33 C
Medan
Thursday, August 22, 2024

Antara Overtreatment dan Kecurangan Rumah Sakit, dengan Kerugian Pasien serta Kepercayaan Publik yang Runtuh

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Overtreatment dan fraud, alias kecurangan, pada layanan kesehatan bukan hanya berdampak buruk bagi pasien, tapi juga jadi bentuk kerugian besar yang diderita badan pelayanan kesehatan, termasuk asuransi kesehatan. Overtreatment serta fraud yang dilakukan rumah sakit, juga berdampak semakin berkurangnya kepercayaan publik, dalam hal ini pasien, terhadap pelayanan kesehatan nasional.

Sehingga tak jarang banyak diketahui masyarakat memilih berobat ke luar negeri, yang berakibat devisa negara pun menguap hingga triliunan Rupiah. Bahkan, berdasarkan hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat tiga rumah sakit yang ditemukan berlaku curang, hingga berujung kepada tindakan tegas, yakni pemutusan pelayanan BPJS.

Hal ini dipaparkan Anggota Komisi 9 DPR RI Rahmad Handoyo, pada Diskusi Investortrust Power Talk Health Series, yang dilaksanakan secara hybrid, dengan tema “Menyiasati Overtreatment pada Layanan Kesehatan” di Hotel Aryaduta Medan, Kamis (22/8).

“Kita harus mengedukasi masyarakat tentang bahaya ini, sekaligus mengawasi pihak penyedia layanan kesehatan di Tanah Air. Perlu diingat, fraud dan overtreatment, termasuk tenaga layanan kesehatan yang bekerja sama dengan industri farmasi saat memberikan layanan kesehatan, bisa dipidanakan,” ugkap Rahmad.

Rahmad juga mengatakan, overtreatment terjadi ketika pasien menerima pengobatan yang tidak diperlukan, yang dapat membahayakan kesehatan mereka.

“Ini sering terjadi akibat ketidakpahaman publik, atau di lain sisi  jadi motivasi finansial dari penyedia layanan kesehatan,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, sejatinya telah tersedia sistem anti-fraud dan overtreatment pada layanan fasilitas kesehatan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, telah menerbitkan Permenkes No 36 Tahun 2015, tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti-fraud dan overtreatment di layanan kesehatan Indonesai.

Peraturan menteri ini, menurut Rahmad, telah mencakup kegiatan-kegiatan, seperti membangun kesadaran, pelaporan, pendeteksian, investigasi, hingga pemberian sanksi. Namun dia menyebutkan, ada sejumlah faktor yang membuat kontrol atas fraud di layanan kesehatan sulit dicegah.

Seperti, fraud hanya terlihat ketika dilakukan deteksi, dan seringkali hanya mewakili sebagian kecil dari kecurangan yang dilakukan. Indikator kinerja layanan kesehatan yang tersedia juga menurutnya masih ambigu, dan terkait belum jelasnya apa yang disebut keberhasilan pelaksanaan fraud control plan. Upaya kontrol atas tindakan fraud pun terbentur pada banyaknya data yang harus diolah di tengah keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

“Penindakan fraud juga umumnya bersifat tradisional. Kekuatan ancaman sanksi fraud baru terlihat dari penangkapan pelaku dan beratnya sanksi  yang dijatuhkan bagi pelaku. Sementara pihak berwenang terlalu percaya diri dengan model kontrol fraud baru. Dan pencegahan fraud seringkali hanya dialamatkan pada bentuk fraud yang sederhana,” tutur Rahmad.

Dalam kesempatan yang sama, motivator hidup sehat, dr Handrawan Nadesul menuturkan, di luar fraud dan overtreatment yang terjadi, terdapat sejumlah faktor yang berpotensi merugikan pihak pasien sebagai konsumen layanan kesehatan.

“Faktor itu, yakni terlalu lebarnya competency gap antara pasien dan dokter. Berikutnya, attitude pada dokter yang disebut tidak mengedepankan ahlak yang baik, tak taat hukum, dan mengabaikan etika. Selanjutnya adalah kapasitas pada profesi dokter, karena seorang dokter harus terus meningkatkan kecakapannya dengan terus melakukan updating ilmu secara berkelanjutan,” jelas dokter yang kini kerap dikenal sebagai sastrawan tersebut.

Terkait competency gap antara pasien dan dokter, membuat otoritas profesi dokter nyaris tak terbatas. Sehingga apapun yang disampaikan dokter kerap dipatuhi pasien.

“Untuk itu, dibutuhkan edukasi bagi pasien atau masyarakat, agar mereka memiliki wawasan medis yang lebih baik, dengan penyuluhan lewat media massa, sehingga masyarakat pasien sadar, mereka memiliki hak untuk bertanya seputar layanan kesehatan yang diterimanya,” kata Handrawan.

Edukasi ini, lanjut Handrawan, harus diikuti dasar regulasi untuk audit, termasuk membuka peluang didapatnya second opinion bagi pasien.

Sepakat dengan Handrawan, praktisi medis dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP), dr Rini MARS, menyebutkan, perlu dibangun sebuah komunikasi dua arah antara pasien dan dokter, serta membuka ruang seluasnya bagi pertanyaan dari para pasien.

“Sementara itu, pasien juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang kondisi kesehatannya, serta memahami setiap perawatan yang mereka terima dari dokter, menyimpan dengan baik setiap catatan medikal mereka, dan mengkaji secara detil setiap tagihan medis yang mereka terima,” beber Rini.

Untuk bisa meningkatkan pemahaman pasien soal layanan kesehatan, tentunya dibutuhkan peningkatan literasi kesehatan, yang menjadi tanggung jawab bersama, tak cuma dari pemerintah dan kalangan medis semata.

Mengutip sebuah pemberitaan, Rini menuturkan, biaya layanan kesehatan di Indonesia mengalami kenaikan 13,6 perswn secara tahunan di 2023, lebih tinggi dari rerata negara-negara Asia, yang sebesar 11,5 persen.

“Tingginya biaya medis ini, satu di antaranya disebabkan overuse of care atau biasa dikenal dengan overtreatment. Kemudian, ,rendahnya kesadaran untuk hidup sehat, serta rendahnya layanan yang mengarah pada pencegahan penyakit,” tuturnya.

Masih pada kesempatan yang sama, Primus Dorimulu, Chief Excutive Officer PT Investortrust Indonesia Sejahtera, selaku publisher Investortrust.id, menyampaikan, penting untuk meningkatkan literasi kesehatan.

“Kita sudah terbantu dengan digitalisasi kesehatan, memahami setiap informasi yang bisa didapatkan lewat sejumlah laman informasi kesehatan digital. Masih banyak yang belum meningkatkan literasi kesehatan mereka, dan ajang diskusi ini merupakan upaya Investortrust.id untuk ikut meningkatkan literasi publik terkait layanan kesehatan. Yang pada ujungnya akan mencegah terjadinya overtreatment yang berpotensi menjadi sebuah fraud,” pungkas Primus. (saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Overtreatment dan fraud, alias kecurangan, pada layanan kesehatan bukan hanya berdampak buruk bagi pasien, tapi juga jadi bentuk kerugian besar yang diderita badan pelayanan kesehatan, termasuk asuransi kesehatan. Overtreatment serta fraud yang dilakukan rumah sakit, juga berdampak semakin berkurangnya kepercayaan publik, dalam hal ini pasien, terhadap pelayanan kesehatan nasional.

Sehingga tak jarang banyak diketahui masyarakat memilih berobat ke luar negeri, yang berakibat devisa negara pun menguap hingga triliunan Rupiah. Bahkan, berdasarkan hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat tiga rumah sakit yang ditemukan berlaku curang, hingga berujung kepada tindakan tegas, yakni pemutusan pelayanan BPJS.

Hal ini dipaparkan Anggota Komisi 9 DPR RI Rahmad Handoyo, pada Diskusi Investortrust Power Talk Health Series, yang dilaksanakan secara hybrid, dengan tema “Menyiasati Overtreatment pada Layanan Kesehatan” di Hotel Aryaduta Medan, Kamis (22/8).

“Kita harus mengedukasi masyarakat tentang bahaya ini, sekaligus mengawasi pihak penyedia layanan kesehatan di Tanah Air. Perlu diingat, fraud dan overtreatment, termasuk tenaga layanan kesehatan yang bekerja sama dengan industri farmasi saat memberikan layanan kesehatan, bisa dipidanakan,” ugkap Rahmad.

Rahmad juga mengatakan, overtreatment terjadi ketika pasien menerima pengobatan yang tidak diperlukan, yang dapat membahayakan kesehatan mereka.

“Ini sering terjadi akibat ketidakpahaman publik, atau di lain sisi  jadi motivasi finansial dari penyedia layanan kesehatan,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, sejatinya telah tersedia sistem anti-fraud dan overtreatment pada layanan fasilitas kesehatan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, telah menerbitkan Permenkes No 36 Tahun 2015, tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti-fraud dan overtreatment di layanan kesehatan Indonesai.

Peraturan menteri ini, menurut Rahmad, telah mencakup kegiatan-kegiatan, seperti membangun kesadaran, pelaporan, pendeteksian, investigasi, hingga pemberian sanksi. Namun dia menyebutkan, ada sejumlah faktor yang membuat kontrol atas fraud di layanan kesehatan sulit dicegah.

Seperti, fraud hanya terlihat ketika dilakukan deteksi, dan seringkali hanya mewakili sebagian kecil dari kecurangan yang dilakukan. Indikator kinerja layanan kesehatan yang tersedia juga menurutnya masih ambigu, dan terkait belum jelasnya apa yang disebut keberhasilan pelaksanaan fraud control plan. Upaya kontrol atas tindakan fraud pun terbentur pada banyaknya data yang harus diolah di tengah keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

“Penindakan fraud juga umumnya bersifat tradisional. Kekuatan ancaman sanksi fraud baru terlihat dari penangkapan pelaku dan beratnya sanksi  yang dijatuhkan bagi pelaku. Sementara pihak berwenang terlalu percaya diri dengan model kontrol fraud baru. Dan pencegahan fraud seringkali hanya dialamatkan pada bentuk fraud yang sederhana,” tutur Rahmad.

Dalam kesempatan yang sama, motivator hidup sehat, dr Handrawan Nadesul menuturkan, di luar fraud dan overtreatment yang terjadi, terdapat sejumlah faktor yang berpotensi merugikan pihak pasien sebagai konsumen layanan kesehatan.

“Faktor itu, yakni terlalu lebarnya competency gap antara pasien dan dokter. Berikutnya, attitude pada dokter yang disebut tidak mengedepankan ahlak yang baik, tak taat hukum, dan mengabaikan etika. Selanjutnya adalah kapasitas pada profesi dokter, karena seorang dokter harus terus meningkatkan kecakapannya dengan terus melakukan updating ilmu secara berkelanjutan,” jelas dokter yang kini kerap dikenal sebagai sastrawan tersebut.

Terkait competency gap antara pasien dan dokter, membuat otoritas profesi dokter nyaris tak terbatas. Sehingga apapun yang disampaikan dokter kerap dipatuhi pasien.

“Untuk itu, dibutuhkan edukasi bagi pasien atau masyarakat, agar mereka memiliki wawasan medis yang lebih baik, dengan penyuluhan lewat media massa, sehingga masyarakat pasien sadar, mereka memiliki hak untuk bertanya seputar layanan kesehatan yang diterimanya,” kata Handrawan.

Edukasi ini, lanjut Handrawan, harus diikuti dasar regulasi untuk audit, termasuk membuka peluang didapatnya second opinion bagi pasien.

Sepakat dengan Handrawan, praktisi medis dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP), dr Rini MARS, menyebutkan, perlu dibangun sebuah komunikasi dua arah antara pasien dan dokter, serta membuka ruang seluasnya bagi pertanyaan dari para pasien.

“Sementara itu, pasien juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang kondisi kesehatannya, serta memahami setiap perawatan yang mereka terima dari dokter, menyimpan dengan baik setiap catatan medikal mereka, dan mengkaji secara detil setiap tagihan medis yang mereka terima,” beber Rini.

Untuk bisa meningkatkan pemahaman pasien soal layanan kesehatan, tentunya dibutuhkan peningkatan literasi kesehatan, yang menjadi tanggung jawab bersama, tak cuma dari pemerintah dan kalangan medis semata.

Mengutip sebuah pemberitaan, Rini menuturkan, biaya layanan kesehatan di Indonesia mengalami kenaikan 13,6 perswn secara tahunan di 2023, lebih tinggi dari rerata negara-negara Asia, yang sebesar 11,5 persen.

“Tingginya biaya medis ini, satu di antaranya disebabkan overuse of care atau biasa dikenal dengan overtreatment. Kemudian, ,rendahnya kesadaran untuk hidup sehat, serta rendahnya layanan yang mengarah pada pencegahan penyakit,” tuturnya.

Masih pada kesempatan yang sama, Primus Dorimulu, Chief Excutive Officer PT Investortrust Indonesia Sejahtera, selaku publisher Investortrust.id, menyampaikan, penting untuk meningkatkan literasi kesehatan.

“Kita sudah terbantu dengan digitalisasi kesehatan, memahami setiap informasi yang bisa didapatkan lewat sejumlah laman informasi kesehatan digital. Masih banyak yang belum meningkatkan literasi kesehatan mereka, dan ajang diskusi ini merupakan upaya Investortrust.id untuk ikut meningkatkan literasi publik terkait layanan kesehatan. Yang pada ujungnya akan mencegah terjadinya overtreatment yang berpotensi menjadi sebuah fraud,” pungkas Primus. (saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/