Site icon SumutPos

Guru Ini Modif Alat Peraga Klinometer dari Pipa Paralon Bekas

Foto: Iidris/PM Suprayitno, guru Matematika di SMAN 13 Medan, yang menjadi guru Berprestasi tingkat Nasional Bidang Matematika Tahun 2015.
Foto: Iidris/PM
Suprayitno, guru Matematika di SMAN 13 Medan, yang menjadi guru Berprestasi tingkat Nasional Bidang Matematika Tahun 2015.

SUMUTPOS.CO – Prestasi terus diukir untuk mengasah kemampuan diri, dan menjadikan prestasi sebagai bagian motivasi diri agar terus belajar-belajar dan belajar.

Begitulah, Suprayitno, guru matematika SMA Negeri 3 Medan merupakan satu dari sekian banyak guru berprestasi di Kota Medan. Selama 26 tahun menjadi guru impiannya tetap ingin mengukir prestasi.

Baginya, untuk menjadi guru berprestasi bukan hal yang mudah. Harus ada ide, pemikiran atau inovasi terbaru yang diaplikasikan ke dalam mengajar. Selain itu, harusnya mampu mempertanggungjawabkan dan mempresentasikan terobosan yang dilahirkan serta mengusai bahasa Inggris.

Pengalamannya mengikuti ajang kabupaten/kota dan bersaing dengan sekitar 20 guru SMA se-kota Medan. Setelah melalui proses atau berbagai tahapan, akhirnya keluar sebagai juara 1 guru berprestasi SMA tingkat Kota Medan. Bermodal juara itulah mendapatkan tiket untuk maju mengikuti seleksi tingkat provinsi dan berhasil juara 1 kembali.

“Akhirnya saya hanya mendapatkan juara 15 di tingkat nasional. Meski kalah, ada pelajaran penting yang bisa dipetik. Bahwasannya, untuk mengikuti ajang guru berprestasi tingkat nasional butuh persiapan yang tidak sebentar. Sebagai contoh, guru perwakilan dari Jawa Tengah yang dikirim pada saat itu merupakan guru berprestasi dua tahun sebelumnya yaitu tahun 2013. Guru tersebut digembleng dan diberi pelatihan oleh pemerintah daerah setempat melalui dinas pendidikan selama dua tahun. Jadi, benar-benar dipersiapkan secara matang dan tidak serta merta guru berprestasi dikirim ke Jakarta untuk berjuang mengharumkan daerah asalnya,” ceritanya.

Dia mengaku miris, ajang guru berprestasi tingkat kab/kota dinilai minim partisipasi atau kurang tertarik. Oleh karenanya, ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah maupun stakholder yang berkaitan. Selain itu, ini tak terlepas dari dampak hasil yang diraih menjadi guru berpretasi tersebut. Satu hal yang perlu dijadikan bagian untuk mengikuti seleksi guru berprestasi tingkat nasional yakni membuat karya tulis.

“Karya tulis yang saya angkat tentang pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah. Saya menggunakan alat peraga Klinometer (Trigonometri) yang dimodifikasi agar biayanya dapat terjangkau oleh siswa dari semua kalangan. Untuk membuat alat itu hanya perlu biaya Rp10.000. Alatnya terbuat dari pipa paralon sisa bekas pakai, busur, dan lain sebagainya,” paparnya.

Kata Suprayitno, munculnya ide mengangkat alat tersebut sebagai karya ilmiah karena ingin alat itu bisa dimiliki oleh kalangan siswanya. Sebab, untuk memiliki alat itu butuh biaya yang cukup besar. Bagi siswa ekonomi lemah, kemungkinan tidak akan mau membelinya lantaran mahal harganya. Jadi, dengan harga yang murah maka siswa bisa merakitnya sendiri, sehingga secara tidak langsung memperdalam bidang ilmu matematika.

Lebih lanjut dia mengatakan, menjadi seorang guru awalnya bukan cita-cita yang sebenarnya. Karena, sewaktu mengambil kuliah dulu semula memilih jurusan teknik bukan keguruan atau bidang studi di USU tahun 1985. Namun, seiring berjalannya waktu pada semester pertama, ternyata mendapat informasi adanya bidang ilmu keguruan di USU yang membuka peluang untuk didik menjadi guru. Jurusan tersebut adalah Matematika di Fakultas MIPA USU.

“Saya akhirnya memutuskan pindah ke matematika dengan jenjang pendidikan yang sama diploma tiga (D3). Saat itu saya tertarik menjadi guru dan menyelesaikan kuliah selama 3 tahun. Matematika saya pilih karena memang sangat senang dengan berhitung,” tuturnya.

Ia melanjutkan, usai tamat kuliah, lalu melakukan ikatan dinas menjadi guru SMA di Kota Pinang tahun 1988. Setelah 8 tahun menjadi guru di daerah itu, pada 1996, mengusulkan meminta pindah tempat mengajar dengan alasan melanjutkan kuliah ke jenjang sarjana (S1). Ternyata, disetujui dan mengajar di SMA Negeri 3 Medan sembari kuliah di Unimed selama 2 tahun. Kemudian, tahun 2005 melanjutkan lagi pendidikan S2 hingga tamat di Unimed juga.

Suprayitno menambahkan, di hari guru ini dirinya berharap agar para guru meningkatkan kompetensi, dan profesionalisme masing-masing. Sebab, tuntutan zaman sekarang ini mau tidak mau menuntut guru harus mengetahui teknologi.

“Generasi sekarang serba canggih. Istilahnya, muridnya abad 21, gurunya jangan abad 19 tetapi abad 21 juga. Dengan begitu, tentunya akan menghasilkan generasi penerus yang siap bersaing secara global,” tandasnya. (ris/ril)

Exit mobile version