JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Seiring meningkatnya fenomena radikalisme di Indonesia sejalan pelaksanaan Pilpres dan Pilkada, maka persoalan politik identitas dan social harmony juga mengalami peningkatan dalam tema penulisan jurnal yang dilakukan oleh para akademisi.
Hal ini disampaikan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Muryanto Amin, dalam pemaparannya selaku narasumber dalam seminar dengan tema, ‘Moderasi Beragama untuk Menangkal Terorisme dan Radikalisme’, Rabu (16/6).
Seminar yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Holding Perkebunan Nusantara dan Universitas Sumatera Utara (USU) itu, berlangsung di Ballroom JW Marriot, Jalan Lingkar Mega Kuningan Jakarta, dan ditayangkan juga melalui aplikasi Zoom.
Seminar menghadirkan Rektor USU Muryanto Amin, sebagai pembicara di samping pembicara utama Kepala BNPT Periode 2026-2020, Komjen Pol Suhardi Allius, dan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjend TNI Hendri Paruhuman Lubis.
Mengusung materi berjudul ‘Tren Gerakan Identitas, Sosial Harmoni dan Politik Lokal’, Muryanto menyatakan, ada beberapa hal terkait social harmony yang terkadang dilupakan oleh kita semua, padahal ini adalah suatu kekuatan politik lokal dan kearifan lokal di Indonesia.
“Belakangan ini fenomena tentang politik lokal yang penelitiannya berkisar tentang uang, patronase transaksional di Indonesia, sekarang sudah bergeser kepada politik identitas. Tema ini di beberapa jurnal juga ikut bertambah terutama setelah pelaksanaan Pilkada, dan Pemilihan Gubernur di 2017 dan 2018,” beber Muryanto.
Melalui riset yang dilakukannya sejak 2018, 2019, dan 2020 dengan dana hibah DRPM Kemendikbudristek, Muryanto saat ini tengah merancang sebuah aplikasi yang bisa diakses oleh siswa SD, SMP, dan SMA, tentang materi kebangsaan dan pemahaman moderasi agama. Saat ini dia juga sedang meneliti riset konten yang dilakukan untuk meningkatkan paham kebangsaan.
Menurutnya, fenomena radikalisme dan terorisme ini meningkat tajam setelah diadakannya Pilpres dan Pilkada. Kenyataan ini tentu menjadi satu bahan penting yang harus dicermati bersama oleh berbagai pihak, karena walau dulu hanya tentang transaksi politik dan uang, sekarang sudah bertambah menjadi isu identitas agama (religion identity).
Sementara jaringan kritis yang dimaksud adalah jaringan yang mengelola kelompok beserta tindakan yang dilakukan, termasuk juga upaya untuk menarik orang lain dan memberikan saran politik agar menjadi anggota dan ikut dalam aktivitas kelompok serta melakukan politisasi di dalam anggota kelompok.
Sistem nilai sendiri menyangkut kepentingan individu, orientasi dan identitas yang merupakan aspek penting untuk melihat kecenderungan partisipasi politik selain posisi sosial-struktural. Beragam perilaku yang muncul tidak hanya tergantung dari input berupa faktor eksternal, tetapi dipengaruhi oleh dinamika pribadi dan posisi sosial struktural akan selalu mengalami masalah karena mengabaikan dinamika internal individu seperti nilai, kepercayaan dan sikap.
“Meningkatnya aktivisme dan radikalisme agama dalam politik lokal di Indonesia, tidak hanya di Jakarta, sejak 10 tahun terakhir menjadi fenomena baru yang sangat perlu dianalisis dari deskripsi organisasi agama dan jaringannya,” jelas Muryanto lagi.
Muryanto menjelaskan, pembahasan yang menarik yakni mengeksplorasi literatur nilai-nilai harmoni masyarakat Indonesia yang beragam, yang secara nasional disebut Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity). Satu di antaranya beragamnya ajaran harmoni sosial di Sumut, seperti Dalihan Na Tolu, yang mengajarkan keindahan harmoni tanpa latar belakang pendidikan, pangkat dan jabatan. Kedua ajaran tersebut mengandalkan kepatuhan kepada otoritas dan menolak kepemilikan identitas dalam sistem yang disusun secara kolektif.
“Atas dasar ajaran itu, kami menemukan pemahaman yang kuat dan mendasar, meskipun tidak seluruhnya, di antara jaringan organisasi agama bahwa mereka yang menghargai harmoni sosial cenderung memperhatikan secara serius orang-orang yang memiliki tindakan radikalisme masa lalu,” katanya.
Muryanto menyimpulkan, identitas agama menjadi pemicu munculnya pemilih yang dikelola untuk kepentingan mendapatkan akses terhadap kekuasaan. Lingkaran jaringan organisasi keagamaan akan bergerak semakin cepat dan sangat dinamis selama proses politik menjelang pemilihan pemimpin lokal dan nasional yang dilakukan dalam prosedur demokrasi.
“Potensi konflik akan selalu muncul dalam setiap pemilihan meskipun nilai-nilai harmoni sosial menjadi faktor yang mengikat untuk saling menghargai dalam hubungan sosial di antara masyarakat. Kelompok orang-orang muda dan perempuan menjadi sasaran yang sangat mudah terlibat dalam partisipasi politik menjelang dan saat pemilihan suara. Penggunaan media sosial mempercepat penyebaran sosialisasi perubahan motif memilih dari rasional menjadi basis agama yang menjustifikasi kebebasan hak untuk perbaikan kehidupan masyarakat,” ujar Muryanto.
“Satu hal yang sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah identitas agama yang muncul tidak serta merta melahirkan tindakan radikalisme karena orang-orang yang terlibat dalam partisipasi politik itu, memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai harmoni sosial,” tutur Muryanto.
Sementara itu, Kepala BNPT Periode 2026-2020 Komjen Pol Suhardi Allius, menghadirkan pemaparan berjudul ‘Moderasi Beragama untuk Menangkal Terorisme dan Radikalisme’, serta Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT Mayjend TNI Hendri Paruhuman Lubis, menjelaskan tentang ‘Moderasi Beragama: Mencegah Bahaya Radikalisme dan Terorisme di Indonesia’. Kedua pembicara tersebut memberikan pemaparan berbasis pengalaman keduanya menangani kasus-kasus radikalisme dan terorisme selama bertugas di BNPT. (gus/saz)