25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Rozak, Tukang Reparasi Sepeda Ontel

Ajak Masyarakat Ingat Sejarah

Memiliki benda bersejarah tentunya memberikan kebanggaan tersendiri. Namun memiliki pemahaman akan barang antik, juga merupakan keasyikan yang tak tergantikan oleh profesi apa pun.

Demikian tampaknya yang ingin dibuktikan anggota Polonia Ontel Community Medan, Rozak (41). Ditemui, Kamis (24/3) di rumahnya Jalan Mongonsidi Gang Baru No.17 Medan, Rozak baru saja selesai melakukan perbaikan di atap rumahnya yang bocor. Pekerjaan selingan di kala tidak ada permintaan untuk memperbaiki sepeda ontel. “Tidak ada kegiatan lain. Saya memang hanya tertarik pada sepeda tua. Ada keasyikan tersendiri saja,” ucapnya.

Tak diragukan lagi, nama Rozak bukanlah nama asing di kalangan pecinta sepeda tua. Pasalnya, keahlian dalam hal merenovasi sepeda ontel sudah terbukti dengan banyaknya pemilik sepeda ontel menggunakan jasanya. Seperti empat unit sepeda ontel yang terparkir di ruang tamu siap untuk dikirim ke pemiliknya. “Rencananya besok dikirim ke Aceh. Tapi ada beberapa ini yang sudah siap tapi belum diambil-ambil,” bebernya.

Kepada wartawan Sumut Pos, Rozak mengaku mulai mengenal sepeda ontel pada 1960 sebagai kendaraan sang ayah yang juga anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Ya dari nenek saya memang naik ontel. Ada yang merek Vonger, Valuas, Relli, semua ada di keluarga saya,” kenangnya.

Rozak mulai mengasah pengetahuannya lewat perkenalan dengan seorang pakar sepeda ontel keturunan Tionghoa. Dari proses tadi, dirinya pun bisa mengetahui tahun produksi sebuah sepeda ontel dengan memandang saja. “Sekarang ini yang banyak beredar di Kota Medan itu Empo, Relli, Valuas, Vonger. Tapi yang lebih berkesan itu Gazelle seri 11, karena sempat sebagai kendaraan Presiden Soekarno,” ucap suami dari Ponisa ini.

Tak heran dengan kemampuan yang dimilikinya, bapak dari empat anak dan kakek dari seorang cucu ini kerap mendapat kepercayaan untuk memperbaiki sepeda ontel dari berbagai daerah di Sumatera. Meskipun untuk memenuhi permintaan pelanggan, Rozak harus melakukan perjalanan panjang. Tentu saja untuk menemukan suku cadang sepeda tua yang tengah dikerjakan.
Dari perjalanan itu, Bapak dari empat anak dan kakek dari seorang cucu ini memiliki pengalaman berkesan. Kenangan yang akan diingatnya seumur hidup. Kisah itu adalah saat memperbaiki sepeda ontel merek BSA buatan Jerman milik seorang penduduk Padang Sidempuan. “Yang paling rumit kalau memperbaiki sepeda tua ini adalah saat mencat dan mencari suku cadang. Karena kalau sepedanya buatan Inggris tidak masuk kalau dipasang suku cadang produk Jerman,” tuturnya.

Seperti halnya kenangan manis, Rozak juga memiliki kenangan pahit dengan sepeda ontel ini. Yaitu ketika melakukan perjalanan panjang, sepeda yang ditungganginya mengalami kerusakan. Saat itu dia tak membawa satu pun kelengkapan untuk memperbaiki ontel miliknya. “Makanya kita buat sendiri tas untuk menyimpan perlengkapan. Biar tidak terulang lagi,” tambah pria berkacamata ini.

Keberadaan Polonia Ontel Community Medan pun seolah menjadi persinggahan perjalanan Rozak. Keahlian yang dimiliki dapat bermanfaat bagi anggota komunitas untuk menunjang gerakan jantung sehat. Dari komunitas itu pula dirinya dapat menjalin komunikasi dengan pemilik sepeda antik dari komunitas berbeda. Untuk itu dirinya memberi apresiasi kepada H Tri Wahyu yang menjadi inisiator pembentukan POC Medan tadi.

Semangat Rozak tadi rupanya menggugah warga lainnya. Satu per satu warga pun membeli sepeda ontel untuk kemudian bergabung dengan Komunitas Ontel Polonia Medan. Mereka dapat ditemui di sekretariatnya Jalan Mongonsidi Medan tepatnya di depan kantor Garuda Indonesia. Dari pukul 17.00 WIB hingga pukul 18.30 WIB dapat dilihat beberapa sepeda ontel berjejer rapi di depan sebuah warung berwarna kuning.

“Kita coba mengajak masyarakat untuk melirik kembali makna dari sebuah sejarah. Selain bersepeda baik untuk kesehatan, juga dapat menjaga lingkungan karena tidak menyebabkan polusi seperti sepeda motor. Apalagi sepeda ontel ini juga berhubungan dengan sejarah negara ini yang juga harus dijaga,” pungkasnya.

Sepeda pertama kali dibuat di negara Prancis pada 1791. Pada tahun 1817 Baron Von Drais de Sauerbrun membuat sepeda kayu tanpa pedal yang pertama. Sepeda ini disebut Hobby Horse (sepeda kuda-kudaan). Pada 1839 sepeda memakai pedal pertama kali digunakan. Namun bentuknya juga sangat lucu, karena roda depan besar sementara roda belakang kecil. Sehingga cara memakainya pun dibutuhkan keterampilan akrobatik.

Sepeda masuk Indonesia baru di awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1910. Kala itu sepeda yang dipakai para kolonial itu dibawa dari negara asalnya. Baru setelah itu sepeda mulai dipakai para bangsawan, para misionaris, dan saudagar kaya. Fiets, begitu para kolonial ini menyebut sepeda. Namun, karena lidah Jawa tak fasih, orang lantas menyebut dengan “pit”. Sementara ontel dimaksudkan mengayuh, jadi sepeda ontel ini artinya sepeda yang di kayuh. (*)

Ajak Masyarakat Ingat Sejarah

Memiliki benda bersejarah tentunya memberikan kebanggaan tersendiri. Namun memiliki pemahaman akan barang antik, juga merupakan keasyikan yang tak tergantikan oleh profesi apa pun.

Demikian tampaknya yang ingin dibuktikan anggota Polonia Ontel Community Medan, Rozak (41). Ditemui, Kamis (24/3) di rumahnya Jalan Mongonsidi Gang Baru No.17 Medan, Rozak baru saja selesai melakukan perbaikan di atap rumahnya yang bocor. Pekerjaan selingan di kala tidak ada permintaan untuk memperbaiki sepeda ontel. “Tidak ada kegiatan lain. Saya memang hanya tertarik pada sepeda tua. Ada keasyikan tersendiri saja,” ucapnya.

Tak diragukan lagi, nama Rozak bukanlah nama asing di kalangan pecinta sepeda tua. Pasalnya, keahlian dalam hal merenovasi sepeda ontel sudah terbukti dengan banyaknya pemilik sepeda ontel menggunakan jasanya. Seperti empat unit sepeda ontel yang terparkir di ruang tamu siap untuk dikirim ke pemiliknya. “Rencananya besok dikirim ke Aceh. Tapi ada beberapa ini yang sudah siap tapi belum diambil-ambil,” bebernya.

Kepada wartawan Sumut Pos, Rozak mengaku mulai mengenal sepeda ontel pada 1960 sebagai kendaraan sang ayah yang juga anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Ya dari nenek saya memang naik ontel. Ada yang merek Vonger, Valuas, Relli, semua ada di keluarga saya,” kenangnya.

Rozak mulai mengasah pengetahuannya lewat perkenalan dengan seorang pakar sepeda ontel keturunan Tionghoa. Dari proses tadi, dirinya pun bisa mengetahui tahun produksi sebuah sepeda ontel dengan memandang saja. “Sekarang ini yang banyak beredar di Kota Medan itu Empo, Relli, Valuas, Vonger. Tapi yang lebih berkesan itu Gazelle seri 11, karena sempat sebagai kendaraan Presiden Soekarno,” ucap suami dari Ponisa ini.

Tak heran dengan kemampuan yang dimilikinya, bapak dari empat anak dan kakek dari seorang cucu ini kerap mendapat kepercayaan untuk memperbaiki sepeda ontel dari berbagai daerah di Sumatera. Meskipun untuk memenuhi permintaan pelanggan, Rozak harus melakukan perjalanan panjang. Tentu saja untuk menemukan suku cadang sepeda tua yang tengah dikerjakan.
Dari perjalanan itu, Bapak dari empat anak dan kakek dari seorang cucu ini memiliki pengalaman berkesan. Kenangan yang akan diingatnya seumur hidup. Kisah itu adalah saat memperbaiki sepeda ontel merek BSA buatan Jerman milik seorang penduduk Padang Sidempuan. “Yang paling rumit kalau memperbaiki sepeda tua ini adalah saat mencat dan mencari suku cadang. Karena kalau sepedanya buatan Inggris tidak masuk kalau dipasang suku cadang produk Jerman,” tuturnya.

Seperti halnya kenangan manis, Rozak juga memiliki kenangan pahit dengan sepeda ontel ini. Yaitu ketika melakukan perjalanan panjang, sepeda yang ditungganginya mengalami kerusakan. Saat itu dia tak membawa satu pun kelengkapan untuk memperbaiki ontel miliknya. “Makanya kita buat sendiri tas untuk menyimpan perlengkapan. Biar tidak terulang lagi,” tambah pria berkacamata ini.

Keberadaan Polonia Ontel Community Medan pun seolah menjadi persinggahan perjalanan Rozak. Keahlian yang dimiliki dapat bermanfaat bagi anggota komunitas untuk menunjang gerakan jantung sehat. Dari komunitas itu pula dirinya dapat menjalin komunikasi dengan pemilik sepeda antik dari komunitas berbeda. Untuk itu dirinya memberi apresiasi kepada H Tri Wahyu yang menjadi inisiator pembentukan POC Medan tadi.

Semangat Rozak tadi rupanya menggugah warga lainnya. Satu per satu warga pun membeli sepeda ontel untuk kemudian bergabung dengan Komunitas Ontel Polonia Medan. Mereka dapat ditemui di sekretariatnya Jalan Mongonsidi Medan tepatnya di depan kantor Garuda Indonesia. Dari pukul 17.00 WIB hingga pukul 18.30 WIB dapat dilihat beberapa sepeda ontel berjejer rapi di depan sebuah warung berwarna kuning.

“Kita coba mengajak masyarakat untuk melirik kembali makna dari sebuah sejarah. Selain bersepeda baik untuk kesehatan, juga dapat menjaga lingkungan karena tidak menyebabkan polusi seperti sepeda motor. Apalagi sepeda ontel ini juga berhubungan dengan sejarah negara ini yang juga harus dijaga,” pungkasnya.

Sepeda pertama kali dibuat di negara Prancis pada 1791. Pada tahun 1817 Baron Von Drais de Sauerbrun membuat sepeda kayu tanpa pedal yang pertama. Sepeda ini disebut Hobby Horse (sepeda kuda-kudaan). Pada 1839 sepeda memakai pedal pertama kali digunakan. Namun bentuknya juga sangat lucu, karena roda depan besar sementara roda belakang kecil. Sehingga cara memakainya pun dibutuhkan keterampilan akrobatik.

Sepeda masuk Indonesia baru di awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1910. Kala itu sepeda yang dipakai para kolonial itu dibawa dari negara asalnya. Baru setelah itu sepeda mulai dipakai para bangsawan, para misionaris, dan saudagar kaya. Fiets, begitu para kolonial ini menyebut sepeda. Namun, karena lidah Jawa tak fasih, orang lantas menyebut dengan “pit”. Sementara ontel dimaksudkan mengayuh, jadi sepeda ontel ini artinya sepeda yang di kayuh. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/