26.7 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Guru Non-PNS Layaknya Seorang Anak Tiri

Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan, guru juga dianggap pahlawan tanpa tanda jasa. Di tangan mereka pendidikan itu bisa berkembang atau tidak, dan berkat kerja kerasnya pula siswa yang didiknya dapat menjadi orang sukses. Hanya saja pemerintah sepertinya menganaktirikan para guru swasta karena menunggak tunjangan sertifikasinya hingga 8 bulan lamanya. Bagaiaman nasib para guru swasta yang belum mendapatkan tunjangan sertifikasi, berikut laporan wartan koran ini,
Andika S Tanjung.

Diberlakukannya program tunjangan sertifikasi merupakan salah satu langkah meningkatkan taraf hidup guru atau yang biasa disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Tunjangan sertifikasi diberikan bukan hanya kepada guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) melainkan juga kepada guru swasta.

Namun kini penyaluran tunjangan sertifikasi kepada guru swasta dan guru PNS selalu menemui kendala, alasan klasik yang muncul dalam lambannya pencairan tunjangan sertifikasi yakni dana yang belum dicairkan oleh pemerintah pusat.

Sedikitnya 4 ribu guru yang non PNS tersebut belum menerima tunjangan sertifikasi mulai dari November 2012 – Juni 2013 yang berarti sudah 8 bulan.

Keluhan ini sebenarnya sudah pernah disampaikan guru swasta pada perayaan hari pendidikan nasional (Hardiknas) pada 2 Mei silam. Waktu itu Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Kota Medan yang di ketuai Partomuan mendatangi kantor DPRD Sumut yang berada di Jalan Imam Bonjol.

Setelah aksi itu dilakukan hingga detik ini belum ada tanda-tanda atau sedikit pencerahan menganai waktu pencairan tunjangan sertifikasi yang sudah tertunggak 8 bulan.

Guru swasta yang hanya menerima gaji berdasarkan jumlah jam mengajar hanya bisa gigit jari menanti keputusan dan pejabat yang terkait.
“Kami menerima gaji berdasarkan jumlah jam mengajar, apabila tidak mengajar gaji akan berkurang,” ujar Ketua PGSI Kota Medan, Partomuan saat ditemui Kamis (25/7).

Partomuan berharap pemerintah lebih sensitif mendengar keluhan guru swasta, dan jangan sampai membeda-bedakan atau menganak emaskan guru PNS ke timbang guru swasta. Baginya menjadi guru merupakan pekerjaan mulia.

Dia bercerita, gaji yang diterimanya setiap bulan dari hasil mengajar hanya Rp 600 ribu, dimana dia harus menghidupi keempat anaknya. Dua diantaranya masih menempuh pendidikan di SD dan SMP sedangkan dua lainnya masih balita.

Namun dirinya tetap bersyukur atas apa yang kini dimilikinya, beruntung sang istri juga bekerja sehingga dapat membantu mencukupi kebutuhan. Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, dirinya rela melakukan apa saja demi bertahan hidup di tengah kejamnya dunia, mulai berdagang seadanya hingga menjadi kuli bangunan.

Bukan hanya dia yang harus rela menjalankan pekerjaan sampingan agar kebutuhan dapat terpenuhi, salah seorang rekannya yang juga berprofesi sebagai guru swasta rela menjadi penarik becak bermotor (betor).

Walau uang tunjangan sertfikasi tertunggak hingga 8 bulan, dirinya tetap mencintai profesi yang sudah dijalaninya dalam kurun waktu dua dekade terakhir. “ Itu semua dilakukan demi keluarga, yang terpenting kebutuhan terpenuhi,” bilangnya.

Getirnya kehidupan juga dirasakan Rosmeri Saradi Spd, kepala SD swasta Gereja Katolik Protestan Simalungun (GKPS). Sudah empat tahun dirinya menjalani profesi sebagai guru.

Ketika diangkat menjadi kepala sekolah dirinya hanya menerima gaji setiap bulan sekitar Rp300 ribu, uang itu digunakannya untuk menghidupi ketiga anaknya.

Sudah pasti dengan gajinya sebagai kepala sekolah tidak bisa menghidupi anak-anaknya yang sedang berkuliah, apalagi dia hanya seorang single parent. “ Ya, pandai-pandai mencari sampingan. Saya biasa ikut memasak di catering dan menjual sayur kangkung di pajak, itu semua demi menghidupi anak-anak,” katanya.

Bukan berarti dengan gaji yang sedikit dirinya tidak tekun menjalani profesinya saat ini. Dia akan merasa rugi bila meninggalkan sekolah itu, “ Saya yakin kalau bekerja di ladang Tuhan, pasti akan di cukupkan,” ucapnya.

Kepala Bidang Pengembanagan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Provinsi Sumut (Kabid PMPTK Disdiksu) Hyronimus Ghodang membenarkan, kekurangan anggaran tunjangan profesi guru non PNS bulan November-Desember 2012 sampai saat ini belum dicairkan oleh pemerintah pusat.

Sedangkan untuk tahun 2013, bukan Disdiksu yang menanganinya lagi. Karena sudah diambil alih oleh pemerintah pusat, sedangkan untuk pendataan dilakukan oleh Disdik di Kabupaten/Kota.

Tahun 2013 ini ada 11 Kabupaten/Kota yang guru non PNS nya sama sekali tidak memiliki SK Dirjen diantaranya, Medan, Dairi, Karo, Nias, Nias Barat, Nias Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Simalungun, Tapanuli Selatan, dan Tanjung Balai.

“Untuk itu Disdiksu sudah mengirimkan perwakilan menemui Direktorat P2TK Kemendikbud, untuk mempertanyakan kapan sisa anggaran 2012 di salurkan dan alasan 11 Kabupaten/Kota guru non PNS belum memiliki SK Dirjen,” bilangnya.(*)

Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan, guru juga dianggap pahlawan tanpa tanda jasa. Di tangan mereka pendidikan itu bisa berkembang atau tidak, dan berkat kerja kerasnya pula siswa yang didiknya dapat menjadi orang sukses. Hanya saja pemerintah sepertinya menganaktirikan para guru swasta karena menunggak tunjangan sertifikasinya hingga 8 bulan lamanya. Bagaiaman nasib para guru swasta yang belum mendapatkan tunjangan sertifikasi, berikut laporan wartan koran ini,
Andika S Tanjung.

Diberlakukannya program tunjangan sertifikasi merupakan salah satu langkah meningkatkan taraf hidup guru atau yang biasa disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Tunjangan sertifikasi diberikan bukan hanya kepada guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) melainkan juga kepada guru swasta.

Namun kini penyaluran tunjangan sertifikasi kepada guru swasta dan guru PNS selalu menemui kendala, alasan klasik yang muncul dalam lambannya pencairan tunjangan sertifikasi yakni dana yang belum dicairkan oleh pemerintah pusat.

Sedikitnya 4 ribu guru yang non PNS tersebut belum menerima tunjangan sertifikasi mulai dari November 2012 – Juni 2013 yang berarti sudah 8 bulan.

Keluhan ini sebenarnya sudah pernah disampaikan guru swasta pada perayaan hari pendidikan nasional (Hardiknas) pada 2 Mei silam. Waktu itu Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Kota Medan yang di ketuai Partomuan mendatangi kantor DPRD Sumut yang berada di Jalan Imam Bonjol.

Setelah aksi itu dilakukan hingga detik ini belum ada tanda-tanda atau sedikit pencerahan menganai waktu pencairan tunjangan sertifikasi yang sudah tertunggak 8 bulan.

Guru swasta yang hanya menerima gaji berdasarkan jumlah jam mengajar hanya bisa gigit jari menanti keputusan dan pejabat yang terkait.
“Kami menerima gaji berdasarkan jumlah jam mengajar, apabila tidak mengajar gaji akan berkurang,” ujar Ketua PGSI Kota Medan, Partomuan saat ditemui Kamis (25/7).

Partomuan berharap pemerintah lebih sensitif mendengar keluhan guru swasta, dan jangan sampai membeda-bedakan atau menganak emaskan guru PNS ke timbang guru swasta. Baginya menjadi guru merupakan pekerjaan mulia.

Dia bercerita, gaji yang diterimanya setiap bulan dari hasil mengajar hanya Rp 600 ribu, dimana dia harus menghidupi keempat anaknya. Dua diantaranya masih menempuh pendidikan di SD dan SMP sedangkan dua lainnya masih balita.

Namun dirinya tetap bersyukur atas apa yang kini dimilikinya, beruntung sang istri juga bekerja sehingga dapat membantu mencukupi kebutuhan. Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, dirinya rela melakukan apa saja demi bertahan hidup di tengah kejamnya dunia, mulai berdagang seadanya hingga menjadi kuli bangunan.

Bukan hanya dia yang harus rela menjalankan pekerjaan sampingan agar kebutuhan dapat terpenuhi, salah seorang rekannya yang juga berprofesi sebagai guru swasta rela menjadi penarik becak bermotor (betor).

Walau uang tunjangan sertfikasi tertunggak hingga 8 bulan, dirinya tetap mencintai profesi yang sudah dijalaninya dalam kurun waktu dua dekade terakhir. “ Itu semua dilakukan demi keluarga, yang terpenting kebutuhan terpenuhi,” bilangnya.

Getirnya kehidupan juga dirasakan Rosmeri Saradi Spd, kepala SD swasta Gereja Katolik Protestan Simalungun (GKPS). Sudah empat tahun dirinya menjalani profesi sebagai guru.

Ketika diangkat menjadi kepala sekolah dirinya hanya menerima gaji setiap bulan sekitar Rp300 ribu, uang itu digunakannya untuk menghidupi ketiga anaknya.

Sudah pasti dengan gajinya sebagai kepala sekolah tidak bisa menghidupi anak-anaknya yang sedang berkuliah, apalagi dia hanya seorang single parent. “ Ya, pandai-pandai mencari sampingan. Saya biasa ikut memasak di catering dan menjual sayur kangkung di pajak, itu semua demi menghidupi anak-anak,” katanya.

Bukan berarti dengan gaji yang sedikit dirinya tidak tekun menjalani profesinya saat ini. Dia akan merasa rugi bila meninggalkan sekolah itu, “ Saya yakin kalau bekerja di ladang Tuhan, pasti akan di cukupkan,” ucapnya.

Kepala Bidang Pengembanagan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Provinsi Sumut (Kabid PMPTK Disdiksu) Hyronimus Ghodang membenarkan, kekurangan anggaran tunjangan profesi guru non PNS bulan November-Desember 2012 sampai saat ini belum dicairkan oleh pemerintah pusat.

Sedangkan untuk tahun 2013, bukan Disdiksu yang menanganinya lagi. Karena sudah diambil alih oleh pemerintah pusat, sedangkan untuk pendataan dilakukan oleh Disdik di Kabupaten/Kota.

Tahun 2013 ini ada 11 Kabupaten/Kota yang guru non PNS nya sama sekali tidak memiliki SK Dirjen diantaranya, Medan, Dairi, Karo, Nias, Nias Barat, Nias Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Simalungun, Tapanuli Selatan, dan Tanjung Balai.

“Untuk itu Disdiksu sudah mengirimkan perwakilan menemui Direktorat P2TK Kemendikbud, untuk mempertanyakan kapan sisa anggaran 2012 di salurkan dan alasan 11 Kabupaten/Kota guru non PNS belum memiliki SK Dirjen,” bilangnya.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/