan kepada anak?
Sesuai Undang-undang KPAI yang tertulis pada Pasal 59 No 23, bahwa negara harus memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menjadi korban kekerasan fisik maupun pemerkosaan. Namun, hal ini tidak diterapkan oleh penegak hukum yaitu kepolisian. Saya menilai, dari kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi saat ini dan sudah ditangani polisi, namun penanganannya sangat lamban sekali. Hal ini dapat mengakibatkan pelaku kekerasan anak bisa melarikan diri dari hukum yang ada dengan menghilangkan barang bukti. Apa lagi kalau itu korbannya masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Kelihatannya kita harus mendorong aparat penegak hukum untuk sadar melindungi korban kekerasan anak, sehingga pelaku kekarasan bisa di hukum dengan hukum berat.
Hingga saat ini, sudah berapa kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi berdasarkan cacatan KPAID Sumut dan seperti apa penanganannya?
Menurut catatan kami, sepanjang 2011 kami telah menangani sebanyak 28 kasus dengan rincian, penganiayaan 6 kasus, sodomi 1 kasus, penelantaran 2 kasus, hak kuasa asuh 6 kasus, pengasuhan secara paksa sebanyak 1 kasus, pencabulan sebanyak 6 kasus, hak pendidikan anak sebanyak 2 kasus, pemerkosaan 1 kasus dan anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 3 kasus. Jadi, dari Januari hingga Maret, kasus yang paling banyak ditahun ini adalah kasus penganiayaan dan kasus pencabulan.
Namun, jika kasus kekerasan anak ini sampai di tangan kepolisian, selalu saja penanganannya lamban. Karena, penanganan di kepolisian sangat berpegangan pada syarat formil. Artinya, kalau permasalahan pemerkosaan, pihak keluarga mengadu ke pihak kepolisian, maka kasus tersebut akan lama diproses. Karena di kepolisian dalam memecahkan kasus, harus menunjukkan bukti yang menunjukkan kalau dia masih anak-anak, misalnya dengan membawa kartu keluarga dan akte kelahiran.
Padahal anak yang melapor merupakan korban kekerasan, apalagi eksploitasi seksual, karena didalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak, anak-anak harus mendapat perlindungan.
Dari tingginya tingkat kekerasan terhadap anak, menurut Anda apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kekerasan anak ini?
Pemerintahan harus bergandeng tangan dengan kami untuk mensosialisasikan Undang-undang Perlindungan Anak serta menyuarakan anti kekerasan terhadap anak yang selama ini semakin prihatin.
Sosialisasi untuk menekan tindakkan kekerasan terhadap anak harus dilakukan secara dini melalui pemerintahan, mulai kepala lingkungan, lurah sampai camat harus menyuarahkan anti kekerasan terhadap anak.(*)