26 C
Medan
Friday, July 5, 2024

Semangat Ungkap Kebenaran Meskipun Dimusuhi Veteran

Sejumlah media Belanda kini banyak memburu fakta pembantaian yang terjadi di Indonesia. Salah satu yang getol melakukan itu adalah NCRV, TV nasional di Belanda.

Gunawan Sutanto, JPNN

SEPARO INDONESIA: Harry (kiri, pakaian putih) dan Piet (tengah) dari TV NCRV saat wawancara dengan Abdullah, saksi pembantaian di Kebumen. F-GUNAWAN SUTANTO/JAWA POS
SEPARO INDONESIA: Harry (kiri, pakaian putih) dan Piet (tengah) dari TV NCRV saat wawancara dengan Abdullah, saksi pembantaian di Kebumen. F-GUNAWAN SUTANTO/JAWA POS

TIGA pria berkulit putih terlibat pembicaraan serius di sebuah lobi hotel di kawasan Gejayan, Jogjakarta. Satu di antara bule itu adalah Max van der Werff. Dia merupakan peneliti independen yang pernah diwawancarai koran ini pada 20 Oktober 2013.

Max datang lagi ke Indonesia. Dia datang untuk memandu dua kru televisi nasional di Belanda Nederlandse Christelijke Radio Vereniging (NCRV), yakni Piet de Blaauw dan Harry van de Westelaken. Piet mengenalkan diri sebagai verslaggever (reporter) dan Harry sebagai kamerawan untuk acara bernama Altijd Wat.

Ketiganya ternyata membicarakan penyusunan jadwal agar liputan bisa dilakukan efektif dalam beberapa hari. Di sela-sela pembicaran tersebut, tiba-tiba Piet menanyakan kenapa koran ini juga tertarik menelusuri dan mengungkap fakta-fakta pembantaian yang terjadi selama agresi militer.

Piet mengungkapkan itu mungkin karena melihat tidak banyak media di Indonesia yang memberikan porsi besar terhadap kejadian tersebut. “Di Belanda hal-hal semacam ini menjadi berita besar, terlebih setelah terjadinya kasus Rawagede,” ujar Piet yang menjadi reporter sejak 14 tahun silam itu.

Seperti diberitakan Jawa Pos, di kampung Rawagede, Rawamerta, Karawang, terjadi pembantaian masal terhadap penduduk sipil. Dalam kejadian itu, 35 penduduk kampung dibunuh tanpa alasan jelas. Oleh sebuah lembaga di Belanda yang bernama KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda), peristiwa tersebut akhirnya diperkarakan.

Pengadilan Den Haag akhirnya memutus Belanda bersalah. Pemerintah Belanda dinyatakan harus bertanggung jawab terhadap para janda yang suaminya dibunuh. Selain itu, negeri di barat laut Eropa itu harus meminta maaf. Hal tersebut sudah dilakukan pada September 2011.

Piet pun mengaku bukan seketika itu tertarik dengan sejarah perang di Indonesia. Pria yang pernah meliput berbagai konflik di sejumlah negara tersebut mengaku sudah enam tahun mempelajari perang di Indonesia.

“Apa yang saya rasakan sama dengan para peneliti dan jurnalis di sana. Bahkan, pasti ada kejadian lain di luar Rawagede. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menelusurinya,” papar dia. Perbincangan antara koran ini dan kru televisi itu kemudian banyak berlanjut keesokan harinya, saat perjalanan menuju ke tempat-tempat pembantaian.

Beberapa tempat yang ditelusuri adalah Kebumen dan Temanggung. Dalam perjalanan ke kota-kota itu, Piet dan Harry banyak berbagi cerita. Mulai hal-hal serius sampai bercanda yang juga ada kaitannya dengan sejarah Indonesia. “Saya di mobil ini serasa minoritas. Saya murni berasal dari Belanda. Kalian itu separo Indonesia karena memiliki hubungan darah dengan Indonesia,” gurau Piet siang itu. Ternyata gurauan tersebut merujuk pada nenek moyang kedua Londo tersebut.

Max merupakan keturunan Belanda-Indonesia. Kakeknya adalah anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang ditugaskan di Indonesia. Saat bertugas di Indonesia, kakeknya menikah dengan warga Indonesia dan lahirlah ayah Max.

Karena itulah, Piet mengatakan bahwa Max setengah Indonesia. Sebab, ayahnya lahir di Indonesia. Hal yang sama dialami Harry. Mbahnya merupakan tentara KNIL yang menikah dengan warga lokal keturunan Tionghoa. Nah, ayah Harry lahir di Kebumen.

“Keluarga saya dulu ada yang tinggal di Banjarmasin dan Jawa. Ibu saya bahkan masih bisa memasak makanan Jawa, salah satunya pepes,” kelakar pria plontos itu. Ikatan emosi itu jugalah yang membuat Harry tertarik mengikuti Piet. “Saya sebenarnya pernah ke Indonesia, tapi hanya untuk liburan,” paparnya.

Piet sudah tiga kali datang ke Indonesia dengan misi yang sama. Pertama datang, dia meliput ke Rawagede seusai putusan pengadilan Den Haag keluar.

Kedua, Piet mendatangi sejumlah daerah di Sulawesi Utara untuk membuat dokumentasi pembantaian Westerling. Karya Piet itulah yang sempat dijadikan bahan KUKB untuk melayangkan gugatan ke pemerintah Belanda. Gugatan tersebut akhirnya kembali dimenangi KUKB.

Piet mengatakan, dalam liputan tentang sejarah Belanda, dirinyalah yang kebanyakan mengusulkan kepada sang pimpinan. Dia lantas ditugaskan bersama kamerawan ke Indonesia. “Idenya dari sama, didiskusikan, diterima, dan dibiayai untuk berangkat,” ujar lulusan School voor Journalistiek, Utrecht, itu.

Secara pribadi, Piet mengaku, meski dirinya tidak memiliki ikatan darah dengan Indonesia, kejadian-kejadian itu tetap mengusiknya. “Atas nama keadilan, saya merasa perlu melakukan investigasi untuk melihat dari sisi korban dan saksi yang masih hidup,” ungkapnya.

Selain itu, sebagai orang yang cinta sejarah, dia merasa wajib menyampaikan kebenaran. “Tentunya melalui liputan yang saya buat,” ujarnya. Dia mengaku sangat malu ketika mengetahui fakta yang terjadi saat liputan di Sulawesi terkait dengan pembantaian Westerling.

“Yang membuat saya malu, dulu, ketika saya kecil, banyak mendengar cerita tentang kejahatan Jerman terhadap Belanda. Tapi, ternyata di negeri lain bangsa saya melakukan hal serupa,” tuturnya. Piet mengatakan, meskipun berita itu tidak mengenakkan, pemerintah Belanda tidak pernah melarang ataupun melakukan tindakan perlawanan apa pun.

“Di sana kebebasan pers benar-benar dijalankan. Selama yang disampaikan didasarkan atas kebenaran dan fakta yang kuat, tidak akan terjadi masalah,” jelasnya. Media-media beraliran kanan dan kiri memberikan porsi yang sama terhadap kasus itu.

Dulu memang berita-berita tentang kekejaman Belanda di Indonesia sangat mengusik para veteran. “Ketika itu mereka masih punya tenaga. Jadi, mereka bisa melakukan tindakan penolakan. Tapi, mereka kini sudah terlalu tua sehingga itu tidak terjadi lagi,” paparnya. Menurut dia, penolakan dulu sampai pada tingkat ancaman pembunuhan.

Salah satu bentuk penolakan tersebut, menurut Piet, adalah menekan pemerintah agar tidak membiarkan berita-berita tentang kekejaman perang keluar. Piet mengatakan, Belanda sebenarnya sadar akan tindakan keliru yang pernah dilakukan di Indonesia. Namun, mereka masih sulit meminta maaf karena masih ada sejumlah veteran perang.

“Tekanan dari veteran itu yang menurut saya harus dilawan. Sebagai negara yang menganut demokrasi, pemerintah harus berani meminta maaf,” terang pria kelahiran 3 Mei tersebut.

Piet lantas mengingat tekanan veteran yang begitu kuat ketika ratu Belanda diundang pemerintah Indonesia pada 17 Agustus 1995. Ketika itu veteran menekan ratu agar tidak datang. Namun, ratu akhirnya datang pada 20 Agustus sehingga tidak ada sambutan apa pun dari pemerintah Indonesia. “Itu dianggap hal yang sangat memalukan bagi warga Belanda,” papar pria yang beberapa kali meliput di Afghanistan itu.

Pasca kejadian Rawagede, di Belanda kerap diadakan diskusi terbuka terkait dengan kasus-kasus pembantaian warga sipil selama Belanda berkuasa di Indonesia. Data-data yang diyakini sangat akurat dalam diskusi itu makin menyudutkan para veteran. Sebab, sebagian masyarakat akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan dilakukan para veteran. “Tapi, tidak semua veteran menolak hal tersebut. Beberapa di antara mereka mendukung karena ingin berdamai dengan Tuhan di usia senja,” ungkap Piet.

Herry setuju bahwa tindakan pemerintah yang bersedia meminta maaf atas kejadian Rawagede itu dipengaruhi pemberitaan-pemberitaan media. Karena itu, dia berharap pemerintah melakukan hal yang sama pada kejadian di daerah-daerah lain.

Pendokumentasian Piet dan Harry memang terlihat begitu serius. Misalnya, untuk menggambarkan lingkungan desa, keduanya harus beberapa kali meminta sopir kendaraan yang mereka sewa bolak-balik karena harus mengulang pengambilan gambar.

Begitu pula ketika dia harus mewawancarai saksi yang rata-rata sudah berusia senja. Saking semangatnya, Piet dan Harry bahkan sampai lupa makan siang. Mereka baru ingat saat dalam perjalanan pulang dan hari sudah menjelang malam.

Ketika datang ke Indonesia, Piet sebenarnya baru saja mengalami kecelakaan. Dia menjalani operasi di jari tangan kanan dan tangannya masih harus disangga. Namun, saat syuting, penyangga itu dilepas karena dia harus bisa menggunakan peralatan dengan maksimal. (*)

Sejumlah media Belanda kini banyak memburu fakta pembantaian yang terjadi di Indonesia. Salah satu yang getol melakukan itu adalah NCRV, TV nasional di Belanda.

Gunawan Sutanto, JPNN

SEPARO INDONESIA: Harry (kiri, pakaian putih) dan Piet (tengah) dari TV NCRV saat wawancara dengan Abdullah, saksi pembantaian di Kebumen. F-GUNAWAN SUTANTO/JAWA POS
SEPARO INDONESIA: Harry (kiri, pakaian putih) dan Piet (tengah) dari TV NCRV saat wawancara dengan Abdullah, saksi pembantaian di Kebumen. F-GUNAWAN SUTANTO/JAWA POS

TIGA pria berkulit putih terlibat pembicaraan serius di sebuah lobi hotel di kawasan Gejayan, Jogjakarta. Satu di antara bule itu adalah Max van der Werff. Dia merupakan peneliti independen yang pernah diwawancarai koran ini pada 20 Oktober 2013.

Max datang lagi ke Indonesia. Dia datang untuk memandu dua kru televisi nasional di Belanda Nederlandse Christelijke Radio Vereniging (NCRV), yakni Piet de Blaauw dan Harry van de Westelaken. Piet mengenalkan diri sebagai verslaggever (reporter) dan Harry sebagai kamerawan untuk acara bernama Altijd Wat.

Ketiganya ternyata membicarakan penyusunan jadwal agar liputan bisa dilakukan efektif dalam beberapa hari. Di sela-sela pembicaran tersebut, tiba-tiba Piet menanyakan kenapa koran ini juga tertarik menelusuri dan mengungkap fakta-fakta pembantaian yang terjadi selama agresi militer.

Piet mengungkapkan itu mungkin karena melihat tidak banyak media di Indonesia yang memberikan porsi besar terhadap kejadian tersebut. “Di Belanda hal-hal semacam ini menjadi berita besar, terlebih setelah terjadinya kasus Rawagede,” ujar Piet yang menjadi reporter sejak 14 tahun silam itu.

Seperti diberitakan Jawa Pos, di kampung Rawagede, Rawamerta, Karawang, terjadi pembantaian masal terhadap penduduk sipil. Dalam kejadian itu, 35 penduduk kampung dibunuh tanpa alasan jelas. Oleh sebuah lembaga di Belanda yang bernama KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda), peristiwa tersebut akhirnya diperkarakan.

Pengadilan Den Haag akhirnya memutus Belanda bersalah. Pemerintah Belanda dinyatakan harus bertanggung jawab terhadap para janda yang suaminya dibunuh. Selain itu, negeri di barat laut Eropa itu harus meminta maaf. Hal tersebut sudah dilakukan pada September 2011.

Piet pun mengaku bukan seketika itu tertarik dengan sejarah perang di Indonesia. Pria yang pernah meliput berbagai konflik di sejumlah negara tersebut mengaku sudah enam tahun mempelajari perang di Indonesia.

“Apa yang saya rasakan sama dengan para peneliti dan jurnalis di sana. Bahkan, pasti ada kejadian lain di luar Rawagede. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menelusurinya,” papar dia. Perbincangan antara koran ini dan kru televisi itu kemudian banyak berlanjut keesokan harinya, saat perjalanan menuju ke tempat-tempat pembantaian.

Beberapa tempat yang ditelusuri adalah Kebumen dan Temanggung. Dalam perjalanan ke kota-kota itu, Piet dan Harry banyak berbagi cerita. Mulai hal-hal serius sampai bercanda yang juga ada kaitannya dengan sejarah Indonesia. “Saya di mobil ini serasa minoritas. Saya murni berasal dari Belanda. Kalian itu separo Indonesia karena memiliki hubungan darah dengan Indonesia,” gurau Piet siang itu. Ternyata gurauan tersebut merujuk pada nenek moyang kedua Londo tersebut.

Max merupakan keturunan Belanda-Indonesia. Kakeknya adalah anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang ditugaskan di Indonesia. Saat bertugas di Indonesia, kakeknya menikah dengan warga Indonesia dan lahirlah ayah Max.

Karena itulah, Piet mengatakan bahwa Max setengah Indonesia. Sebab, ayahnya lahir di Indonesia. Hal yang sama dialami Harry. Mbahnya merupakan tentara KNIL yang menikah dengan warga lokal keturunan Tionghoa. Nah, ayah Harry lahir di Kebumen.

“Keluarga saya dulu ada yang tinggal di Banjarmasin dan Jawa. Ibu saya bahkan masih bisa memasak makanan Jawa, salah satunya pepes,” kelakar pria plontos itu. Ikatan emosi itu jugalah yang membuat Harry tertarik mengikuti Piet. “Saya sebenarnya pernah ke Indonesia, tapi hanya untuk liburan,” paparnya.

Piet sudah tiga kali datang ke Indonesia dengan misi yang sama. Pertama datang, dia meliput ke Rawagede seusai putusan pengadilan Den Haag keluar.

Kedua, Piet mendatangi sejumlah daerah di Sulawesi Utara untuk membuat dokumentasi pembantaian Westerling. Karya Piet itulah yang sempat dijadikan bahan KUKB untuk melayangkan gugatan ke pemerintah Belanda. Gugatan tersebut akhirnya kembali dimenangi KUKB.

Piet mengatakan, dalam liputan tentang sejarah Belanda, dirinyalah yang kebanyakan mengusulkan kepada sang pimpinan. Dia lantas ditugaskan bersama kamerawan ke Indonesia. “Idenya dari sama, didiskusikan, diterima, dan dibiayai untuk berangkat,” ujar lulusan School voor Journalistiek, Utrecht, itu.

Secara pribadi, Piet mengaku, meski dirinya tidak memiliki ikatan darah dengan Indonesia, kejadian-kejadian itu tetap mengusiknya. “Atas nama keadilan, saya merasa perlu melakukan investigasi untuk melihat dari sisi korban dan saksi yang masih hidup,” ungkapnya.

Selain itu, sebagai orang yang cinta sejarah, dia merasa wajib menyampaikan kebenaran. “Tentunya melalui liputan yang saya buat,” ujarnya. Dia mengaku sangat malu ketika mengetahui fakta yang terjadi saat liputan di Sulawesi terkait dengan pembantaian Westerling.

“Yang membuat saya malu, dulu, ketika saya kecil, banyak mendengar cerita tentang kejahatan Jerman terhadap Belanda. Tapi, ternyata di negeri lain bangsa saya melakukan hal serupa,” tuturnya. Piet mengatakan, meskipun berita itu tidak mengenakkan, pemerintah Belanda tidak pernah melarang ataupun melakukan tindakan perlawanan apa pun.

“Di sana kebebasan pers benar-benar dijalankan. Selama yang disampaikan didasarkan atas kebenaran dan fakta yang kuat, tidak akan terjadi masalah,” jelasnya. Media-media beraliran kanan dan kiri memberikan porsi yang sama terhadap kasus itu.

Dulu memang berita-berita tentang kekejaman Belanda di Indonesia sangat mengusik para veteran. “Ketika itu mereka masih punya tenaga. Jadi, mereka bisa melakukan tindakan penolakan. Tapi, mereka kini sudah terlalu tua sehingga itu tidak terjadi lagi,” paparnya. Menurut dia, penolakan dulu sampai pada tingkat ancaman pembunuhan.

Salah satu bentuk penolakan tersebut, menurut Piet, adalah menekan pemerintah agar tidak membiarkan berita-berita tentang kekejaman perang keluar. Piet mengatakan, Belanda sebenarnya sadar akan tindakan keliru yang pernah dilakukan di Indonesia. Namun, mereka masih sulit meminta maaf karena masih ada sejumlah veteran perang.

“Tekanan dari veteran itu yang menurut saya harus dilawan. Sebagai negara yang menganut demokrasi, pemerintah harus berani meminta maaf,” terang pria kelahiran 3 Mei tersebut.

Piet lantas mengingat tekanan veteran yang begitu kuat ketika ratu Belanda diundang pemerintah Indonesia pada 17 Agustus 1995. Ketika itu veteran menekan ratu agar tidak datang. Namun, ratu akhirnya datang pada 20 Agustus sehingga tidak ada sambutan apa pun dari pemerintah Indonesia. “Itu dianggap hal yang sangat memalukan bagi warga Belanda,” papar pria yang beberapa kali meliput di Afghanistan itu.

Pasca kejadian Rawagede, di Belanda kerap diadakan diskusi terbuka terkait dengan kasus-kasus pembantaian warga sipil selama Belanda berkuasa di Indonesia. Data-data yang diyakini sangat akurat dalam diskusi itu makin menyudutkan para veteran. Sebab, sebagian masyarakat akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan dilakukan para veteran. “Tapi, tidak semua veteran menolak hal tersebut. Beberapa di antara mereka mendukung karena ingin berdamai dengan Tuhan di usia senja,” ungkap Piet.

Herry setuju bahwa tindakan pemerintah yang bersedia meminta maaf atas kejadian Rawagede itu dipengaruhi pemberitaan-pemberitaan media. Karena itu, dia berharap pemerintah melakukan hal yang sama pada kejadian di daerah-daerah lain.

Pendokumentasian Piet dan Harry memang terlihat begitu serius. Misalnya, untuk menggambarkan lingkungan desa, keduanya harus beberapa kali meminta sopir kendaraan yang mereka sewa bolak-balik karena harus mengulang pengambilan gambar.

Begitu pula ketika dia harus mewawancarai saksi yang rata-rata sudah berusia senja. Saking semangatnya, Piet dan Harry bahkan sampai lupa makan siang. Mereka baru ingat saat dalam perjalanan pulang dan hari sudah menjelang malam.

Ketika datang ke Indonesia, Piet sebenarnya baru saja mengalami kecelakaan. Dia menjalani operasi di jari tangan kanan dan tangannya masih harus disangga. Namun, saat syuting, penyangga itu dilepas karena dia harus bisa menggunakan peralatan dengan maksimal. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/