26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Anggota Dewan Dipukuli karena Merekam, Bripda FPS Sudah Ditangani Propam Polda Sumut

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – POLDA Sumut masih memeriksa intensif Bripda FPS, oknum Polri yang diduga melakukan penganiayaan dan penghinaan kepada anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD Sumut, Pintor Sitorus dalam demo ribuan mahasiswa yang berunjung bentrok di depan Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Selasa (24/9). Sejauh ini, sudah 15 personel kepolisian yang diperiksa, bahkan 5 di antaranya sudah berurusan dengan Propam.

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengatakan, Bripda FDS saat ini sudah dalam penanganan Bidang Propam. Namun kata Tatan, aksi di luar prosedur yang dilakukan Bripda FPS itu terjadi karena anggota dewan tersebut melakukan perekaman. “Jadi awalnya anggota tersebut mengingatkan untuk tidak merekam, namun anggota dewan itu terus merekam saat terjadinya pengamanan,” beber Tatan.

Dilanjutkan Tatan, karena sudah diperingatkan namun tetap merekam, maka terjadi selisih paham di antara Bripda FPS dengan Pintor Sitorus. “Ya itu tadi, terjadi bantahan-bantahan, sehingga terjadilah hal seperti itu (penghinaan dan penganiayaan),” jelasnya.

Saat disinggung, apakah Bripda FPS yang mengenakan kaos hitam seperti di rekaman video, Tatan mengaku tidak tahu dan tidak mengenalnya. “Oh nggak tahu aku, soalnya kan bukan anggotaku,” jawab Tatan.

Sementara, berdasarkan laporan yang ia terima sampai saat ini, sudah 15 oknum dari 12 oknum sebelumnya yang sudah diperiksa terkait dugaan penganiayaan dalam pengamanan unjuk rasa tersebut. “Jadi tindakan di luar prosedur itu ada 5 anggota yang sudah diperiksa dan ditindak Propam,” tegas juru bicara Kapoldasu ini.

Menurut Tatan, pihaknya terus menggali dan melakukan pengembangan untuk mencari bukti anggota lainnya yang melakukan tindakan di luar prosedur tadi. “Masih terus kita dalami dan kembangkan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Sekretaris DPD Gerindra Sumut, Robert Lumbantobing mengungkapkan, Pintor Sitorus sedang mempertimbangkan untuk melaporkan insiden pemukulan itu kepada Bidang Propam Polda Sumut. “Terkait sikap partai, dari yang kami peroleh info dari fraksi baha pihak propam cukup koperatif dan Pintor Sitorus mempertimbangkan utk melaporkannya (ke propam). Kita tunggu saja, mudah-mudaban ada solusi terbaik agar masalah ini terselesaikan secepatnya,” katanya, ketika dikonfirmasi, Kamis (26/9).

Gerindra, kata dia, sangat menyesalkan kejadian tersebut. Di mana, partai lewat fraksi sudah menyatakan sikap dan protes dan telah melaporkan kejadian tersebut ke pimpinan dewan. “Ini preseden tidak bagus bagi lembaga DPRD. Kita heran, bagaimana mungkin seorang anggota DPRD Sumut bisa dipukuli oleh oknum polisi. Apa tidak tau bahwa yang dipukuli itu seorang anggota dewan. Siapapun itu kiranya tidak bisa asal main pukul begitu,” terangnya.

“Tentu kita mendukung fraksi Gerindra dan kita juga akan minta fraksi melaporkan kejadian dan langkah-langkah yang diambil tersebut. Semoga dan berharap dikemudian hari tidak terulang hal-hal yang demikian,” imbuhnya.

LBH Medan Desak Kapolri Copot Kapoldasu

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mendesak Kapolri, Jenderal Pol Tito Karnavian untuk melakukan evaluasi terhadap Kapoldasu, Irjen Pol Agus Andrianto. Pasalnya, Kapoldasu dinilai bertanggungjawab serta menindak tegas anggotanya secara etik dan pidana yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa di DPRD Sumut, Selasa (24/9) lalu.

“Kapolri harus evaluasi Kapoldasu yang bertanggung jawab penuh atas tindakan kekerasan oknum aparat kepada massa aksi. Kapoldasu harus meminta maaf dan bertanggungjawab kepada korban kekerasan oleh polisi dengan menanggung segala biaya perawatan medis,” tandas Wakil Direktur LBH Medan, Irvan Syahputra, Kamis (26/9).

Bahkan, LBH Medan meminta Kompolnas untuk melakukan pemantauan serta pengawasan terhadap penindakan oknum polisi kepada mahasiswa yang berunjuk rasa menolak RUU KUHP dan RUU KPK. Selain itu, LBH Medan meminta Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh terhadap tindak kekerasan polisi kepada massa aksi khususnya mahasiswa dan jurnalis.

“Akibat tindakan represif kepolisian, banyak mahasiswa mengalami luka lebam di kepala, patah tulang tangan, luka memar, luka robek, pingsan, iritasi matadan ganguan pernafasan akibat kekerasan fisik berupa pemukulan, tendangan, hantaman pentungan, diseret, dan dikeroyok serta diduga satu orang korban diantaranya adalah anggota dewan,” jelas Irvan.

Menurutnya, polisi menggunakan kekuatan secara berlebihan kepada massa aksi. Padahal, sebagian besar dari massa tidak melakukan perlawanan sama sekali. Hal ini menunjukkan aparat tidak proporsional dalam menggunakan kekuatan bahkan dilakukan secara membabi buta. “Tindakan represif aparat telah melanggar HAM dan mencederai hak kebebasan berpendapat serta berekspresi yang dijamin oleh konstitusi,” tegasnya.

Irvan mengungkapkan, bahwa segala bentuk tindakan aparat kepolisian menunjukkan bahwa Poldasu dan jajarannya telah abuse of power. Hal ini menunjukkan bahwa aparat kepolisian telah gagal melakukan reformasi di sektor keamanan yang seharusnya berfungsi sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Berdasarkan pantauan LBH Medan, di lapangan dari keterangan korban, saksi, beberapa dokumentasi, data, foto dan video yang dikumpulkan, diyakini bahwa aparat kepolisian melakuan kekerasan serta tindakan brutal dalam aksi mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil. “Adapun massa yang ditangkap sekitar 55 orang. Sebanyak 15 orang diantaranya sudah dilepaskan dan 40 orang lain sedang diproses di Poldasu,” pungkas Irvan.

Atas dasar itu, Kantor LBH Medan, membuka posko pengaduan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dalam aksi demontrasi mahasiswa.

Intelijen Kepolisian Buruk

Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerabatan (KontraS) Sumut menilai, betapa buruknya sistem manajemen intelijen kepolisian dalam pengamanan demonstrasi ribuan mahasiswa di depan gedung DPRD Sumatera Utara yang berujung bentrok, Selasa (24/9) lalu. Salah satu buktinya adalah ditangkapnya anggota DPRD Sumut, Pintor Sitorus. Dia juga dipukuli sama seperti yang dialami mahasiswa. Pintor baru dibebaskan setelah nyaris terjadi kericuhan antara petugas sekuriti DPRD dengan Intel yang menangkapnya.

Bukti lainnya, sebagaimana diungkapkan Koordinator Kontras Sumut, Amin Multazam dalam konferensi pers, Rabu (25/9), terjadinya upaya pengejaran mahasiswa oleh polisi hingga ke teritori TNI, yakni ke markas Kodim. Mengarahkan gas air mata ke TNI. “Tidak ada kontrol komandan terhadap pelanggaran yang dilakukan anggotanya, itu bukti lemahnya manajemen intelijen kepolisian,” tegas Amin didampingi aktivis antikekerasan lainnya, Ibrahim (Sahdar) dan Quadi Azzam (SIKAP).

KontraS dalam investasi yang dilakukan pasca demonstrasi mahasiswa berlangsung juga menemukan sejumlah pelanggaran prosedur tetap pengendalian massa. Sesuai dengan Perkap No 16/2006. Bersikap arogan, terpancing perilaku massa, mengucapkan kata-kata kotor, memaki-maki pengunjuk rasa dan sebagainya.

Kepolisian juga disebutkan menyalahi Perkap No 1/2009 karena mengerahkan kekuatan yang berlebihan dalam hal pembubaran massa. Seharusnya tetap menerapkan prinsip akuntabilitas dan terukur. “Contohnya, gas air mata yang dipakai untuk membubarkan massa apakah mereka tahu? Aksi pengeroyokan polisi terhadap satu orang mahasiswa yang tertangkap, apakah itu tindakan yang bisa dibenarkan?” ungkap Amin. (mbc/(man)

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – POLDA Sumut masih memeriksa intensif Bripda FPS, oknum Polri yang diduga melakukan penganiayaan dan penghinaan kepada anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD Sumut, Pintor Sitorus dalam demo ribuan mahasiswa yang berunjung bentrok di depan Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Selasa (24/9). Sejauh ini, sudah 15 personel kepolisian yang diperiksa, bahkan 5 di antaranya sudah berurusan dengan Propam.

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengatakan, Bripda FDS saat ini sudah dalam penanganan Bidang Propam. Namun kata Tatan, aksi di luar prosedur yang dilakukan Bripda FPS itu terjadi karena anggota dewan tersebut melakukan perekaman. “Jadi awalnya anggota tersebut mengingatkan untuk tidak merekam, namun anggota dewan itu terus merekam saat terjadinya pengamanan,” beber Tatan.

Dilanjutkan Tatan, karena sudah diperingatkan namun tetap merekam, maka terjadi selisih paham di antara Bripda FPS dengan Pintor Sitorus. “Ya itu tadi, terjadi bantahan-bantahan, sehingga terjadilah hal seperti itu (penghinaan dan penganiayaan),” jelasnya.

Saat disinggung, apakah Bripda FPS yang mengenakan kaos hitam seperti di rekaman video, Tatan mengaku tidak tahu dan tidak mengenalnya. “Oh nggak tahu aku, soalnya kan bukan anggotaku,” jawab Tatan.

Sementara, berdasarkan laporan yang ia terima sampai saat ini, sudah 15 oknum dari 12 oknum sebelumnya yang sudah diperiksa terkait dugaan penganiayaan dalam pengamanan unjuk rasa tersebut. “Jadi tindakan di luar prosedur itu ada 5 anggota yang sudah diperiksa dan ditindak Propam,” tegas juru bicara Kapoldasu ini.

Menurut Tatan, pihaknya terus menggali dan melakukan pengembangan untuk mencari bukti anggota lainnya yang melakukan tindakan di luar prosedur tadi. “Masih terus kita dalami dan kembangkan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Sekretaris DPD Gerindra Sumut, Robert Lumbantobing mengungkapkan, Pintor Sitorus sedang mempertimbangkan untuk melaporkan insiden pemukulan itu kepada Bidang Propam Polda Sumut. “Terkait sikap partai, dari yang kami peroleh info dari fraksi baha pihak propam cukup koperatif dan Pintor Sitorus mempertimbangkan utk melaporkannya (ke propam). Kita tunggu saja, mudah-mudaban ada solusi terbaik agar masalah ini terselesaikan secepatnya,” katanya, ketika dikonfirmasi, Kamis (26/9).

Gerindra, kata dia, sangat menyesalkan kejadian tersebut. Di mana, partai lewat fraksi sudah menyatakan sikap dan protes dan telah melaporkan kejadian tersebut ke pimpinan dewan. “Ini preseden tidak bagus bagi lembaga DPRD. Kita heran, bagaimana mungkin seorang anggota DPRD Sumut bisa dipukuli oleh oknum polisi. Apa tidak tau bahwa yang dipukuli itu seorang anggota dewan. Siapapun itu kiranya tidak bisa asal main pukul begitu,” terangnya.

“Tentu kita mendukung fraksi Gerindra dan kita juga akan minta fraksi melaporkan kejadian dan langkah-langkah yang diambil tersebut. Semoga dan berharap dikemudian hari tidak terulang hal-hal yang demikian,” imbuhnya.

LBH Medan Desak Kapolri Copot Kapoldasu

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mendesak Kapolri, Jenderal Pol Tito Karnavian untuk melakukan evaluasi terhadap Kapoldasu, Irjen Pol Agus Andrianto. Pasalnya, Kapoldasu dinilai bertanggungjawab serta menindak tegas anggotanya secara etik dan pidana yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa di DPRD Sumut, Selasa (24/9) lalu.

“Kapolri harus evaluasi Kapoldasu yang bertanggung jawab penuh atas tindakan kekerasan oknum aparat kepada massa aksi. Kapoldasu harus meminta maaf dan bertanggungjawab kepada korban kekerasan oleh polisi dengan menanggung segala biaya perawatan medis,” tandas Wakil Direktur LBH Medan, Irvan Syahputra, Kamis (26/9).

Bahkan, LBH Medan meminta Kompolnas untuk melakukan pemantauan serta pengawasan terhadap penindakan oknum polisi kepada mahasiswa yang berunjuk rasa menolak RUU KUHP dan RUU KPK. Selain itu, LBH Medan meminta Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh terhadap tindak kekerasan polisi kepada massa aksi khususnya mahasiswa dan jurnalis.

“Akibat tindakan represif kepolisian, banyak mahasiswa mengalami luka lebam di kepala, patah tulang tangan, luka memar, luka robek, pingsan, iritasi matadan ganguan pernafasan akibat kekerasan fisik berupa pemukulan, tendangan, hantaman pentungan, diseret, dan dikeroyok serta diduga satu orang korban diantaranya adalah anggota dewan,” jelas Irvan.

Menurutnya, polisi menggunakan kekuatan secara berlebihan kepada massa aksi. Padahal, sebagian besar dari massa tidak melakukan perlawanan sama sekali. Hal ini menunjukkan aparat tidak proporsional dalam menggunakan kekuatan bahkan dilakukan secara membabi buta. “Tindakan represif aparat telah melanggar HAM dan mencederai hak kebebasan berpendapat serta berekspresi yang dijamin oleh konstitusi,” tegasnya.

Irvan mengungkapkan, bahwa segala bentuk tindakan aparat kepolisian menunjukkan bahwa Poldasu dan jajarannya telah abuse of power. Hal ini menunjukkan bahwa aparat kepolisian telah gagal melakukan reformasi di sektor keamanan yang seharusnya berfungsi sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Berdasarkan pantauan LBH Medan, di lapangan dari keterangan korban, saksi, beberapa dokumentasi, data, foto dan video yang dikumpulkan, diyakini bahwa aparat kepolisian melakuan kekerasan serta tindakan brutal dalam aksi mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil. “Adapun massa yang ditangkap sekitar 55 orang. Sebanyak 15 orang diantaranya sudah dilepaskan dan 40 orang lain sedang diproses di Poldasu,” pungkas Irvan.

Atas dasar itu, Kantor LBH Medan, membuka posko pengaduan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dalam aksi demontrasi mahasiswa.

Intelijen Kepolisian Buruk

Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerabatan (KontraS) Sumut menilai, betapa buruknya sistem manajemen intelijen kepolisian dalam pengamanan demonstrasi ribuan mahasiswa di depan gedung DPRD Sumatera Utara yang berujung bentrok, Selasa (24/9) lalu. Salah satu buktinya adalah ditangkapnya anggota DPRD Sumut, Pintor Sitorus. Dia juga dipukuli sama seperti yang dialami mahasiswa. Pintor baru dibebaskan setelah nyaris terjadi kericuhan antara petugas sekuriti DPRD dengan Intel yang menangkapnya.

Bukti lainnya, sebagaimana diungkapkan Koordinator Kontras Sumut, Amin Multazam dalam konferensi pers, Rabu (25/9), terjadinya upaya pengejaran mahasiswa oleh polisi hingga ke teritori TNI, yakni ke markas Kodim. Mengarahkan gas air mata ke TNI. “Tidak ada kontrol komandan terhadap pelanggaran yang dilakukan anggotanya, itu bukti lemahnya manajemen intelijen kepolisian,” tegas Amin didampingi aktivis antikekerasan lainnya, Ibrahim (Sahdar) dan Quadi Azzam (SIKAP).

KontraS dalam investasi yang dilakukan pasca demonstrasi mahasiswa berlangsung juga menemukan sejumlah pelanggaran prosedur tetap pengendalian massa. Sesuai dengan Perkap No 16/2006. Bersikap arogan, terpancing perilaku massa, mengucapkan kata-kata kotor, memaki-maki pengunjuk rasa dan sebagainya.

Kepolisian juga disebutkan menyalahi Perkap No 1/2009 karena mengerahkan kekuatan yang berlebihan dalam hal pembubaran massa. Seharusnya tetap menerapkan prinsip akuntabilitas dan terukur. “Contohnya, gas air mata yang dipakai untuk membubarkan massa apakah mereka tahu? Aksi pengeroyokan polisi terhadap satu orang mahasiswa yang tertangkap, apakah itu tindakan yang bisa dibenarkan?” ungkap Amin. (mbc/(man)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/