25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Rumah Ibadah Diusulkan Masuk KTR

Kawasan Tanpa Rokok

MEDAN- Dinas Kesehatan (Dinkes) diminta memperbaiki draft rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang Sistem Kesehatan Kota Medan yang pengesahannya sedang dibahas DPRD Medan. Permintaan itu disampaikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Melalui Sekretaris Fraksi, Juliandi Siregar, PKS meminta pasal-pasal kawasan tanpa rokok (KTR) diperluas dan diperjelas.

Hal ini disampaikan Juliandi dalam rapat paripurna lanjutan di DPRD Medan, Senin (26/9). Disebutkannya, ranperda tersebut tidak tegas mengatur tentang kawasan pelarangan rokok. Pengaturan tentang KTR hanya terdapat pada Pasal 26 ayat 5.

“Oleh karena itu, perlu ada penambahan pasal tersendiri tentang penerapan kawasan tanpa rokok. Realisasi kawasan tanpa rokok harus dimulai dari gedung-gedung pemerintahan dan rumah ibadah, harus ditampung dalam ranperda ini. Kami mendukung agar ranperda ini segara dibahas dengan dibentuk panitia khusus (pansus),” katanya.

Pada bagian lain dia mengatakan, ranperda tersebut harus menjamin pelayanan kesehatan yang mudah, murah dan cepat bagi warga miskin. Distribusi rasio tenaga kesehatan harus merata di setiap kecamatan. Sehingga tidak terjadi penumpukan tenaga kesehatan seperti dokter umum, dokter spesialis, perawat dan bidan di kecamatan tertentu. Dinkes juga diminta untuk menambah pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) berdasarkan jumlah penduduk Kota Medan. Di mana sesuai ketentuan Depkes, 1 puskesmas maksimal melayani 100 ribu penduduk. “Standarisasi pelayanan kesehatan di rumah sakit dan Puskesmas juga harus dimasukkan dalam ranperda ini,” ujarnya.

Kekurangan draft ranperda itu terus diulas lebih jauh. Ternyata, dalam draft belum ada sanksi terhadap petugas medis yang dengan sengaja melakukan kelalaian, dan itu harus menjadi catatan Dinkes Medan untuk membuat pasal-pasal baru tentang itu.

“Sesuai amanah UU No 36 tahun 2009 Pasal 171 ayat 2, maka Pemko Medan harus menganggarkan 10 persen dari nilai APBD untuk pelayanan kesehatan. Ini penting demi realisasi sistem kesehatan Kota Medan,” pungkasnya.

Sementara Fraksi Partai Demokrat melalui juru bicaranya Syamsul Bahri mempertanyakan kesiapan Pemko Medan dalam memberlakukan Perda tentang Sistem Kesehatan Kota tersebut. Fraksi ini juga mempertanyakan seperti apa upaya mewujudkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang nantinya menjadi tolak ukur kinerja pelayanan kesehatan di Kota Medan.

Untuk itu, Fraksi Demokrat meminta agar pembahasan Ranperda ini harus memperhitungkan segala aspek-termasuk kemungkinan hambatan dan kendala yang akan dihadapi nantinya, sehingga pada era pelaksanaannya nanti dapat berjalan dengan baik.

Fraksi Demokrat juga berpendapat, pembangunan kesehatan tidak akan efektif tanpa disertai dengan adanya norma yang mengatur penjatuhan sanksi pidana bagi yang melanggarnya, atau terhadap adanya prilaku yang dipandang menyimpang. “Artinya sanksi yang diberikan bukan semata-mata sanksi administrasi,” ujar Syamsul.
Sebab, menurut dia, pada kehidupan sehari-hari di masyarakat, seperti di mal, pasar-pasar tradisonal, pusat-pusat jajanan, dikhawatirkan adanya makanan dan minuman yang diduga menggunakan zat berbahaya, tidak menggunakan label kesehatan, yang sudah kadaluarsa, beredarnya obat-obat yang semestinya memerlukan pengawasan dokter, jamu-jamu, dan obat-obat tradisional, yang kesemuanya memerlukan pengawasan guna melindungi kesehatan masyarakat.(adl/ari)

Kawasan Tanpa Rokok

MEDAN- Dinas Kesehatan (Dinkes) diminta memperbaiki draft rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang Sistem Kesehatan Kota Medan yang pengesahannya sedang dibahas DPRD Medan. Permintaan itu disampaikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Melalui Sekretaris Fraksi, Juliandi Siregar, PKS meminta pasal-pasal kawasan tanpa rokok (KTR) diperluas dan diperjelas.

Hal ini disampaikan Juliandi dalam rapat paripurna lanjutan di DPRD Medan, Senin (26/9). Disebutkannya, ranperda tersebut tidak tegas mengatur tentang kawasan pelarangan rokok. Pengaturan tentang KTR hanya terdapat pada Pasal 26 ayat 5.

“Oleh karena itu, perlu ada penambahan pasal tersendiri tentang penerapan kawasan tanpa rokok. Realisasi kawasan tanpa rokok harus dimulai dari gedung-gedung pemerintahan dan rumah ibadah, harus ditampung dalam ranperda ini. Kami mendukung agar ranperda ini segara dibahas dengan dibentuk panitia khusus (pansus),” katanya.

Pada bagian lain dia mengatakan, ranperda tersebut harus menjamin pelayanan kesehatan yang mudah, murah dan cepat bagi warga miskin. Distribusi rasio tenaga kesehatan harus merata di setiap kecamatan. Sehingga tidak terjadi penumpukan tenaga kesehatan seperti dokter umum, dokter spesialis, perawat dan bidan di kecamatan tertentu. Dinkes juga diminta untuk menambah pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) berdasarkan jumlah penduduk Kota Medan. Di mana sesuai ketentuan Depkes, 1 puskesmas maksimal melayani 100 ribu penduduk. “Standarisasi pelayanan kesehatan di rumah sakit dan Puskesmas juga harus dimasukkan dalam ranperda ini,” ujarnya.

Kekurangan draft ranperda itu terus diulas lebih jauh. Ternyata, dalam draft belum ada sanksi terhadap petugas medis yang dengan sengaja melakukan kelalaian, dan itu harus menjadi catatan Dinkes Medan untuk membuat pasal-pasal baru tentang itu.

“Sesuai amanah UU No 36 tahun 2009 Pasal 171 ayat 2, maka Pemko Medan harus menganggarkan 10 persen dari nilai APBD untuk pelayanan kesehatan. Ini penting demi realisasi sistem kesehatan Kota Medan,” pungkasnya.

Sementara Fraksi Partai Demokrat melalui juru bicaranya Syamsul Bahri mempertanyakan kesiapan Pemko Medan dalam memberlakukan Perda tentang Sistem Kesehatan Kota tersebut. Fraksi ini juga mempertanyakan seperti apa upaya mewujudkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang nantinya menjadi tolak ukur kinerja pelayanan kesehatan di Kota Medan.

Untuk itu, Fraksi Demokrat meminta agar pembahasan Ranperda ini harus memperhitungkan segala aspek-termasuk kemungkinan hambatan dan kendala yang akan dihadapi nantinya, sehingga pada era pelaksanaannya nanti dapat berjalan dengan baik.

Fraksi Demokrat juga berpendapat, pembangunan kesehatan tidak akan efektif tanpa disertai dengan adanya norma yang mengatur penjatuhan sanksi pidana bagi yang melanggarnya, atau terhadap adanya prilaku yang dipandang menyimpang. “Artinya sanksi yang diberikan bukan semata-mata sanksi administrasi,” ujar Syamsul.
Sebab, menurut dia, pada kehidupan sehari-hari di masyarakat, seperti di mal, pasar-pasar tradisonal, pusat-pusat jajanan, dikhawatirkan adanya makanan dan minuman yang diduga menggunakan zat berbahaya, tidak menggunakan label kesehatan, yang sudah kadaluarsa, beredarnya obat-obat yang semestinya memerlukan pengawasan dokter, jamu-jamu, dan obat-obat tradisional, yang kesemuanya memerlukan pengawasan guna melindungi kesehatan masyarakat.(adl/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/