Site icon SumutPos

Eks Gafatar Asal Medan Sudah di Semarang

ANTARA FOTO/R. Rekotomo Petugas membantu warga eks-anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang baru turun dari KRI Teluk Gilimanuk saat tiba di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jateng, Senin (25/1). Berdasarkan data penumpang, dari 359 eks-Gafatar yang diangkut KRI Teluk Gilimanuk, 300 orang di antaranya berasal dari Yogyakarta dan selanjutnya mereka akan dibawa ke Asrama Haji Donohudan Boyolali.
ANTARA FOTO/R. Rekotomo
Petugas membantu warga eks-anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang baru turun dari KRI Teluk Gilimanuk saat tiba di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jateng, Senin (25/1). Berdasarkan data penumpang, dari 359 eks-Gafatar yang diangkut KRI Teluk Gilimanuk, 300 orang di antaranya berasal dari Yogyakarta dan selanjutnya mereka akan dibawa ke Asrama Haji Donohudan Boyolali.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dari 1.281 mantan anggota Gafatar yang tiba di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Rabu (27/1), ternyata tak semua asli dari Jawa yang tinggal di Mempawah. Sebagian di antaranya adalah warga Medan yang selama ini tinggal di Ketapang. Para eks Gafatar itu mengakui punya tujuan untuk menjadikan negara ini kembali swasembada pangan.

Itu diungkapkan koordinator eks Gafatar wilayah Medan, M Sofyan. Namun ia menegaskan keinginan menjadikan negara swasembada pangan tidak dengan kegiatan Gafatar yang sudah dibubarkan.

“Kita jauh-jauh sudah tinggalkan yang namanya eks Gafatar, kan sudah bubar bulan Agustus lalu, ini sudah pribadi. Kita memang ingin mengembalikan bangsa ini swasembada pangan. Ingin menjadikan negara ini yang berdaulat dalam ketahanan pangan,” kata Sofyan.

Ia juga menjelaskan, rombongannya ikut ke Jawa karena instruksi dari pemerintah setempat, bukan karena ada konflik seperti di Mempawah. Sofyan mengakui kelompoknya mengolah 62 hektar lahan termasuk dengan cara bekerjasama dengan masyarakat sekitar. “Secara umum kami tidak ingin keluar dari sana, banyak masyarakat yang ingin kami kembali,” tandasnya.

Sementara itu salah satu eks Gafatar dari Medan, Budianto mengatakan dirinya tahu Maul Mufis Tumanurung sebagai pemimpin Gafatar, namun kini ia mengaku sudah tidak lagi bergabung dengan Gafatar. Saat ini ia serius bercocok tanam. Bahkan menjalani ibadah dengan wajar. “Saya tahu (Maul Mufis), dia pemimpin Gafatar kan? Dulu ikut tapi sekarang sudah dibubarkan. Saya itu cuma ingin betani,” ujar Budianto.

Senada diungkapkan Yusuf asal Medan. Ia rela menjual rumah di Medan untuk modal di Kalbar. Namun ia menyayangkan saat akan panen dirinya justru diminta ke Semarang dan nantinya akan diberi pembinaan di asrama Haji Donohudan Boyolali. “Saya sekarang tidak tahu mau ngapain. udah tidak punya apa-apa,” kata Budianto. Diketahui 1.281 pengungsi eks gafatar itu tiba di tanjung Emas. Dari data manifest keberangkatan tercatat orang dewasa 860 jiwa, anak-anak 329 jiwa, bayi 92 jiwa, sepeda 19 unit, motor 39 unit, dan mobil 5 unit.

Keputusan Sendiri Terhadap Kebutuhan
Dari kacamata seorang sosiolog, bergabungnya seseorang ke suatu organisasi bukan karena pengaruh dari yang lain tapi karena keputusannya sendiri. “Jadi bergabungnya seseorang ke organisasi tertentu bukan karena dipengaruhi tetapi karena keputusan dirinya sendiri terhadap kebutuhannya,” ungkap Dra Ria Manurung MSi. Lanjutnya, kebutuhannya terhadap sesuatu membuatnya tertarik untuk menelusuri hal tersebut.

Disinggung mengenai Gafatar, ia pun mampu persepsi sendiri.”Seseorang yang melewati tahap kehidupannya dimasa pembentukan ego, akan mengulang kembali untuk mencari kebutuhan itu, seperti kebutuhan untuk berkumpul, membentuk solidaritas,” terang dosen pasca sarjana ini. Pentingnya pembentukan ego lanjut Ria, untuk menciptakan daya saing apalagi di era industri sekarang. Manusia sebagai makhluk kreatif akan melakukan pencarian terus terhadap kebutuhannya. Khusus bagi anggota Gafatar, kebutuhan akan spritualnya yang rata-rata menjadi modal yakin mereka bergabung.

Ditambah kehilangan tahapan kehidupan dalam pembentukan ego memicu semakin kuatnya keputusan calon anggota untuk bergabung. Menyingkap bagaimana kriteria orang yang kehilangan tahapan kehidupannya, Ria menjelaskan. “Seperti terasing, di dalam keramaian sekalipun orang tersebut merasa sepi. Individu yang semakin meningkat juga menambah kesenjangan ekonomi, membuat seseorang yang hilang prospek tahapan kehidupan mencari jati diri agar dipandang dan diakui,” kata Sekretaris Prodi Sosiologi Pascar Sarjana Fisip USU itu.

Menurut Ria, Semua yang didapatkan dalam pembentukan ego itu akan meningkatkan daya saing. “Pembentukan ego itu penting bagi daya saing di kehidupannya. Tahapan yang dilalui diekspresikan dalam role play. Jika dia menang dalam permainan melalui ekspresi senang, dan jika kalah dalam permainan melalui ekspresi sedih, itu penting dalam masa kanak-kanak,” bebernya. Ria juga menyimpulkan bahwa orangtua menjadi tonggak penting terhadap tumbuh dan kembangnya seorang anak. “Orangtua menjadi penentu bagi perkembangan anak, baik dari segi mental ataupun agama,” ucapnya. (bbs/ham/deo)

Exit mobile version