25 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Gelar Diskusi Fotografi Alam Bebas, PFI Medan Kampanyekan Konservasi Lingkungan

DISKUSI:
Ketua PFI Medan Rahmat Suryadi pada diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu, Jalan Gatot Subroto Medan, 
Minggu (20/10).
DISKUSI: Ketua PFI Medan Rahmat Suryadi pada diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu, Jalan Gatot Subroto Medan, Minggu (20/10).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan dan Consina Store Gatsu, menggelar diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu, Jalan Gatot Subroto Medan, Minggu (20/10) lalu.

Hadir sebagai narasumber, pewarta foto lepas Sutanta Aditya, dan fotografer sekaligus penulis buku Regina Safri, yang membagikan ilmu teknik-teknik memotret di alam bebas.

Kegiatan yang diikuti lebih dari 120 peserta dari pewarta foto, fotografer, pecinta alam, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan mahasiswa ini, berlangsung ceria dalam kawalan Fotografer Harian Analisa Ferdy Siregar, sebagai moderator, dan Youtuber Wak Kombur sebagai master of ceremony (MC).

Fotografi alam lepas (wild photography) bukan sekadar hasrat menangkap momen dan keindahan alam beserta keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya. Namun melalui itu, fotografer juga dapat berpartisipasi dalam kampanye pelestarian lingkungann

“Konservasi hutan, khususnya Sumatera dan Kalimantan, berdampak pada penduduk setempat, termasuk primata yang dilindungi, seperti orangutan,” ungkap Aditya, mengawali diskusi fotografi yang dimulai pukul 15.00 WIB ini.

Pria yang akrab disapa Adit itu, mengatakan, minimnya populasi orangutan saat ini, karena maraknya eksplorasi perusahaan yang didominasi oleh perkebunan dan pertambangan.

Pemenang Grand Prize The Shoot for Sustainability Photo Competition by National Geographic Asia and Temasek ini, memberikan tips agar sebelum melakukan tugas fotografi, fotografer sebaiknya terlebih dulu melakukan riset.

“Untuk mengetahui kerusakan alam yang terjadi di suatu wilayah, kita bisa memanfaatkan satelit NASA. Dengan satelit ini, saya bisa mengetahui kerusakan lahan dan situasi terkini, sehingga tema yang didapat lebih terarah dan spesifik,” jelasnya.

Adit menambahkan, memanfaatkan aplikasi juga sebagai satu upaya untuk mengetahui musim di lokasi yang dituju bagi pekerja alam bebas. Khususnya untuk mengantisipasi gear atau alat apa saja yang dibutuhkan saat memotret di musim hujan.

Hal menarik lainnya, diungkapkan oleh Regina. Fotografer perempuan yang akrab disapa Rere ini, menjawab pertanyaan seorang mahasiswa, terkait pendekatan ke suku pedalaman, serta memotret alam bebas. Dia mengatakan, hal itu tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang jatuh cinta. “Pendekatannya seperti orang berpacaran, bisa cepat, bisa lambat. Intinya kita harus tekun dan sabar, sampai tujuan kita tercapai,” ujarnya.

Ketua PFI Medan, Rahmat Suryadi menambahkan, fotografi alam bebas tidak semua orang bisa melakukannya. Ini membutuhkan tekad sekuat baja, bagi fotografer untuk melewati segala rintangan di alam bebas yang tidak terprediksi.

“Sebuah kebanggaan, kami PFI memiliki beberapa fotografer andal memotret di alam bebas, seperti Aditya dan Regina. Selain itu, acara ini juga banyak yang sangat antusias, terbukti peserta hadir cukup banyak, serta sesi tanya jawab mengalir antara narasumber dan peserta. Ini membuktikan, fotografi alam bebas cukup banyak peminatnya,” jelasnya.

Kegiatan ini, memberikan suvernir ramah lingkungan, seperti sedotan non plastik, tas outdoors Consina, topi, dan aneka merchandise menarik lainnya. Acara ini juga dihadiri Komunikasi Fasilitator TFCA Sumatera Bambang Saswanda, Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA Sumut, penggiat fotografi dan aktivis lingkungan. Telaksananya kegiatan ini, tidak lepas dari partisipasi PT Inalum dan PT Coca Cola Amatil Indonesia. (rel/saz)

DISKUSI:
Ketua PFI Medan Rahmat Suryadi pada diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu, Jalan Gatot Subroto Medan, 
Minggu (20/10).
DISKUSI: Ketua PFI Medan Rahmat Suryadi pada diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu, Jalan Gatot Subroto Medan, Minggu (20/10).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan dan Consina Store Gatsu, menggelar diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu, Jalan Gatot Subroto Medan, Minggu (20/10) lalu.

Hadir sebagai narasumber, pewarta foto lepas Sutanta Aditya, dan fotografer sekaligus penulis buku Regina Safri, yang membagikan ilmu teknik-teknik memotret di alam bebas.

Kegiatan yang diikuti lebih dari 120 peserta dari pewarta foto, fotografer, pecinta alam, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan mahasiswa ini, berlangsung ceria dalam kawalan Fotografer Harian Analisa Ferdy Siregar, sebagai moderator, dan Youtuber Wak Kombur sebagai master of ceremony (MC).

Fotografi alam lepas (wild photography) bukan sekadar hasrat menangkap momen dan keindahan alam beserta keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya. Namun melalui itu, fotografer juga dapat berpartisipasi dalam kampanye pelestarian lingkungann

“Konservasi hutan, khususnya Sumatera dan Kalimantan, berdampak pada penduduk setempat, termasuk primata yang dilindungi, seperti orangutan,” ungkap Aditya, mengawali diskusi fotografi yang dimulai pukul 15.00 WIB ini.

Pria yang akrab disapa Adit itu, mengatakan, minimnya populasi orangutan saat ini, karena maraknya eksplorasi perusahaan yang didominasi oleh perkebunan dan pertambangan.

Pemenang Grand Prize The Shoot for Sustainability Photo Competition by National Geographic Asia and Temasek ini, memberikan tips agar sebelum melakukan tugas fotografi, fotografer sebaiknya terlebih dulu melakukan riset.

“Untuk mengetahui kerusakan alam yang terjadi di suatu wilayah, kita bisa memanfaatkan satelit NASA. Dengan satelit ini, saya bisa mengetahui kerusakan lahan dan situasi terkini, sehingga tema yang didapat lebih terarah dan spesifik,” jelasnya.

Adit menambahkan, memanfaatkan aplikasi juga sebagai satu upaya untuk mengetahui musim di lokasi yang dituju bagi pekerja alam bebas. Khususnya untuk mengantisipasi gear atau alat apa saja yang dibutuhkan saat memotret di musim hujan.

Hal menarik lainnya, diungkapkan oleh Regina. Fotografer perempuan yang akrab disapa Rere ini, menjawab pertanyaan seorang mahasiswa, terkait pendekatan ke suku pedalaman, serta memotret alam bebas. Dia mengatakan, hal itu tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang jatuh cinta. “Pendekatannya seperti orang berpacaran, bisa cepat, bisa lambat. Intinya kita harus tekun dan sabar, sampai tujuan kita tercapai,” ujarnya.

Ketua PFI Medan, Rahmat Suryadi menambahkan, fotografi alam bebas tidak semua orang bisa melakukannya. Ini membutuhkan tekad sekuat baja, bagi fotografer untuk melewati segala rintangan di alam bebas yang tidak terprediksi.

“Sebuah kebanggaan, kami PFI memiliki beberapa fotografer andal memotret di alam bebas, seperti Aditya dan Regina. Selain itu, acara ini juga banyak yang sangat antusias, terbukti peserta hadir cukup banyak, serta sesi tanya jawab mengalir antara narasumber dan peserta. Ini membuktikan, fotografi alam bebas cukup banyak peminatnya,” jelasnya.

Kegiatan ini, memberikan suvernir ramah lingkungan, seperti sedotan non plastik, tas outdoors Consina, topi, dan aneka merchandise menarik lainnya. Acara ini juga dihadiri Komunikasi Fasilitator TFCA Sumatera Bambang Saswanda, Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA Sumut, penggiat fotografi dan aktivis lingkungan. Telaksananya kegiatan ini, tidak lepas dari partisipasi PT Inalum dan PT Coca Cola Amatil Indonesia. (rel/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/