MEDAN- Proyek penggalian jalan yang bertujuan untuk meningkatkan fasilitas kehidupan warga, ternyata malah menimbulkan dampak yang kurang baik. Proyek pembangunan saluran air limbah, saluran air hujan, dan penanaman kabel optik di jalan-jalan yang pelaksanaannya kurang diawasi malah justru mengganggu aktivitas masyarakat.
Kondisi jalan setelah diadakannya proyek penggalian pun tidak menjadi lebih baik. Setidaknya itulah yang terjadi sejak 1 (satu) tahun belakangan ini di Kota Medan. Bekas penggalian pipa di badan jalan pada pelbagai ruas di Kota Medan sampai kini masih dibiarkan kupak-kapik. Pemborong dan instansi berwenang dalam proyek pembangunan saluran air limbah belum melakukan perbaikan bekas galian sebagaimana mestinya.
Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi menilai, kondisi itu sudah cukup meresahkan masyarakat. Sisa material proyek yang dibiarkan berserakan di pinggir jalan dapat membahayakan pengguna jalan, khususnya pengendara motor, pejalan kaki atau mobil.
“Pengembalian kondisi jalan setelah diselesaikan proyek malah belum disentuh. Jalan menjadi cepat ambles, dan becek di mana-mana khususnya pada musim hujan seperti sekarang. Jika panas, abu menyeruak. Hal ini akan mengganggu perjalanan dari para pengguna jalan,” kata Farid.
Farid menilai, kontraktor seenaknya memotong ruas jalan yang ada dengan cara melakukan pengalian dan pemasangan pipa maupun kabel di wilayah milik jalan, padahal itu melanggar hukum. “Secara normatif, badan atau seseorang melakukan pemotongan ruas jalan aspal, otomatis melanggar UU Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan,” papar Farid.
Pengguna jalan lanjut Farid, bisa menuntut para penyelenggara jalan jika terjadi kecelakaan akibat jalan rusak. Dalam hal ini adalah pemborong (swasta) dan pemerintah Kota Medan. “Ketentuan itu dituangkan dalam Pasal 24 ayat 1 UU No. 22 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas,” katanya.
Kata Farid, bila penyelenggara jalan tidak memasang tanda pada jalan rusak, maka ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 24 ayat (2) diatur dalam Pasal 273 ayat (4), sehingga penyelenggara jalan terancam pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp1,5 juta. “Jika penyelenggara jalan tidak segera memperbaiki kerusakan dan mengakibatkan muncul-nya korban, maka ada ancaman sanksi pidana. Jika korban mengalami luka ringan atau kerusakan kendaraan, ancaman hukumannya paling lama 6 bulan penjara atau denda paling banyak Rp12 juta.
Jika korban mengalami luka berat, penyelenggara jalan bisa terancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp24 juta. Jika korban sampai meninggal dunia, maka penyelenggara terancam penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp120 juta (vide Pasal 273),” katanya. (mag-6/ila)