MEDAN, SUMUTPOS.CO-Majelis hakim perkara pengadaan dan pekerjaan life time extention (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 dan 2.2 PLTGU Belawan selayaknya menegakkan keadilan dan mendengarkan hati nurani dengan memutus bebas para terdakwa.
Pasalnya, selama persidangan berlangsung beberapa bulan ini, fakta-fakta dan keterangan saksi-saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan secara gamblang para terdakwa tidak memenuhi unsur melawan hukum, tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain. Unsur merugikan keuangan negara juga tidak terbukti secara meyakinkan.
Hal itu ditegaskan kuasa hukum PT PLN Todung Mulya Lubis, usai pembacaan pembelaan (pledoi) para terdakwa LTE PLTGU Belawan tahun 2012, di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (24/9).
Sebagai catatan, katanya, JPU menggunakan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai dasar tuntutannya. Unsur melawan hukum melakukan korupsi (memperkaya diri/pihak lain), dan merugikan keuangan negara merupakan dasar dakwaan jaksa menjerat para tenaga ahli PLN melakukan korupsi. Jaksa juga menuduh mereka melakukan persekongkolan tender untuk memenangkan Mapna Co dalam pekerjaan LTE PLTGU Belawan.
“Tuduhan JPU terdapat persekongkolan tender adalah prematur karena sesuai dengan pasal 22 jo pasal 30 ayat (1) UU Anti Monopoli, KPPU saja sebagai lembaga yang mengawasi persaingan usaha tidak pernah memberikan putusan telah terjadi persekongkolan tender pengadaan pekerjaan LTE,”katanya.
Menurut Todung, para terdakwa juga terbukti tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 menyatakan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Berdasarkan Putusan MK No 003/2006 tersebut, yang dimaksud secara melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil. Artinya, perbuatan tersebut harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada faktanya, lanjut dia, JPU hanya menyatakan perbuatan para terdakwa adalah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Keputusan Direksi PT PLN Nomor 305.K/DIR/2010 tanggal 3 Juni 2010 (Kepdir No 305), dan Keputusan Direksi PT PLN Nomor 994.K/DIR/2011 tanggal 31 Mei 2011 (Kepdir No 994). Kepdir 305 mengatur tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa APLN PT PLN. Adapun Kepdir 994 mengatur Kebijakan Penggunaan Spare Part Non Original Equipment Manufacturer (Non-OEM) Mesin Pembangkit di lingkungan PT PLN.
“Padahal, Kepdir 305 bukanlah suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karenanya, jika seandainya pun ada para terdakwa melakukan pelanggaran terhadap Kepdir 305 dan 994, maka pelanggaran tersebut sudah selayaknya tidak masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi, melainkan hukum ketenagakerjaan,” papar Todung.
Dia menambahkan, Kepdir 994 tidak dapat diterapkan dalam pekerjaan LTE karena ruang lingkup Kepdir 994 jelas berbeda. Kepdir 994 merupakan pedoman untuk mendapatkan spare parts non-OEM melalui proses reverse engineering dan bukan dimaksudkan untuk proses pelelangan.
Menurut Todung, dari fakta-fakta dan keterangan para saksi, para terdakwa terbukti tidak melakukan korupsi alias tidak memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Para terdakwa juga terbukti tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam pekerjaan LTE tersebut, PLN tidak menggunakan anggaran negara (APBN), melainkan anggaran internal PLN. Merujuk pada UU No 19 Tahun 2003 (UU BUMN), UU No 17 Tahun 2003 (UU KN) tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) No 12 Tahun 1998, serta Putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011, sudah sangat jelas yang menjadi keuangan negara dalam perusahaan perseroan adalah saham milik negara di Persero.
Sebagaimana dijelaskan ahli korporasi Dr Gunawan Widjaja dalam kesaksian di persidangan, yang dimaksud kerugian negara di Persero berarti hilangnya saham milik negara pada Persero. Sementara harta kekayaan Persero bukanlah keuangan negara. (ila)