MEDAN, SUMUTPOS.CO – Seringnya anggota DPRD Sumatera Utara melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar provinsi selama beberapa bulan belakangan ini, mendapat sorotan. Karena konon memakan biaya perjalanan dinas hingga Rp21 juta per pekan.
Menanggapi sorotan tersebut, anggota Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Sumut, Jonius Taripar Parsaoran Hutabarat, mengatakan kunker yang dilakukan adalah bagian dari kerja-kerja DPRD, sesuai peraturan dan kewenangan yang dimiliki.
“Apapun ceritanya DPR ;kan kerja. Kerja itu bisa di kantor, dalam kota dan luar kota. Kita ‘kan perlu membandingkan persoalan di daerah kita dengan daerah lain,” katanya menjawab Sumut Pos, Kamis (27/2)n
Salahsatu contoh, kata dia, ada peraturan daerah di provinsi lain yang berjalan, sementara di Sumut tidak. “Misalkan Bali, kenapa bisa maju wisatanya? Apa perda yang mereka pakai? Kenapa di Sumut tidak? Jadi bisa kita bandingkan. Dan hampir sama dengan pemda-nya juga (studi banding luar provinsi),” kata pria yang akrab dipanggil JTP ini.
Meski demikian, ia mengamini, kunker yang dilakukan sejumlah komisi kebetulan dapat bersamaan dalam satu waktu. Penyebabnya, karena lembaga legislatif memiliki banyak alat kelengkapan dewan (AKD) dan badan.
“Tapi setiap hari, tetap ada DPR yang piket di kantor. Biasanya yang piket menerima aduan-aduan langsung masyarakat,” katanya.
Disinggung mengenai anggota komisi yang piket namun ternyata tidak berada di gedung dewan untuk menerima aspirasi rakyat, Sekretaris Komisi A ini menyebut hal tersebut perlu ada koreksi ke depan.
“DPR ini kita pertanggungjawabannya pribadi-pribadi. Jadi kita juga sifatnya ada kegiatan lain. Tapi yang pasti, ketika komisi ini piket, pasti ada yang piket. Namun jika apa yang disampaikan media tentang ini benar, mari sama-sama kita koreksi. Pemerintah juga silakan koreksi. Sebab tata cara kerja DPR juga ada di situ,” kata mantan Kapolres Tapanuli Utara tersebut.
Mengenai surat perintah perjalanan dinas (SPPD) yang dapat diraup setiap legislatif per pekan hingga Rp21 juta, politisi Partai Persatuan Indonesia (Perindo) ini membantahnya. “Tidak mungkin kita lakukan kunker selama seminggu. Paling hebat juga empat hari. Ini bisa ditanyakan. Jadi gak sampailah segitu (Rp21 juta/pekan). Gaji kita saja sekarang lebih kecil dibanding DPR sebelumnya,” pungkasnya.
Pengamat anggaran, Elfenda Ananda, mengatakan kunker DPRD sebaiknya diatur mulai tujuan (aspek perencanaan) hingga (akuntabilitas) pertanggungjawaban. Dari aspek perencanaan, tentu bisa ditentukan tujuannya apa, dan apa yang hendak dicapai. “Dari sisi akuntabilitas harusnya bisa ditunjukkan apa hasil dan manfaaf dari perjalanan dinas itu.
“Sehingga akan terukurlah aspek efesiensi dan efektifitasnya. Selain itu, sekarang ini zaman teknologi, di mana bisa saja utusan rombongan 2 atau 3 orang saja, trus video call apa yang hendak disampakan. Tentunya ini bisa menghemat. Ya, seharusnya mulai tujuan kunjungan hingga materi rapat harus disiapkan,” ujarnya.
Mantan sekretaris FITRA Sumut ini menambahkan, laporan setiap kunjungan dewan juga harus dipublikasikan, sehingga masyarakat tau apa yang dikerjakan di sana. Sebab, bisa saja masyarakat datang ke gedung dewan untuk menyampaikan aspirasi. Namun karena semua pergi melakukan perjalanan dinas, akhirnya masyarakat tidak dapat dilayani.
“Jadi, efektifitas dan akuntabilitas dari sebuah perjalanan dinas itu harus tergambar jelas. Selain itu, untuk melayani masyarakat perlu ada pengaturan keberangkatan. Jangan sampai kantor kosong dan tidak ada pelayanan,” pungkasnya. (prn)