Dipercaya menjadi bupati, bukan perkara mudah bagi Rita Widyasari. Banyak tantangan yang harus ia taklukkan selama memimpin Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim. Atas prestasinya itu pula, Rita dianugerahi cindera mata oleh Direktur Utama JPNN.com Rida K Liamsi usai menghadiri Forum Pemred Jawa Pos Grup di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (26/8) malam.
WANITA berusia 40 tahun ini memandang jabatan yang ia emban sekarang sebagai bentuk pengabdian bagi masyarakat. Karena itulah, Rita tak mau mensia-siakan kepercayaan masyarakat dengan melakukan berbagai penyimpangan, seperti korupsi. Terlebih, ayahnya yakni Syaukani Hasan Rais, merupakan mantan bupati di Kutai Kartanegara.
Karenanya, wanita berhijab ini berusaha menjauhkan diri dari korupsi dan menjaga nama baik keluarga. Dia juga mengaku trauma bila mendengar kata-kata korupsi. Menurutnya, soal korupsi, itu merupakan sikap tegas yang tak hanya diucapkan dimulut saja, namun juga harus dilakukan dengan tindakan nyata.
“Pekerjaan bupati adalah pengabdian saya dan bapak saya. Sejak awal, saya juga nggak mau korupsi, mudah-mudahan sampai akhir jabatan saya jauh dari korupsi. Itu kemampuan saya untuk menolak (korupsi),” ujar Rita saat menghadiri acara Forum Pemred Jawa Pos Group di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (26/8) malam.
Rita juga tak memungkiri bahwa jabatan yang saat ini ia emban, cukup mengiurkan untuk melakukan korupsi, namun ia memilih untuk tak melakukannya dan berusaha menjauhkan diri.
Mengenai gaji sebagai bupati, Rita mengaku tak peduli berapa ia mendapatkan gaji perbulan. Bahkan ia juga jarang mengecek ataupun menghitung setiap gaji perbulan yang diterimanya. Baginya, yang terpenting adalah bekerja untuk Kutai Kartanegara, soal gaji urusan nomor kesekian.
“Saya nggak peduli berapa gaji saya. Saya juga nggak tahu gaji saya ada berapa saat ini. Yang penting saya kerja,” seru dia.
Soal gaya memimpin Kutai Kartanegara, ia mengaku tak punya cara khusus, apa yang ia lakukan selama ini dikatakan Rita bukanlah sebuah manipulasi untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Pernah sekali waktu, Rita belajar komunikasi agar memiliki gaya berbicara yang enak dipandang saat berada di depan umum, namun dia justru malah kagok dan tak menjadi dirinya sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus merubah penampilan.
“Style saya juga ya begini-begini saja. Pernah saya belajar komunikasi, cuma pas pegang mic berubah semua, saya jadi nggak bisa ngomong apa-apa. Jadi gaya saya ya, begini saja, nggak dibuat-buat. Jangan dipikir enak jadi bupati, dua kaki ini, bisa satu penjara satu neraka. Bebannya luar biasa,” tandas wanita kelahiran Tenggarong, 11 November 1973.
Rita Widyasari punya harapan khusus bagi presiden baru periode 2014-2019. Bupati berparas cantik ini berharap Jokowi-JK lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil devisa terbesar bagi Indonesia, seperti Kabupaten Kutai Kertanegara.
Selama ini kata Rita, banyak ketidakadilan yang diterima oleh pemerintah daerah penghasil migas dan batubara terbesar dalam hal Dana Bagi Hasil (DBH).
“Luas Kutai Kertanegara itu berpuluh kali luas kota Jakarta atau Solo. Dari daerah kami, negara mendapatkan pemasukan hingga Rp 132 triliun. Namun kembali untuk daerah hanya sekitar Rp 3,2 triliun. DBH yang kami terima mungkin terlihat banyak. Tapi, daerah kami selama ini tertinggal dan butuh banyak anggaran untuk mengejar ketertinggalan itu,” ucap Rita daat berdiskusi dengan para Pimred Jawa Pos Group.
Rita lantas mencontohkan, di daerahnya masih minim fasilitas publik seperti jalan, jembatan, sekolah bahkan rumah sakit. Inilah yang pelan-pelan coba dibangun Kutai Kertanegara dari APBD yang jumlahnya sedikit.
“Kami selalu disebut kaya. Tapi yang harus dibangun di Kutai Kertanegara itu sangat banyak sekali. Baru di masa pemerintahan saya ada rumah sakit di daerah kami. Kalau dulu, banyak sekali Ibu-ibu meninggal saat akan melahirkan karena kelamaan di perjalanan. Masih banyak pemukiman kumuh, jalan rusak, pendidikan yang tak memadai dan banyak hal lainnya,” bebernya.
Selama ini, kata Rita, ia sudah mengirimkan banyak surat kepada pihak-pihak terkait, seperti Menteri Keuangan dan DPR. Salah satunya meminta agar penghitungan lifting minyak yang menjadi dasar menghitung DBH dilakukan lebih transparan. Namun hal itu tak kunjung menjadi kenyataan.
“Saya kadang pernah merenung, andai setahun saja hasil eksploitasi bumi Kukar tidak disetor ke negara, setahun saja semua itu untuk Kukar, mungkin kami bisa membangun banyak hal untuk kepentingan rakyat kami. Sudah selayaknya daerah penghasil disejahterakan dulu, agar kami tidak terlihat seperti orang kaya dengan pakaian sobek di sana sini. Lebih bagus disebut miskin sekalian daripada kaya tapi tak bisa menikmati kekayaan,” kisah Bupati yang pernah menyumbang setengah miliar dari uang pribadinya untuk Palestina ini.
arenanya, wanita berumur 40 tahun ini berharap, pemerintahan Jokowi-JK dapat berlaku lebih adil bagi daerah-daerah penghasil. Sudah selayaknya daerah penghasil mendapatkan lebih, karena hasil bumi mereka selama ini dieksploitasi untuk kepentingan negara dan dibagi-bagikan pada banyak daerah lainnya.
“Kami berharap pada pemerintahan Jokowi-JK, memberi keadilan dengan menaikan DBH bagi daerah penghasil. Karena banyak sekali ketertinggalan yang harus kami kejar. Selama ini Kutai Kertanegara banyak berharap dari DBH. Kami ibarat orang kaya yang bisa bangkrut kapan saja. Untuk itu kami minta diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat,” harap Rita.
(chi/jpnn/val)