25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Keuangan Bank BUMN Bukan Keuangan Negara

MEDAN- Keuangan Bank BUMN bukan merupakan keuangan negara. Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya, sesuai dengan yang diperjanjikan.
Guru Besar Hukum Universitas Sumatera Utara, Tan Kamello, mengatakan sebelum memberikan kredit, bank memiliki keyakinan untuk menilai calon nasabah debitur dengan analisis kredit yang komprehensif sesuai dengan pedoman masing-masing bank. Walaupun demikian, tidak menutup pintu adanya risiko, wanprestasi, yang dapat diantisipasi dengan adanya jaminan kebendaan dari nasabah debitur.

“Pengelolaan Bank BUMN harus dikelola menurut prinsip korporasi yang sehat. Jadi bukan didasarkan kepada pengelolaan sistem APBN. Perjanjian kredit bank merupakan ranah kajian hukum Perdata dan hal ini sudah dibuktikan dalam disertasi Prof. DR. Mariam Darus, Prof. DR Remy Sjahdeini. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian tidak bernama yang tunduk perjanjian pada umumnya,” ujar Tan Kamello dalam seminar publik tentang kriminaliasasi perjanjian kredit bank fakultas hukum USU, Medan, Selasa baru lalu.

Menurut Tan Kamello anggapan hukum yang keliru bahwa Bank BUMN sebagai suatu korporasi yang modalnya berasal dari APBN dan menurut UU No.17 tahun 2003 adalah termasuk keuangan Negara, sehingga perjanjian kredit bank yang menjadi bisnis bank dapat merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain adalah tindak pidana korupsi walaupun kerugian negara belum terjadi.

“Kesalahan dalam perjanjian kredit bank dapat terjadi karena kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian perdata. Pihak yang berbuat kesalahan harus diminta bertanggung jawab secara hukum administratif dan hukum perdata. Perjanjian kredit bank telah dengan cermat, dan penegak hukum jangan terlalu cepat untuk melakukan kriminalisasi bisnis dan menerapkan hukum pidana,” ungkapnya.

Tan Kamello menambahkan, Bank BUMN dalam memberikan kredit kepada nasabah harus berdasarkan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam undang-undang perbankan. Selain itu bank juga memiliki peraturan internal bank sendiri yang berbeda dengan bank lainnya sebagai best practices.

“Resiko dalam bisnis kredit bank yakni nasabah yang dapat kredit bank berarti sudah dipercaya namun tidak terlepas dari suatu resiko. Dalam perjanjian kredit resiko terlihat sejak awal penandatanganan kredit sampai berakhir perjanjian sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan,” urainya.

Sementara praktisi hukum Djoko Sarwoko SH MH (Mantan Hakim Agung/Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung RI) berpendapat pelanggaran terhadap aktivitas perbankan secara umum dan khususnya dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank telah diatur dengan tegas dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan.

“Perjanjian kredit mengacu pada perjanjian pinjam meminjam sehingga hubungan hukum yang tercipta bersifat keperdataan. Dalam kredit perbankan tidak melulu jaminan yang menjadi hal utama, tapi justru adalah penilaian kemampuan debitur untuk melunasi hutangnya,” jelasnya dalam seminar yang membahas permasalahan kredit perbankan dalam perspektif pemberantasan korupsi.

Sambungnya, penarikan penyelesaian hukum kredit perbankan ke ranah tindak pidana korupsi, malah cukup mengkhawatirkan bagi industri perbankan terlebih jika penegak hukum terkait tidak memahami secara mendalam hukum perbankan dan peraturan perbankan namun dengan langkah tegap hanya menggunakan sudut pandang UU tipikor. (far)

MEDAN- Keuangan Bank BUMN bukan merupakan keuangan negara. Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya, sesuai dengan yang diperjanjikan.
Guru Besar Hukum Universitas Sumatera Utara, Tan Kamello, mengatakan sebelum memberikan kredit, bank memiliki keyakinan untuk menilai calon nasabah debitur dengan analisis kredit yang komprehensif sesuai dengan pedoman masing-masing bank. Walaupun demikian, tidak menutup pintu adanya risiko, wanprestasi, yang dapat diantisipasi dengan adanya jaminan kebendaan dari nasabah debitur.

“Pengelolaan Bank BUMN harus dikelola menurut prinsip korporasi yang sehat. Jadi bukan didasarkan kepada pengelolaan sistem APBN. Perjanjian kredit bank merupakan ranah kajian hukum Perdata dan hal ini sudah dibuktikan dalam disertasi Prof. DR. Mariam Darus, Prof. DR Remy Sjahdeini. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian tidak bernama yang tunduk perjanjian pada umumnya,” ujar Tan Kamello dalam seminar publik tentang kriminaliasasi perjanjian kredit bank fakultas hukum USU, Medan, Selasa baru lalu.

Menurut Tan Kamello anggapan hukum yang keliru bahwa Bank BUMN sebagai suatu korporasi yang modalnya berasal dari APBN dan menurut UU No.17 tahun 2003 adalah termasuk keuangan Negara, sehingga perjanjian kredit bank yang menjadi bisnis bank dapat merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain adalah tindak pidana korupsi walaupun kerugian negara belum terjadi.

“Kesalahan dalam perjanjian kredit bank dapat terjadi karena kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian perdata. Pihak yang berbuat kesalahan harus diminta bertanggung jawab secara hukum administratif dan hukum perdata. Perjanjian kredit bank telah dengan cermat, dan penegak hukum jangan terlalu cepat untuk melakukan kriminalisasi bisnis dan menerapkan hukum pidana,” ungkapnya.

Tan Kamello menambahkan, Bank BUMN dalam memberikan kredit kepada nasabah harus berdasarkan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam undang-undang perbankan. Selain itu bank juga memiliki peraturan internal bank sendiri yang berbeda dengan bank lainnya sebagai best practices.

“Resiko dalam bisnis kredit bank yakni nasabah yang dapat kredit bank berarti sudah dipercaya namun tidak terlepas dari suatu resiko. Dalam perjanjian kredit resiko terlihat sejak awal penandatanganan kredit sampai berakhir perjanjian sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan,” urainya.

Sementara praktisi hukum Djoko Sarwoko SH MH (Mantan Hakim Agung/Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung RI) berpendapat pelanggaran terhadap aktivitas perbankan secara umum dan khususnya dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank telah diatur dengan tegas dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan.

“Perjanjian kredit mengacu pada perjanjian pinjam meminjam sehingga hubungan hukum yang tercipta bersifat keperdataan. Dalam kredit perbankan tidak melulu jaminan yang menjadi hal utama, tapi justru adalah penilaian kemampuan debitur untuk melunasi hutangnya,” jelasnya dalam seminar yang membahas permasalahan kredit perbankan dalam perspektif pemberantasan korupsi.

Sambungnya, penarikan penyelesaian hukum kredit perbankan ke ranah tindak pidana korupsi, malah cukup mengkhawatirkan bagi industri perbankan terlebih jika penegak hukum terkait tidak memahami secara mendalam hukum perbankan dan peraturan perbankan namun dengan langkah tegap hanya menggunakan sudut pandang UU tipikor. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/