Site icon SumutPos

Penanganan Korupsi Harus Ada Bukti Kerugian Negara

Korupsi-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Terobosan telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan kasus korupsi di Indonesia. Kemarin (25/1), MK memutuskan, penanganan korupsi harus didahului dengan adanya bukti kerugian negara yang riil (actual loss).

Terobosan tersebut merupakan putusan atas judicial review (JR) pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-undang 20 tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam pasal tersebut, dikatakan korupsi jika seseorang melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri, orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara.

Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, mahkamah menilai, frasa “dapat” dalam pasal tersebut bersifat inkonstitusional. Sebab bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil dan pasti seperti diamanatkan pasal 28D UUD 1945.

Akibatnya, frasa tersebut menciptakan kekhawatiran bagi seseorang yang menduduki jabatan tertentu untuk menciptakan terobosan kebijakan. Apalagi, lanjut Arief, frasa “dapat” dalam kedua pasal tersebut dijadikan sebagai delik formil. Hal, itu menurut mahkamah, sering disalahgunakan untuk menjangkau perbuatan yang diduga merugikan negara oleh aparat negara.

“Termasuk terhadap keputusan diskresi,” terangnya saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

Arief menjelaskan, dengan demikian, penerapan unsur kerugian negara harus benar-benar dibuktikan, dan tidak bisa menjadikan frasa “dapat” sebagai acuan. “Penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut mahkamah lebih memberi kepastian hukum yang adil dan berkesesuaian,” imbuhnya.

Namun, pendapat mahkamah terdapat kedua pasal tersebut tidaklah bulat, atau terjadi disseting opinions bagi empat hakim. Yakni I Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto dan Maria Farida Indrati. Mereka beralasan, menghilangkan frasa “dapat” akan mengubah kualifikasi delik dari formil menjadi delik materiil.

“Akibatnya, jika merugikan keuangan negara tidak terjadi meskipun unsur melawan hukum dan memperkaya diri telah terpenuhi, maka belum terjadi tindak pidana korupsi,” kata I Gede Palguna. Namun karena lima hakim lainnya bersepakat, mahkamah memutuskan pendapat terbanyak.

Untuk diketahui, gugatan JR kedua pasal tersebut diajukan oleh tujuh orang berprofesi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yakni Firdaus, Yulius Nawasi, Imam Mardi, Hasdullah, Sudarno, Jamaludin dan Jempin Marbun. Ketujuhnya merasa menjadi korban kriminalisasi dengan adanya pasal tersebut. (far/jpg)

Exit mobile version