30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Sumut Merdeka Digagas

MEDAN-Gagasan Sumut Merdeka yang digulirkan sejumlah akademisi merupakan satu revolusi pemikiran. Munculnya gagasan dikarenakan adanya kekecewaan terhadap sejumlah produk aturan Pemerintah Pusat yang cenderung memelihara kemiskinan dan kebodohan.

Pernyataan itu disampaikan sejumlah akademisi seperti Prof DR HM Arif Nasution MA, Prof DR Marlon Sihombing  MA, DR Amir Purba MA,
DR Warjio MA dan sejumlah mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU), Selasa (26/11) saat ditemui di Kampus Pasca Sarjana Studi Pembangunan USU. Sejumlah nama lainnya yang ikut menggagas adalah DR Abdul Hakim Siagian M Hum, Prof Tan Kamello, DR Sahidin SH MHum, Drs Toni P Situmorang, DR Edi Ikhsan, serta mantan Panwaslu Sumut David Susanto.

Prof Arif mengatakan, gagasan Sumut Merdeka awalnya muncul dalam satu diskusi sejumlah akademisi, politisi, dan praktisi hukum. Dari sebuah diskusi, maka muncullah gagasan Sumut Merdeka. Dalam hal ini, gagasan Sumut Merdeka itu merupakan satu revolusi pemikiran.

Dia menyebutkan, gagasan muncul dikarenakan beberapa sebab, di antaranya persoalan produk aturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah Pusat terhadap Sumatera Utara, kecenderungannya provinsi dikeruk hasilnya sedangkan pembangunan pesat ada di pulau lain.

“Kondisi sekarang saya lihat masyarakat cenderung dibodohi dengan sistem pemberian bantuan tunai. Akibat sistem kebodohan yang dibuat, masyarakat semakin miskin. Apalagi, masyarakat yang menduduki tanah adat sampai 100 tahun dengan semena-mena tergeser akibat kepentingan elit Pemerintah Pusat yang memasukkan perusahaan koleganya,” ucapnya.

Direktur Pasca Sarjana Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU) ini membeberkan, saat ini Pemerintah Pusat belum memberikan perhatiannya terhadap Sumut. Seperti bagi hasil tambang, dan bagi hasil perkebunan hingga kini belum kembali ke Sumut. Bila disebutkan Bandara Kualanamu dibangun dengan anggaran Rp5,4 triliun, maka hitungannya berapa yang sudah diambil dari Sumut.

“Saya lihat sangat tidak sepadan apa yang sudah diambil Pemerintah Pusat dengan apa yang dikembalikan dalam bentuk pembangunan di Sumut,” sebutnya.

Dia menyatakan, jika hari ini Sumut disebut sebagai penyumbang penghasilan terbesar dari sektor perkebunan, tentunya saat ini Sumut bertanya apa yang diberikan kepada Sumut.  “Inikan sama saja menghisap pendapatan dari Sumut, sedangkan masyarakatnya didiamkan saja tanpa dipedulikan. Bahkan, masyarakat yang mendiami tanah adat cenderung jadi korban kontak fisik. Kekecewaan inilah yang memunculkan Sumut Merdeka,” ujarnya.

Lebih lanjut, mantan Dekan Fisipol USU menegaskan, bila ada intelijen ataupun aparat yang menyatakan gerakan makar, tentunya perlu dilihat apakah sebuah pemikiran disebut makar. “Inikan karena luapan kekecewaan akibat Pemerintah Pusat tak bersikap adil kepada masyarakat di Sumut, jadi muncul gerakan pemikiran Sumut Merdeka,” sebutnya.

Sedangkan Prof Marlon menyebutkan, masyarakat Sumut saat ini seperti pemirsa dalam panggung pertunjukkan, Sumut dijadikan ladang elit partai politik. Kecendrungannya, elit politik datang membawa kepentingannya. Padahal, masyarakat butuh implementasi kebutuhan masyarakat. “Sumut Merdeka harusnya bisa menjadi pendongkrak semangat para elit untuk memperhatikan Sumut,” ucapnya.

Di tempat yang sama, Bengkel Ginting menyatakan, Sumut Merdeka datangnya dari pemikiran akademisi, politisi dan praktisi hukum serta NGO.  Gagasan itu muncul setelah adanya diskusi. Hal ini dikarenakan adanya ketidakadilan yang dibuat Pemerintah Pusat.

Dia menyebutkan, kecenderungannya draft peraturan yang dibawa ke akademisi hanya untuk pembenaran saja, sedangkan keputusan dan prilakunya berbeda dari draft. Para elit pemerintah dan partai politik seperti menghisap keuntungan dari Sumut.

“Jika masyarakat menyambutnya membentuk gerakan Sumut Merdeka, tentunya itu diserahkan kepada masyarakat. Karena kedaulatan ada di tangan rakyat,” sebutnya.

Mantan komisioner KPU Sumut ini juga menegaskan, sebelumnya gagasan Sumut Merdeka juga sudah pernah ada, lahirnya justru dari elit partai politik di DPRD Sumut. Bahkan, sebelumnya ada gerakan PRRI Permesta dipimpin oleh Maluddin Simbolon yang menyuarakan Sumatera Merdeka.

“Jadi jika saat ini disebut makar, tentunya ini perlu dilihat lagi konteksnya,” ujarnya.

Sementara itu, Amir Purba berpendapat, komposisi gerakan itu ada idealogi, organisasi, massa, dan kekuatan. Bila sifatnya masih gagasan, tentu belum terbangun gerakan. “Mengarah ada, tapi sifatnya gagasan. Tapi sebenarnya embrio Sumut Merdeka itu ada ketika Kolonel Simbolon,” ucapnya.

Kemendagri: Ini Termasuk Separatis

Gagasan Sumut Merdeka yang digulirkan sejumlah akademisi mendapat reaksi keras dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri (Kesbangpol Kemendagri).

Salah seorang pejabat di Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bahtiar, mendorong aparat hukum untuk bertindak tegas karena gagasan Sumut Merdeka sudah masuk kategori gerakan separatis.

“Kalau itu benar, aparat tidak boleh ragu, aparat bisa langsung bertindak karena itu sudah termasuk gerakan separatis dan gerakan separatis tergolong tindak pidana,” ujar Bahtiar, yang selama ini kerap bertindak sebagai jubir Ditjen Kesbangpol Kemendagri, kepada koran ini kemarin.

Bahtiar mengatakan, sebagai akademisi, mestinya memberikan masukan berdasar kajian ilmiah dan disampaikan secara resmi ke pemerintah.  “Ini era demokrasi, siapa pun boleh berbicara, memberikan masukan, kritik, dan segala macam. Tapi kalau sudah mengingkari kesepakatan bahwa sistem kita NKRI harga mati, ya itu sudah separatis,” tegas birokrat bergelar doktor itu.

Bahtiar curiga, para akademisi penggagas Sumut Merdeka itu didomplengi kepentingan asing. “Mereka itu binaan siapa? Jangan-jangan agen asing?” ujar Bahtiar dengan nada tinggi. Dia mengatakan, pihaknya akan segera melakukan pengecekan kabar ini.

Tanggapan senada disampaikan Ray Rangkuti. Aktivis gerakan masyarakat sipil asal Mandaling Natal ini juga tidak sepakat dengan gagasan Sumut Merdeka. Bahkan, lanjut Ray, gagasan itu bertentangan dengan sejarah perjuangan tokoh-tokoh Sumut.

“Gagasan Sumut Merdeka itu ahistoris. Jong Sumatera dulu banyak tokohnya dari Sumut. Begitu juga, tokoh-tokoh militer asal Sumut justru terkenal terlibat membasmi gerakan separatis. Sebutlah TB Silalahi dan AH Nasution. Mereka semua jiwanya dari Sabang sampai Merauke,” ujar Ray.

Ditegaskan Ray, tidak ada alasan bagi Sumut untuk merdeka, memisahkan diri dari NKRI. “Kasihan para pejuang dan tokoh dari Sumut jika gagasan Sumut Merdeka digulirkan. Karena mereka tak pernah punya angan-angan memisahkan diri dari NKRI,” pungkas Ray. (ril/sam)

MEDAN-Gagasan Sumut Merdeka yang digulirkan sejumlah akademisi merupakan satu revolusi pemikiran. Munculnya gagasan dikarenakan adanya kekecewaan terhadap sejumlah produk aturan Pemerintah Pusat yang cenderung memelihara kemiskinan dan kebodohan.

Pernyataan itu disampaikan sejumlah akademisi seperti Prof DR HM Arif Nasution MA, Prof DR Marlon Sihombing  MA, DR Amir Purba MA,
DR Warjio MA dan sejumlah mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU), Selasa (26/11) saat ditemui di Kampus Pasca Sarjana Studi Pembangunan USU. Sejumlah nama lainnya yang ikut menggagas adalah DR Abdul Hakim Siagian M Hum, Prof Tan Kamello, DR Sahidin SH MHum, Drs Toni P Situmorang, DR Edi Ikhsan, serta mantan Panwaslu Sumut David Susanto.

Prof Arif mengatakan, gagasan Sumut Merdeka awalnya muncul dalam satu diskusi sejumlah akademisi, politisi, dan praktisi hukum. Dari sebuah diskusi, maka muncullah gagasan Sumut Merdeka. Dalam hal ini, gagasan Sumut Merdeka itu merupakan satu revolusi pemikiran.

Dia menyebutkan, gagasan muncul dikarenakan beberapa sebab, di antaranya persoalan produk aturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah Pusat terhadap Sumatera Utara, kecenderungannya provinsi dikeruk hasilnya sedangkan pembangunan pesat ada di pulau lain.

“Kondisi sekarang saya lihat masyarakat cenderung dibodohi dengan sistem pemberian bantuan tunai. Akibat sistem kebodohan yang dibuat, masyarakat semakin miskin. Apalagi, masyarakat yang menduduki tanah adat sampai 100 tahun dengan semena-mena tergeser akibat kepentingan elit Pemerintah Pusat yang memasukkan perusahaan koleganya,” ucapnya.

Direktur Pasca Sarjana Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU) ini membeberkan, saat ini Pemerintah Pusat belum memberikan perhatiannya terhadap Sumut. Seperti bagi hasil tambang, dan bagi hasil perkebunan hingga kini belum kembali ke Sumut. Bila disebutkan Bandara Kualanamu dibangun dengan anggaran Rp5,4 triliun, maka hitungannya berapa yang sudah diambil dari Sumut.

“Saya lihat sangat tidak sepadan apa yang sudah diambil Pemerintah Pusat dengan apa yang dikembalikan dalam bentuk pembangunan di Sumut,” sebutnya.

Dia menyatakan, jika hari ini Sumut disebut sebagai penyumbang penghasilan terbesar dari sektor perkebunan, tentunya saat ini Sumut bertanya apa yang diberikan kepada Sumut.  “Inikan sama saja menghisap pendapatan dari Sumut, sedangkan masyarakatnya didiamkan saja tanpa dipedulikan. Bahkan, masyarakat yang mendiami tanah adat cenderung jadi korban kontak fisik. Kekecewaan inilah yang memunculkan Sumut Merdeka,” ujarnya.

Lebih lanjut, mantan Dekan Fisipol USU menegaskan, bila ada intelijen ataupun aparat yang menyatakan gerakan makar, tentunya perlu dilihat apakah sebuah pemikiran disebut makar. “Inikan karena luapan kekecewaan akibat Pemerintah Pusat tak bersikap adil kepada masyarakat di Sumut, jadi muncul gerakan pemikiran Sumut Merdeka,” sebutnya.

Sedangkan Prof Marlon menyebutkan, masyarakat Sumut saat ini seperti pemirsa dalam panggung pertunjukkan, Sumut dijadikan ladang elit partai politik. Kecendrungannya, elit politik datang membawa kepentingannya. Padahal, masyarakat butuh implementasi kebutuhan masyarakat. “Sumut Merdeka harusnya bisa menjadi pendongkrak semangat para elit untuk memperhatikan Sumut,” ucapnya.

Di tempat yang sama, Bengkel Ginting menyatakan, Sumut Merdeka datangnya dari pemikiran akademisi, politisi dan praktisi hukum serta NGO.  Gagasan itu muncul setelah adanya diskusi. Hal ini dikarenakan adanya ketidakadilan yang dibuat Pemerintah Pusat.

Dia menyebutkan, kecenderungannya draft peraturan yang dibawa ke akademisi hanya untuk pembenaran saja, sedangkan keputusan dan prilakunya berbeda dari draft. Para elit pemerintah dan partai politik seperti menghisap keuntungan dari Sumut.

“Jika masyarakat menyambutnya membentuk gerakan Sumut Merdeka, tentunya itu diserahkan kepada masyarakat. Karena kedaulatan ada di tangan rakyat,” sebutnya.

Mantan komisioner KPU Sumut ini juga menegaskan, sebelumnya gagasan Sumut Merdeka juga sudah pernah ada, lahirnya justru dari elit partai politik di DPRD Sumut. Bahkan, sebelumnya ada gerakan PRRI Permesta dipimpin oleh Maluddin Simbolon yang menyuarakan Sumatera Merdeka.

“Jadi jika saat ini disebut makar, tentunya ini perlu dilihat lagi konteksnya,” ujarnya.

Sementara itu, Amir Purba berpendapat, komposisi gerakan itu ada idealogi, organisasi, massa, dan kekuatan. Bila sifatnya masih gagasan, tentu belum terbangun gerakan. “Mengarah ada, tapi sifatnya gagasan. Tapi sebenarnya embrio Sumut Merdeka itu ada ketika Kolonel Simbolon,” ucapnya.

Kemendagri: Ini Termasuk Separatis

Gagasan Sumut Merdeka yang digulirkan sejumlah akademisi mendapat reaksi keras dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri (Kesbangpol Kemendagri).

Salah seorang pejabat di Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bahtiar, mendorong aparat hukum untuk bertindak tegas karena gagasan Sumut Merdeka sudah masuk kategori gerakan separatis.

“Kalau itu benar, aparat tidak boleh ragu, aparat bisa langsung bertindak karena itu sudah termasuk gerakan separatis dan gerakan separatis tergolong tindak pidana,” ujar Bahtiar, yang selama ini kerap bertindak sebagai jubir Ditjen Kesbangpol Kemendagri, kepada koran ini kemarin.

Bahtiar mengatakan, sebagai akademisi, mestinya memberikan masukan berdasar kajian ilmiah dan disampaikan secara resmi ke pemerintah.  “Ini era demokrasi, siapa pun boleh berbicara, memberikan masukan, kritik, dan segala macam. Tapi kalau sudah mengingkari kesepakatan bahwa sistem kita NKRI harga mati, ya itu sudah separatis,” tegas birokrat bergelar doktor itu.

Bahtiar curiga, para akademisi penggagas Sumut Merdeka itu didomplengi kepentingan asing. “Mereka itu binaan siapa? Jangan-jangan agen asing?” ujar Bahtiar dengan nada tinggi. Dia mengatakan, pihaknya akan segera melakukan pengecekan kabar ini.

Tanggapan senada disampaikan Ray Rangkuti. Aktivis gerakan masyarakat sipil asal Mandaling Natal ini juga tidak sepakat dengan gagasan Sumut Merdeka. Bahkan, lanjut Ray, gagasan itu bertentangan dengan sejarah perjuangan tokoh-tokoh Sumut.

“Gagasan Sumut Merdeka itu ahistoris. Jong Sumatera dulu banyak tokohnya dari Sumut. Begitu juga, tokoh-tokoh militer asal Sumut justru terkenal terlibat membasmi gerakan separatis. Sebutlah TB Silalahi dan AH Nasution. Mereka semua jiwanya dari Sabang sampai Merauke,” ujar Ray.

Ditegaskan Ray, tidak ada alasan bagi Sumut untuk merdeka, memisahkan diri dari NKRI. “Kasihan para pejuang dan tokoh dari Sumut jika gagasan Sumut Merdeka digulirkan. Karena mereka tak pernah punya angan-angan memisahkan diri dari NKRI,” pungkas Ray. (ril/sam)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/