Site icon SumutPos

Sepuluh Tahun Pantang Menyerah

Foto: leahmahan.com  Poster film dokumenter berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek.
Foto: leahmahan.com
Poster film dokumenter berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sepuluh tahun perjalanan seorang Derrick Evans yang penuh liku dalam menegakkan keadilan lingkungan hidup di kampung halamannya, berhasil direkam dan dirangkai seorang Leah Mahan, dalam tayangan film dokumenter berdurasi hanya 56 menit. Dan selama 56 menit itu, tidak ada penonton yang beranjak dari kursi.

Film itu berjudul cukup panjang: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek. Kata Leah, ia mengerjakan film tersebut selama 10 tahun, dan mengeditnya selama 5 tahun. Proses yang sangat panjang.

”Saya tidak menganjurkan Anda untuk mengikuti jejak saya mengerjakan sebuah film selama itu,” katanya sedikit tersipu, dalam diskusi interaktif usai penayangan film tersebut di rumah Wakil Consul AS di Medan, Selasa (21/4) malam.

Awalnya, Leah menerima undangan dari teman lamanya Derrick Evans, untuk merekam perjalanannya pulang ke kampung halamannya di Pantai Missisipi, Amerika Serikat. Derrick yang seorang guru Sejarah di Boston itu pulang, karena makam leluhurnya digusur untuk pembangunan kota Gulfport.

Komunitas Derrick tinggal Gulfport, di area bernama Turkey Creek. Areal itu dibeli kelompok kakek-nenek buyutnya 150 tahun silam, pascamasa perbudakan. Kala itu, lahan basah tersebut tidak terlalu menarik bagi kaum kulit putih. Dianggap terlalu berawa.

Namun zaman berubah. Pembangunan demi pembangunan terus bergerak hingga mengancam area Gulf Coast (teluk pesisir) Missisipi, kampung halaman Derrick.

Derrick beserta komunitasnya yang kulit hitam menolak digusur. ”Ini kampung halaman kami. Berapapun dibayar, kami menolak digusur. Selain itu, areal ini lahan basah yang penting untuk konservasi lingkungan,” kata mereka.

Leah pun merekam jejak historis kawasan itu. Mengapa penting dipertahankan sebagai lahan basah. Dan apa saja makhluk-makhluk hidup yang bertempat tinggal di sana dan patut mendapat perlindungan. Ia mengutip warga setempat yang mencintai kampung halaman mereka. Menggali kilasan memori mereka.

Leah juga memadu potongan-potongan berita surat kabar, plus riset mendalam tentang peta dan historis daerah setempat.

Lantas… tak ingin dituding berat sebelah, laiknya jurnalis andal, Leah juga mengutip statement walikota setempat, anggota dewan, dan pihak pengembang yang ingin membangun estate di kawasan itu, tentang ’pentingnya pembangunan dilaksanakan, dan apa manfaatnya bagi warga Turkey Creek.

Statement ’pro pembangunan’ ini kemudian mendapat kontrastatement ’cerdas’ dari warga.

Foto: Dame/sumutpos.co
Leah Mahan menjawab pertanyaan tentang filmnya yang berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek, usai ditayangkan di rumah Wakil Konsul AS di Medan, Selasa (21/4).

Sungguh film yang menarik. Penonton mendapat kutipan statement cerdas dari kedua belah pihak yang ’bertikai’, dan bebas membela pihak yang mana pun. Meski, tentu saja sedari awal penonton sudah digiring untuk lebih pro Turkey Creek.

Dari film tersebut terungkap ’kesamaan’ karakter pejabat di negeri itu dengan di negeri kita. Yaitu: lebih berpihak pada pemodal besar dibanding wong cilik. Modusnya pun mirip, pura-pura tidak tau bahwa masyarakat kecil kerap dirugikan dari pembangunan yang kerap tidak mengedepankan aspek lingkungan.

Bahkan beberapa sindiran halus berhasil direkam Leah. Misalnya, ia mengutip iklan pariwisata yang terus kampanye menarik turis berkunjung ke pantai-pantai Missisipi, di tengah perjuangan masyarakat mempertahankan lingkungan mereka tetap hijau.

Foto: Dame/sumutpos.co
Leah Mahan menjawab pertanyaan tentang filmnya yang berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek, usai ditayangkan di rumah Wakil Konsul AS di Medan, Selasa (21/4).

Ia juga menyindir media lewat seorang warga yang berkata: ”Media tidak tertarik dengan pesawat yang berhasil mendarat dengan selamat. Mereka lebih tertarik pada pesawat yang mengalami kecelakaan.”

Film terus bergulir dengan perjuangan Derrick dan para tetangganya melawan kepentingan politisi dan korporat, serta menghadapi cobaan berupa badai Katrina dan bencana tumpahnya minyak BP di Pantai Missisipi. Endingnya menyiratkan: perjuangan masih terus berlanjut.

Film dokumenter yang memperoleh penghargaan Outstanding Directorial Achievement (Pencapaian Penyutradaraan Luar Biasa) ini ditayangkan di Medan oleh Konsulat AS dalam kegiatan American Film Showcase (AFS). Film ini telah diputar tadi pagi di Auditorium Unimed. Juga akan diputar nanti malam di Pendopo Lapangan Medeka dimulai pukul 20.00, dipadu diskusi. Gratis dan terbuka untuk umum.

Kemudian Kamis (23/4) besok malam akan ditayangkan di Auditorium Kantor Wali Kota Banda Aceh. Dan Jumat (24/4), diputar di UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Banda Aceh.

Konsul AS, Y Robert Ewing mengatakan, sangat senang dapat membawa AFS ke Medan dan Banda Aceh. ”Film Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek menginspirasi gerakan lingkungan hidup demi kebaikan komunitas di seluruh dunia. Leah membawakan inspirasi tersebut bagi kita,” katanya. (mea)

Exit mobile version