Beberapa ekor lalat bergantian hinggap di tubuh Abdul Majid (15) yang tak berbaju. Binatang itu begitu bebas. Majid sama sekali tidak mengusir atau menghalau. Bukan karena tidak mau, tapi dia memang tak mampu melakukan itu.
Parlindungan Harahap, Lubukpakam
Tidak seperti remaja lainnya, Majid kini hanya terbaring kasur lusuh di gedung eks kantor Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kabupaten Deliserdang di Jalan Negara Kecamatan Lubukpakam. Dia lumpuh. Dia buta. Dia menderita penyakit yang hingga kini belum diketahui jenisnya.
“Katanya untuk mengetahui jenis penyakit anak saya ini, harus dilakukan scaning.
Namun, untuk biaya scaning itu sangat mahal dan saya tidak memiliki biaya,” ungkap Sutini yang merupakan ibu kandung Abdul Majid, saat ditemui Sumut Pos, Rabu (23/4) siang.
Sutini tidak mengada-ada. Suami Sutini, Jailani, hanya bekerja sebagai penjaga masjid. Pendapatan per bulan hanya Rp500 ribu. Sementara mereka sekeluarga berjumlah delapan orang. Dari perkawinan Sutini dengan Jailani lahir 5 anak, sementara Majid merupakan hasil pernikahan Sutini dengan suami pertamanya, Sukamto.
Pun ketika dilihat seperti apa kehidupan Sukini sekeluarga, keprihatinanlah yang mengemuka. Mereka tinggal di eks gedung IPHI yang sejatinya sangat tak layak untuk dihuni. Keadaan di dalam gedung yang hanya berjarak beberapa ratus meter dengan gedung kantor Bupati Deliserdang itu, terlihat sangat mengganggu kesehatan. Kondisi berantakan. Apalagi, dalam gedung itu ada tiga kepala keluarga yang menetap.
“Semua dilakukan di ruangan ini. Mulai dari masak, makan, hingga tidur kami lakukan di ruangan ini. Bahkan, lemari untuk menyimpan pakaian kami saja kami tidak ada, makanya berantakan keadaan di sini, “ jelas Sutini.
Terlihat 3 ruangan terpisah di dalam gedung itu. Masing-masing kepala keluarga menempati masing-masing ruangan. Pada masing-masing ruangan itu, terlihat peralatan masak peralatan tidur dan pakaian sehari-hari, berada di tempat yang sama. Sementara untuk kamar mandi, tidak ada terlihat. Hanya sebuah sumur kecil yang berada tepat di belakang gedung itu. Selanjutnya, setelah sumur itu terlihat berjejer makam Muslim. Untuk membuang air besar, Sutini dan keluarga serta dua keluarga lainnya harus pergi ke kamar mandi masjid yang berada di dekat sana.
Sutini mengaku sudah tinggal di gedung eks kantor IPHI Kabupaten Deliserdang itu sejak 5 tahun silam. Semua bermula ketika dia cerai dengan Sukamto. Dia tidak memiliki biaya untuk menyewa rumah. Terlebih, Sutini mengaku kalau dirinya bertemu dengan seorang pria bernama Jailani yang akhirnya menikahi dirinya dan tinggal bersama di gedung tersebut.
“Sekitar 1 bulan lalu, suami saya datang ke sini dan menyerahkan anak ini (Majid) pada saya dalam keadaan seperti ini. Namanya seorang ibu, mau tidak mau saya terima untuk merawat anak ini. Memang saat penyerahan itu, suami saya sempat memberi saya uang sekitar Rp2 juta,” jelas Sutini.
Namun, seiring berjalannya waktu, Sutini melihat kondisi Majid makin parah. Dia pun menanyakan sebab musababnya pada Sukamto melalui telepon. Dari perbincangan itu, Sukamto menyebutkan keadaan Majid seperti itu sejak berada di pesantren sosial yang ada di Jogjakarta. Sutini juga menjelaskan kalau Sukamto belum mengetahui gejala awal Majid hinggamenderita penyakit yang membuat membuat tubuh menyusut dan tidak dapat bergerak itu.
“Saya berharap, pemerintah mau membuka mata untuk memberi bantuan pada kami untuk dapat mengobati penyakit yang diderita anak saya ini. Kalau saya yang datang meminta tak mungkin. Mustahil kalau orang kecil seperti saya bisa berbincang dengan pejabat di Deliserdang ini,” ucap Sutini sembari meneteskan air mata.
Majid yang coba diajak bicara oleh Sumut Pos tampak diam tidak bergerak. Dia tergeletak di kasur tipis bercorak tokoh kartun Donald Duck tanpa seprai. Beberapa lalat tetap terlihat mengitari tubuhnya yang ringkih. Ada yang hinggap di kulit Majid yang kering. Tidak lama. Lalat itu terbang lagi.
Majid pun telentang dalam posisi nyaris telanjang. Bagian kemaluannya hanya ditutupi popok berwarna putih. Di sisi tubuhnya ada sarung berwarna cokelat. Mungkin, sarung itulah yang digunakan untuk menyelamatkannya dari serangan udara malam.
Sumut Pos berusaha kembali mengajak remaja itu berbincang. Satu bola matanya tampak hendak keluar, tapi Majid bergeming. Belakangan diketahui kalau untuk bicara saja Majid sudah tak mampu. Disebut Sutini sesekali memang terdengar suara keluar dari mulut anaknya itu, namun suara itu tidak jelas menyebutkan kata-kata. Begitu juga untuk buang air kecil ataupun air besar, Sutini mengaku mengerjakannya sendiri. Untuk mempermudah hal itu pula, Sutini mengaku dirinya memakaikan Majid popok.
“Kalau makannya, tergantung perasaan saya saja karena dia tidak akan bisa menyampaikan rasa lapar atau hausnya. Lihatlah, badannya menyusut, seiring kulitnya turut keriput. Sementara matanya, terus membelalak bahkan terkesan hampir keluar, “ jelasnya.
“ Pernah anak saya ini dibawa ke Rumah Sakit Umum Deliserdang pada 3 April 2014 lalu. Itupun karena ada Caleg yaitu Fahmi Aulia yang berbaik hati. Dalam pengobatan itu, dinyatakan kalau anak saya itu buta dan gula darahnya sangat rendah. Untuk mengetahui jenis penyakit anak saya harus di-scanning, tapi batal karena tidak ada kas menggunakan Jamkesda. Saat itu hanya 5 hari 5 malam anak saya dirawat di rumah sakit,” tambah Sutini.
Keadaan Majid ini bak pesan bagi pemimpin baru di Deliserdang untuk lebih peduli pada warganya. Pasalnya, posisi Majid sangat dekat dengan kantor pemerintahan kabupaten yang kini dipimpin Ashari Tambunan itu. Tapi, kenapa tak terpantau? (rbb)