25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Antropolog Sumut: Multi Etnis Jangan Hanya Simbol

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak dulu, Kota Medan terkenal dengan kota multietnis. Beragam etnis atau suku tinggal di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara ini. Sayangnya, kekayaan etnis yang tinggal di Medan itu, hingga kini belum dijadikan landasan atau paradigma para pemimpin dalam membangun kota metropolitan ini.

Irfan Simatupang.
Irfan Simatupang.

Antropolog Sumut, Irfan Simatupang menilai, meski ada beragam etnis di Medan, tidak ada satu etnis yang mendominasi. Fakta ini sebenarnya bisa menjadi peluang atau bahkan progam untuk pemerintah dalam membangun kota ini. “Jika dilihat dari cara berkomunikasi, beragam etnis ini menggunakan simbol atau bahasa nasional. Tidak ada dominant culture di sini,” kata Irfan di Medan, Rabu (21/10).

Begitu juga dilihat dari sudut pandang demografi. Misalnya di sekitaran Istana Maimun dan Masjid Raya Medan, ada banyak warga etnis Melayu yang bermukim di sana. Mereka bisa dibilang tuan rumah. Kemudian, di daerah Kota Matsum, banyak orang Minang. Bergeser sedikit ke arah Pasar Merah, di sana banyak orang Batak.

Kemudian di sekitaran Jalan Padang Bulan, banyak warga etnis Karo dan Pakpak. Kembali ke arah barat dan arah Jalan Gatot Subroto dan Jalan Darussalam banyak warga Aceh. Pusat Kota di sekitaran Kesawan banyak orang etnis Tionghoa dan India. Selanjutnya di Labuhan Deli juga banyak etnis Melayu. Sementara di daerah Tembung, Sampali dan sekitarnya banyak orang Jawa.”Sekarang mereka sudah cukup membaur. Tetapi secara umum, demografinya sudah seperti itu sejak dulu,” jelas Irfan.

Hanya saja, kata Akademisi Fisip USU ini, kekayaan etnis di Medan itu justru sampai sekarang belum dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun program pembangunan. Multietnis hanya sebatas simbol, atau hanya sebatas seremonial perayaan biasa. Padahal, jika ditarik lebih dalam, dengan mempelajari karakteristik perilaku masing-masing etnis, justru menjadi konsep besar dalam perencanaan program pembangunan.

Para pemimpin kota Medan seharusnya bisa menggali kearifan lokal masing-masing budaya, kemudian diterjemahkan dalam proses pembangunan. Misalnya, suku Batak terkenal dengan kekerabatan mereka. Ini bisa terjemahkan sebagai bentuk untuk meningkatkan gotongroyong. Suku Minang terkenal dengan kemampuan mereka dalam berdagang. Begitu juga dengan Etnis Tionghoa, bisa dimanfaatkan untuk sektor ekonomi. Begitu pula dengan etnis Jawa yang terkenal dengan semangat bekerja keras.

“Ini seharusnya digali, dimaksimalkan untuk pembangunan, sehingga menghasilkan misalnya,  Medan menjadi kota yg religius (Aceh) kekeluargaan (Batak)  pekerja keras(Jawa) kota jasa dan perdagangan (Minang, Tionghoa) dan lainnya,” katanya kata Doktor Antropologi dari Fisip Universitas Indonesia (UI) ini.

Seharusnya, multietnis bukan sekadar simbol, tetapi lebih jauh merupakan konsep besar sebagai paradigma menyusun rencana pembangunan. Etnis-etnis itu pun jarang atau bahkan tak pernah dilibatkan dalam perencanaan program pembangunan.

Dia berhadap, melalui putaran Pilkada Medan 2020 kali ini, ada tangan baru yang bisa memimpin Medan, yang jeli melihat potensi kekayaan etnis di Medan. “Multi etnis ini diharapkan menjadi perhatian. Jangan dihilangkan kearifan lokal itu. Rangkul semua etnis dalam program pembangunan di segala sektor,” tegasnya. (ris/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak dulu, Kota Medan terkenal dengan kota multietnis. Beragam etnis atau suku tinggal di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara ini. Sayangnya, kekayaan etnis yang tinggal di Medan itu, hingga kini belum dijadikan landasan atau paradigma para pemimpin dalam membangun kota metropolitan ini.

Irfan Simatupang.
Irfan Simatupang.

Antropolog Sumut, Irfan Simatupang menilai, meski ada beragam etnis di Medan, tidak ada satu etnis yang mendominasi. Fakta ini sebenarnya bisa menjadi peluang atau bahkan progam untuk pemerintah dalam membangun kota ini. “Jika dilihat dari cara berkomunikasi, beragam etnis ini menggunakan simbol atau bahasa nasional. Tidak ada dominant culture di sini,” kata Irfan di Medan, Rabu (21/10).

Begitu juga dilihat dari sudut pandang demografi. Misalnya di sekitaran Istana Maimun dan Masjid Raya Medan, ada banyak warga etnis Melayu yang bermukim di sana. Mereka bisa dibilang tuan rumah. Kemudian, di daerah Kota Matsum, banyak orang Minang. Bergeser sedikit ke arah Pasar Merah, di sana banyak orang Batak.

Kemudian di sekitaran Jalan Padang Bulan, banyak warga etnis Karo dan Pakpak. Kembali ke arah barat dan arah Jalan Gatot Subroto dan Jalan Darussalam banyak warga Aceh. Pusat Kota di sekitaran Kesawan banyak orang etnis Tionghoa dan India. Selanjutnya di Labuhan Deli juga banyak etnis Melayu. Sementara di daerah Tembung, Sampali dan sekitarnya banyak orang Jawa.”Sekarang mereka sudah cukup membaur. Tetapi secara umum, demografinya sudah seperti itu sejak dulu,” jelas Irfan.

Hanya saja, kata Akademisi Fisip USU ini, kekayaan etnis di Medan itu justru sampai sekarang belum dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun program pembangunan. Multietnis hanya sebatas simbol, atau hanya sebatas seremonial perayaan biasa. Padahal, jika ditarik lebih dalam, dengan mempelajari karakteristik perilaku masing-masing etnis, justru menjadi konsep besar dalam perencanaan program pembangunan.

Para pemimpin kota Medan seharusnya bisa menggali kearifan lokal masing-masing budaya, kemudian diterjemahkan dalam proses pembangunan. Misalnya, suku Batak terkenal dengan kekerabatan mereka. Ini bisa terjemahkan sebagai bentuk untuk meningkatkan gotongroyong. Suku Minang terkenal dengan kemampuan mereka dalam berdagang. Begitu juga dengan Etnis Tionghoa, bisa dimanfaatkan untuk sektor ekonomi. Begitu pula dengan etnis Jawa yang terkenal dengan semangat bekerja keras.

“Ini seharusnya digali, dimaksimalkan untuk pembangunan, sehingga menghasilkan misalnya,  Medan menjadi kota yg religius (Aceh) kekeluargaan (Batak)  pekerja keras(Jawa) kota jasa dan perdagangan (Minang, Tionghoa) dan lainnya,” katanya kata Doktor Antropologi dari Fisip Universitas Indonesia (UI) ini.

Seharusnya, multietnis bukan sekadar simbol, tetapi lebih jauh merupakan konsep besar sebagai paradigma menyusun rencana pembangunan. Etnis-etnis itu pun jarang atau bahkan tak pernah dilibatkan dalam perencanaan program pembangunan.

Dia berhadap, melalui putaran Pilkada Medan 2020 kali ini, ada tangan baru yang bisa memimpin Medan, yang jeli melihat potensi kekayaan etnis di Medan. “Multi etnis ini diharapkan menjadi perhatian. Jangan dihilangkan kearifan lokal itu. Rangkul semua etnis dalam program pembangunan di segala sektor,” tegasnya. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/