31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

BPKP Sumut: Lama Karena Bukti Baru Terus Datang

Kasus Dugaan Kredit Fiktif di BNI 46

MEDAN- Lambatnya penanganan kasus dugaan penyimpangan penyaluran kredit fiktif di BNI 46 Cabang Jalan Pemuda Medan senilai Rp129 miliar, mendapat tanggapan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Sumut. Pihak BPKP mengakui kasus tersebut berlarut-larut, karena pihak Kejatisu terus datang membawa bukti baru.

“Lama sekali itu. Dan sampai sekarang. Beberapa kali Kejatisu dan BPKP berkoordinasi, karena terus ada penambahan barang bukti. Kejatisu datang membawa barang bukti baru, dan kami diminta menghitung kerugian negaranya. Kami menerima kemudian melakukan audit dan penilaian,” terang staf Humas BPKP Sumut, Effendi Damanik, kemarin.

Ditanya hasil audit barang bukti yang diterima BPKP, Effendi Damanik tidak bersedia memberitahukan detilnya, kendati berulang-ulang disinggung Sumut Pos. “Kami ini hanya membantu penyidik dalam menentukan nilai kerugian negara. Jadi, yang berhak menjelaskan detilnya adalah penyidik,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pria yang baru pindah tugas ke BPKP Sumut sejak Oktober 2011 lalu ini menuturkan, pihaknya telah beberapa kali memberikan ekspos atau keterangan kepada Kejatisu. “Sudah berapa kali ekspos. Seingat saya, sejak saya pindah tugas kemari sudah dua kali. Sejak Kajatisu AK Basyuni. Ekspos di Kejatisu sekira Desember 2011 lalu dan terakhir 10 Juli 2012 lalu. Baru beberapa hari lalu saja,” tuturnya.

KPK Bisa Ambil Alih
Menanggapi lambatnya penanganan kasus kredit fiktif di BNI 46 Medan ini, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengingatkan Kejati Sumut agar bergerak cepat. Pasalnya, kasus itu bisa saja diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski begitu, Eson – panggilan akrabnya – lebih setuju jika penanganan kasus ini mendapat pengawasan atau supervisi dari KPK. “Jika sudah disupervisi tapi tapi masih juga didiamkam, barulah diambil alih KPK,” ujar aktivis senior di ICW itu kepada Sumut Pos di Jakarta, Rabu (25/7).

Terkait dengan supervisi kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, kepada Sumut Pos Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pernah menjelaskan, kasus-kasus yang disupervisi harus dibicarakan bersama dengan instansi terkait. Jadi, tidak bisa serta merta KPK mengambil alih penanganan perkara yang sedang ditangani kejaksaan ataupun kepolisian.

KPK baru akan bergerak menanganani perkara yang ngendon jika Kejati sudah angkat tangan. “Kalau kejaksaan sudah bilang ‘nggak sanggup’, maka kita ambil alih,” terang Johan Budi.
Selama ini, KPK juga melakukan supervisi kasus-kasus yang ditangani kepolisian atau pun Kejatisu.

Pada 2011 misalnya, KPK mensupervisi kasus tindak pidana korupsi dengan tersangka mantan bupati Toba Samosir, Monang Sitorus, yang ditangani Poldasu.Sedangkan supervisi KPK atas penyidikan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan adalah TPK ABPD Kota Medan TA 2006 untuk kegiatan Christmast Season pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Tersangkanya adalah Ramlan dan Syarifuddin.

Masih di Sumut, pada 2011 KPK juga mengawasi korupsi APBD Padangsidempuan TA 2008/2009 pada Dinas Pemuda dan Olahraga. Tersangkanya adalah Soleh Pulungan dan Adi Ashari Nasution.
Seperti diketahui, kasus di BNI ini bermula dari permohonan kredit PT BDKL yang dipimpin Boy Hermansyah kepada BNI Medan pada tahun 2009. Saat itu, Boy mengajukan pinjaman sebesar Rp133 miliar untuk pengembangan usaha, dan yang dikabulkan Rp129 miliar. Namun dalam proses peminjamannya, diduga Boy menggunakan agunan usaha yang telah diagunkannya ke bank lain.

Dalam hal ini, Penyidik Kejatisu menemukan adanya penyimpangan peminjaman dana kredit yang dilakukan oleh Boy, yang menyebabkan kerugian negara. Setelah diproses, aset milik Boy berupa sebidang tanah seluas 3.455 hektare di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang di atasnya terdapat pabrik kelapa sawit telah disita oleh negara.

Seperti diberitakan, dalam kasus ini Kejati juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Radiyasto selaku pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Dasrul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, Mohammad Samsul Hadi yang merupakan Pimpinan Rekanan dan Kantor Jasa Penilaian Publik, dan Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan. Mereka  ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2011 lalu.

Keempatnya sempat ditahan selama sepekan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Tanjung Gusta Medan, tapi karena alasan untuk memudahkan penyidikan, tim penyidik malah menetapkan keempatnya sebagai tahanan kota.

Sedangkan Boy sebagai pelaku utama kasus ini melarikan diri dan telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Interpol sejak 17 Oktober 2011. Hingga kini belum diketahui keberadaan Boy.(sam/ari)

Kasus Dugaan Kredit Fiktif di BNI 46

MEDAN- Lambatnya penanganan kasus dugaan penyimpangan penyaluran kredit fiktif di BNI 46 Cabang Jalan Pemuda Medan senilai Rp129 miliar, mendapat tanggapan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Sumut. Pihak BPKP mengakui kasus tersebut berlarut-larut, karena pihak Kejatisu terus datang membawa bukti baru.

“Lama sekali itu. Dan sampai sekarang. Beberapa kali Kejatisu dan BPKP berkoordinasi, karena terus ada penambahan barang bukti. Kejatisu datang membawa barang bukti baru, dan kami diminta menghitung kerugian negaranya. Kami menerima kemudian melakukan audit dan penilaian,” terang staf Humas BPKP Sumut, Effendi Damanik, kemarin.

Ditanya hasil audit barang bukti yang diterima BPKP, Effendi Damanik tidak bersedia memberitahukan detilnya, kendati berulang-ulang disinggung Sumut Pos. “Kami ini hanya membantu penyidik dalam menentukan nilai kerugian negara. Jadi, yang berhak menjelaskan detilnya adalah penyidik,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pria yang baru pindah tugas ke BPKP Sumut sejak Oktober 2011 lalu ini menuturkan, pihaknya telah beberapa kali memberikan ekspos atau keterangan kepada Kejatisu. “Sudah berapa kali ekspos. Seingat saya, sejak saya pindah tugas kemari sudah dua kali. Sejak Kajatisu AK Basyuni. Ekspos di Kejatisu sekira Desember 2011 lalu dan terakhir 10 Juli 2012 lalu. Baru beberapa hari lalu saja,” tuturnya.

KPK Bisa Ambil Alih
Menanggapi lambatnya penanganan kasus kredit fiktif di BNI 46 Medan ini, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengingatkan Kejati Sumut agar bergerak cepat. Pasalnya, kasus itu bisa saja diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski begitu, Eson – panggilan akrabnya – lebih setuju jika penanganan kasus ini mendapat pengawasan atau supervisi dari KPK. “Jika sudah disupervisi tapi tapi masih juga didiamkam, barulah diambil alih KPK,” ujar aktivis senior di ICW itu kepada Sumut Pos di Jakarta, Rabu (25/7).

Terkait dengan supervisi kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, kepada Sumut Pos Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pernah menjelaskan, kasus-kasus yang disupervisi harus dibicarakan bersama dengan instansi terkait. Jadi, tidak bisa serta merta KPK mengambil alih penanganan perkara yang sedang ditangani kejaksaan ataupun kepolisian.

KPK baru akan bergerak menanganani perkara yang ngendon jika Kejati sudah angkat tangan. “Kalau kejaksaan sudah bilang ‘nggak sanggup’, maka kita ambil alih,” terang Johan Budi.
Selama ini, KPK juga melakukan supervisi kasus-kasus yang ditangani kepolisian atau pun Kejatisu.

Pada 2011 misalnya, KPK mensupervisi kasus tindak pidana korupsi dengan tersangka mantan bupati Toba Samosir, Monang Sitorus, yang ditangani Poldasu.Sedangkan supervisi KPK atas penyidikan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan adalah TPK ABPD Kota Medan TA 2006 untuk kegiatan Christmast Season pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Tersangkanya adalah Ramlan dan Syarifuddin.

Masih di Sumut, pada 2011 KPK juga mengawasi korupsi APBD Padangsidempuan TA 2008/2009 pada Dinas Pemuda dan Olahraga. Tersangkanya adalah Soleh Pulungan dan Adi Ashari Nasution.
Seperti diketahui, kasus di BNI ini bermula dari permohonan kredit PT BDKL yang dipimpin Boy Hermansyah kepada BNI Medan pada tahun 2009. Saat itu, Boy mengajukan pinjaman sebesar Rp133 miliar untuk pengembangan usaha, dan yang dikabulkan Rp129 miliar. Namun dalam proses peminjamannya, diduga Boy menggunakan agunan usaha yang telah diagunkannya ke bank lain.

Dalam hal ini, Penyidik Kejatisu menemukan adanya penyimpangan peminjaman dana kredit yang dilakukan oleh Boy, yang menyebabkan kerugian negara. Setelah diproses, aset milik Boy berupa sebidang tanah seluas 3.455 hektare di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang di atasnya terdapat pabrik kelapa sawit telah disita oleh negara.

Seperti diberitakan, dalam kasus ini Kejati juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Radiyasto selaku pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Dasrul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, Mohammad Samsul Hadi yang merupakan Pimpinan Rekanan dan Kantor Jasa Penilaian Publik, dan Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan. Mereka  ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2011 lalu.

Keempatnya sempat ditahan selama sepekan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Tanjung Gusta Medan, tapi karena alasan untuk memudahkan penyidikan, tim penyidik malah menetapkan keempatnya sebagai tahanan kota.

Sedangkan Boy sebagai pelaku utama kasus ini melarikan diri dan telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Interpol sejak 17 Oktober 2011. Hingga kini belum diketahui keberadaan Boy.(sam/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/