26.7 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Penahanan JR Saragih Disuarakan

Izin Presiden Dianggap Memperlambat Proses Hukum

MEDAN-Tak henti-hentinya desakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera mempercepat proses hukum terhadap Bupati Simalungun JR Saragih. Penahanan orang nomor satu di Pemkab Simalungun itu pun mulai disuarakan.

Setidaknya hal ini diungkapkan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Anak Bangsa (SAB) Heru Herman. LSM SAB merupakan pihak yang melaporkan JR Saragih ke KPK,  terkait adanya dugaan JR Saragih berkolusi dengan Ketua DPRD  Simalungun, Binton Tindaon, untuk mengalihkan dana intensif guru non PNS sebesar Rp1.276.920.000 miliar untuk membeli mobil anggota DPRD Simalungun beberapa 28 September 2011 lalu.
“Benar, kami akan aksi di depan Kantor KPK dan meminta agar KPK segera menahan JR Saragih,” tegas Heru Herman, Selasa (25/10).

Herman menambahkan untuk aksi yang akan mereka gelar pada Kamis (27/10) mendatang, mereka akan menurunkan massa sebanyak 250 sampai 300 orang. Massa ini merupakan gabungan berbagai LSM lainnya.
Sementara itu, analis politik asal Universitas Medan Area (UMA) Dadang Darmawan Msi, mengungkapkan soal JR Saragih ini bukan barang baru di Indonesia. “Kita ketahui, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Januari 2011 lalu, ada 155 kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah di Indonesia.

Dan terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi oleh kepala daerah, jika dibandingkan dengan data lembaga survey independent per Maret 2011 lalu, dimana ada 175 kepala daerah yang terindikasi melakukan korupsi dari 550 kepala daerah di Indonesia. 17 diantaranya adalah gubernur. Dan persoalan-persoalan ini, tidak serta merta terselesaikan oleh KPK. Termasuk pula dugaan korupsi oleh Bupati Simalungun JR saragih. Dari itu, ditarik kesimpulan KPK berjalan lamban dalam penegakan supremasi hokum khususnya kasus-kasus korupsi,” ungkapnya kepada Sumut Pos, Selasa (25/10).
Jadi dalam upaya pemeriksaan terhadap bupati Simalungun, Dadang menambahkan, yang terpenting adalah penegakan hukum dan proses hukum terhadap JR Saragih tersebut berjalan, baru sejurus dengan itu surat izin ke presiden bisa dilakukan. “Secara sistemik, surat izin dari presiden memperlambat proses itu. Kalau ingin reformasi terutama dalam penegakan hukum, memberi sekat atau izin pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, maka proses hukumnya akan lebih cepat. Jadi, tidak berlarut-larut,” bebernya.

Jika mendahulukan surat izin pemeriksaan dari presiden, ada dua kemungkian yang bisa saja terjadi, pertama adalah dikhawatirkan terjadi lobi-lobi antara kelembagaan penegak hukum dengan yang bersangkutan dan kedua juga dikhawatirkan bisa menghilangkan barang bukti.

Apakah relevan bila masyarakat, khususnya masyarakat Simalungun meminta JR Saragih mundur, dengan dasar banyak kasus-kasus yang dihadapinya? Terkait hal itu, Dadang Darmawan menyatakan, sangat relevan bila masyarakat melakukan menuntut hal itu. “Saya pikir, itu relevan. Karena efek atau dampak yang ditimbulkan dari kasus-kasus tersebut juga besar, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka panjang, citra pemerintahan di Pemkab Simalungun akan terus menurun. Dan untuk pelayanan publik yang ada, juga tidak akan terintegrasi dengan baik. Belum lagi dampak-dampak negaif lainnya,” pungkasnya. (ari)

Izin Presiden Dianggap Memperlambat Proses Hukum

MEDAN-Tak henti-hentinya desakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera mempercepat proses hukum terhadap Bupati Simalungun JR Saragih. Penahanan orang nomor satu di Pemkab Simalungun itu pun mulai disuarakan.

Setidaknya hal ini diungkapkan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Anak Bangsa (SAB) Heru Herman. LSM SAB merupakan pihak yang melaporkan JR Saragih ke KPK,  terkait adanya dugaan JR Saragih berkolusi dengan Ketua DPRD  Simalungun, Binton Tindaon, untuk mengalihkan dana intensif guru non PNS sebesar Rp1.276.920.000 miliar untuk membeli mobil anggota DPRD Simalungun beberapa 28 September 2011 lalu.
“Benar, kami akan aksi di depan Kantor KPK dan meminta agar KPK segera menahan JR Saragih,” tegas Heru Herman, Selasa (25/10).

Herman menambahkan untuk aksi yang akan mereka gelar pada Kamis (27/10) mendatang, mereka akan menurunkan massa sebanyak 250 sampai 300 orang. Massa ini merupakan gabungan berbagai LSM lainnya.
Sementara itu, analis politik asal Universitas Medan Area (UMA) Dadang Darmawan Msi, mengungkapkan soal JR Saragih ini bukan barang baru di Indonesia. “Kita ketahui, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Januari 2011 lalu, ada 155 kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah di Indonesia.

Dan terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi oleh kepala daerah, jika dibandingkan dengan data lembaga survey independent per Maret 2011 lalu, dimana ada 175 kepala daerah yang terindikasi melakukan korupsi dari 550 kepala daerah di Indonesia. 17 diantaranya adalah gubernur. Dan persoalan-persoalan ini, tidak serta merta terselesaikan oleh KPK. Termasuk pula dugaan korupsi oleh Bupati Simalungun JR saragih. Dari itu, ditarik kesimpulan KPK berjalan lamban dalam penegakan supremasi hokum khususnya kasus-kasus korupsi,” ungkapnya kepada Sumut Pos, Selasa (25/10).
Jadi dalam upaya pemeriksaan terhadap bupati Simalungun, Dadang menambahkan, yang terpenting adalah penegakan hukum dan proses hukum terhadap JR Saragih tersebut berjalan, baru sejurus dengan itu surat izin ke presiden bisa dilakukan. “Secara sistemik, surat izin dari presiden memperlambat proses itu. Kalau ingin reformasi terutama dalam penegakan hukum, memberi sekat atau izin pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, maka proses hukumnya akan lebih cepat. Jadi, tidak berlarut-larut,” bebernya.

Jika mendahulukan surat izin pemeriksaan dari presiden, ada dua kemungkian yang bisa saja terjadi, pertama adalah dikhawatirkan terjadi lobi-lobi antara kelembagaan penegak hukum dengan yang bersangkutan dan kedua juga dikhawatirkan bisa menghilangkan barang bukti.

Apakah relevan bila masyarakat, khususnya masyarakat Simalungun meminta JR Saragih mundur, dengan dasar banyak kasus-kasus yang dihadapinya? Terkait hal itu, Dadang Darmawan menyatakan, sangat relevan bila masyarakat melakukan menuntut hal itu. “Saya pikir, itu relevan. Karena efek atau dampak yang ditimbulkan dari kasus-kasus tersebut juga besar, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka panjang, citra pemerintahan di Pemkab Simalungun akan terus menurun. Dan untuk pelayanan publik yang ada, juga tidak akan terintegrasi dengan baik. Belum lagi dampak-dampak negaif lainnya,” pungkasnya. (ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/