25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

PP 78 Rugikan Buruh, Kecam Menaker dan Ancam Gugat ke PTUN

Ilustrasi UMP

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penolakan terhadap penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen terus disuarakan elemen buruh. Bahkan untuk menolak kebijakan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) ini, para buruh bakal melakukan aksi turun kejalan dan siap melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia melalui Sekretaris Wilayah I Sumatera DPP (K), Arsula Gultom SH menegaskan, mereka tetap menolak tegas kenaikan UMP 8,03 persen. Menurutnya, penetapan itu membangkitkan kembali rezim upah murah yang mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015.

“Kita minta, agar PP Nomor 78 Tahun 2015 segera dicabut, karena dalam peraturan itu, Tripartit penentuan upah hilang. Penetapan itu juga untuk membangkitkan kembali rezim upah murah. Kalau pemerintah tetap berkeras menetapkan UMP 8,03 persen, kita akan melakukan gugatan ke PTUN,” tegas Arsula kepada wartawan, Minggu (21/10).

Dijelaskan aktivis buruh ini, pihaknya masih menagih janji Presiden Jokowi pada kampanyenya 2014 silam, kesejahteraan terhadap buruh yang dijanjikan belum direalisasikan. Karena, kebijakan Menaker telah merugikan buruh secara nasional dan di setiap daerah.

“Secara umum memang naik, tapi kenaikan itu keliru dan merugikan buruhn
Artinya, buruh tetap saja tidak sejahtera. Secara hukum PP 78/2015 telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” beber Arsula.

Dijabarkan Arsula, permsalahan kenaikan UMP pada tahun lalu, telah diputuskan MA nomor 120 K/TUN/2018 tentang ditolaknya kasasi putusan kasasi Mahkama Agung RI atas Gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap Gubernur Sumatera Utara tentang upah minimum berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015.

Dengan demikian, gubernur se-Indonesia tidak serta merta menerima keputusan Menaker untuk mengumumkan kenaikan UMP berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015. Karena, UMP 8,03 persen tidak masuk dalam tahapan survei pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Artinya, kata Arsula, pengupahan bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, karena kenaikan UMP untuk 2019 sangat rendah dibandingkan kenaikan UMP pada 2015 ke 2016. Kenaikan UMP dari 2015 ke 2016 yang menggunakan formula perhitungan pertama kali rata-rata sebesar 11,5 persen di berbagai wilayah Indonesia.

Kemudian di 2017, Menaker kembali menaikan UMP sebesar 8,25 persen, kenaikan itu didapat dengan asumsi inflasi 3,07 peren dan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,18 persen. Selanjutnya kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen dihitung berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan PDP) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Rinciannya, inflasi nasional sebesar 3,72 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,98 persen.

Sehingga pada 2019, Menaker hanya menaikkan UMP sebesar 8,03 persen, kenaikan dihitung dari inflasi nasional 2,88 persen ditambah pertumbuhan PDB sebesar 5,15 persen. “Perincian ini yang kita tolak, karena mengacu pada inflasi nasional, harusnya mengacu pada inflasi daerah. Kita lihat sekarang, inflasi nasional turun. Dampaknya, kenaikan upah rendah. Kita tetap ingin kenaikan upah mengacu pada Undang-undang 13 tahun 2003,” jelas Arsula.

Apabila pemerintah mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ungkap Arsula, buruh akan memperoleh kenaikan UMP berkisar 15 hingga 20 persen. “Kita juga mengecam Menaker yang telah mengeluarkan surat edaran kepada kepala daerah, agar mengumumkan UMP itu. Apalagi Menaker telah mengintervensi kepala daerah dengan sanksi pemberhentian.

Ini sudah salah, tidak ada kaitan penetapan upah minimum dengan pencopotan kepada daerah. Kami menilai surat edaran Menaker sangat provokatif dalam tahun politik ini, dengan memancing suasana memanasnya suhu politik menjelang Pilpres dan Pileg sehingga menimbulkan tidak kondusif di kalangan buruh di seluruh Indonesia,” tegas Arsula.

Ditegaskannya, sebagai bentuk penolakan kebijakan dari kenaikan UMP yang akan diumumkan pada 1 November 2018, seluruh elemen buruh se Indonesia akan melakukan penolakan besar-besaran dengan melakukan demo turun ke jalan. “Kalau itu tetap diberlakukan, kami akan lakukan gugatan ke PTUN dan melakukan orasi ke jalan, kebijakan itu telah mensengsarakan nasib buruh,” cetus Arsula.

Ilustrasi UMP

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penolakan terhadap penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen terus disuarakan elemen buruh. Bahkan untuk menolak kebijakan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) ini, para buruh bakal melakukan aksi turun kejalan dan siap melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia melalui Sekretaris Wilayah I Sumatera DPP (K), Arsula Gultom SH menegaskan, mereka tetap menolak tegas kenaikan UMP 8,03 persen. Menurutnya, penetapan itu membangkitkan kembali rezim upah murah yang mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015.

“Kita minta, agar PP Nomor 78 Tahun 2015 segera dicabut, karena dalam peraturan itu, Tripartit penentuan upah hilang. Penetapan itu juga untuk membangkitkan kembali rezim upah murah. Kalau pemerintah tetap berkeras menetapkan UMP 8,03 persen, kita akan melakukan gugatan ke PTUN,” tegas Arsula kepada wartawan, Minggu (21/10).

Dijelaskan aktivis buruh ini, pihaknya masih menagih janji Presiden Jokowi pada kampanyenya 2014 silam, kesejahteraan terhadap buruh yang dijanjikan belum direalisasikan. Karena, kebijakan Menaker telah merugikan buruh secara nasional dan di setiap daerah.

“Secara umum memang naik, tapi kenaikan itu keliru dan merugikan buruhn
Artinya, buruh tetap saja tidak sejahtera. Secara hukum PP 78/2015 telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” beber Arsula.

Dijabarkan Arsula, permsalahan kenaikan UMP pada tahun lalu, telah diputuskan MA nomor 120 K/TUN/2018 tentang ditolaknya kasasi putusan kasasi Mahkama Agung RI atas Gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap Gubernur Sumatera Utara tentang upah minimum berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015.

Dengan demikian, gubernur se-Indonesia tidak serta merta menerima keputusan Menaker untuk mengumumkan kenaikan UMP berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015. Karena, UMP 8,03 persen tidak masuk dalam tahapan survei pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Artinya, kata Arsula, pengupahan bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, karena kenaikan UMP untuk 2019 sangat rendah dibandingkan kenaikan UMP pada 2015 ke 2016. Kenaikan UMP dari 2015 ke 2016 yang menggunakan formula perhitungan pertama kali rata-rata sebesar 11,5 persen di berbagai wilayah Indonesia.

Kemudian di 2017, Menaker kembali menaikan UMP sebesar 8,25 persen, kenaikan itu didapat dengan asumsi inflasi 3,07 peren dan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,18 persen. Selanjutnya kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen dihitung berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan PDP) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Rinciannya, inflasi nasional sebesar 3,72 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,98 persen.

Sehingga pada 2019, Menaker hanya menaikkan UMP sebesar 8,03 persen, kenaikan dihitung dari inflasi nasional 2,88 persen ditambah pertumbuhan PDB sebesar 5,15 persen. “Perincian ini yang kita tolak, karena mengacu pada inflasi nasional, harusnya mengacu pada inflasi daerah. Kita lihat sekarang, inflasi nasional turun. Dampaknya, kenaikan upah rendah. Kita tetap ingin kenaikan upah mengacu pada Undang-undang 13 tahun 2003,” jelas Arsula.

Apabila pemerintah mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ungkap Arsula, buruh akan memperoleh kenaikan UMP berkisar 15 hingga 20 persen. “Kita juga mengecam Menaker yang telah mengeluarkan surat edaran kepada kepala daerah, agar mengumumkan UMP itu. Apalagi Menaker telah mengintervensi kepala daerah dengan sanksi pemberhentian.

Ini sudah salah, tidak ada kaitan penetapan upah minimum dengan pencopotan kepada daerah. Kami menilai surat edaran Menaker sangat provokatif dalam tahun politik ini, dengan memancing suasana memanasnya suhu politik menjelang Pilpres dan Pileg sehingga menimbulkan tidak kondusif di kalangan buruh di seluruh Indonesia,” tegas Arsula.

Ditegaskannya, sebagai bentuk penolakan kebijakan dari kenaikan UMP yang akan diumumkan pada 1 November 2018, seluruh elemen buruh se Indonesia akan melakukan penolakan besar-besaran dengan melakukan demo turun ke jalan. “Kalau itu tetap diberlakukan, kami akan lakukan gugatan ke PTUN dan melakukan orasi ke jalan, kebijakan itu telah mensengsarakan nasib buruh,” cetus Arsula.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/