Sehari Bersama Para Bintara Senior Calon Perwira di SPN Sampali (2-Habis)
Berpikiran positif, salah satu kunci utama menuju sukses. Inilah misi pelatihan Neuro Assosiative Conditioning (NAC) System Polri kepada 261 siswa calon perwira program Sekolah Alih Golongan (SAG) di Sekolah Polisi Negara (SPN) Sampali Jalan Bhayangkara, Medan, Jumat (23/11) hingga Sabtu (24/11) lalu.
Toga MH Siahaan, Medan
“Di MAC kita mengubah mindset cultureset, mengubah pola pikir dan pola sikap yang dinilai belum sesuai dengan keinginan masyarakat,” ujar Iptu Agus Sobarnapraja SH trainer NAC Polri di lingkunan Polda Sumut yang dikoordinir Kompol Safwan Khayat, Jumat lalu.
Pelatihan motivasi ini, intinya membawa peserta untuk belajar bersyukur dengan apa yang dimiliki serta berpikir positif dan berusaha tak kenal menyerah. Lebih dari 5 instruktur NAC yang memberi pelatihan, menekankan pentingnya berpikir positif dan fokus mencapai tujuan.
Digambarkan oleh para instruktur, orang yang berpikir positif akan memancarkan energi positif yang akan ditangkap alam sekitarnya. Efeknya, akan lebih mudah mencapai tujuan yang positif. Sebaliknya, pemikiran negatif akan memancarkan energi negative yang hanya akan memberi dampak buruk.
Untuk membuktikan teori itu, instruktur memanggil empat siswa peserta pendidikan dan pelatihan SAG dan diminta naik ke atas panggung. Dua siswa berdiri di sebelah depan berjarak sekitar 5 meter, dua siswa lainnya berdiri di belakang masing-masing siswa pertama dengan jarak sekitar setengah meter dengan siswa di depannya. Siswa di barisan depan diminta melakukan lancang kanan, mengerahkan segala tenaganya dan siswa di belakangnya diminta menggenggam pergelangan kanan siswa di depannya dan berusaha menurunkan tangan siswa di depannya. Apa yang terjadi? Tentu saja siswa di bagian depan berusaha agar lengannya tak mudah diturunkan, meski akhirnya siswa di belakangnya dengan kesulitan sukses menurunkan lengan siswa di depannya. Tak ada yang istimewa, hal yang wajar saja.
Ceritanya berbeda ketika siswa di depan diminta memancarkan enegri negatif dengan cara menghujat ratusan peserta pelatihan yang duduk di aula. “Coba hujat mereka dalam hati. Marah saja, pikirkan dan katakan hal yang buruk-buruk tentang orang-orang di hadapan Anda di ruangan ini,” ujar instruktur.
Setelah itu, dua siswa yang berdiri di sebelah depan kembali diminta bersikap lancang kanan dan dua siswa di belakangnya diminta menurunkan tangan siswa di depannya. “Bagaimana, sulit mana menurunkan lengan yang pertama atau yang kedua,” tanya instruktur kepada siswa yang berdiri di belakang. “Tenaganya melemah, jauh lebih mudah menurunkanya,” jawab seorang siswa yang berdiri di bagian belakang.
Untuk eksperimen ketiga, siswa diminta mengulangi kegiatan sebelumnya. Kali ini, siswa yang berdiri di depan diminta dengan sepenuh hati dan ikhlas memuji peserta lain di ruangan itu. “Silakan puji para peserta di ruangan ini sebagai bintara terbaik dan terpilih mengikuti SAG. Bayangkan yang hal baik-baik tentang orang-orang di depan Anda. Harus dengan tulus dan ikhlas,” perintah instruktur.
Kemudian, siswa yang berdiri di baris depan kembali diminta lancing kanan dan siswa di belakangnya menggenggam pergelangan tangan kanan siswa di depannya dan dengan sekuat tenaga menurunkannya. “Bagaimana rasanya, apakah sulit atau mudah menurunkan lengan siswa di depan Anda?” tanya instruktur pada dua siswa yang berdiri di barisan belakang. “Susah, tenaganya jadi sangat kuat,” ujar siswa yang ditanya.
“Itulah kekuatan berpikir positif. Melepaskan energi posotif akan memberikan kekuatan bagi Anda dan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang yang berpikir positif bahkan akan disukai orang-orang di sekitarnya,” ujar instruktur dengan pasti dan disambut tepuk tangan para siswa.
Tiba-tiba, Safwan Khayat menyela dan meminta wartawan koran ini dan seorang peserta peninjau lain yang duduk di kursi belakang untuk maju dan mempraktikkan hal yang sama. “Mungkin ada yang beranggapan ini hanya rekayasa. Sekarang, kita hadirkan dua peserta peninjau dari Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB) Kota Medan dan wartawan Sumut Pos. Silakan Anda merasakannya sendiri,” ujar Safwan sambil mengiringi kami menuju panggung.
Memang bukan rekayasa. Efek berpikir positif dan berpikir negatif benar-benar kami rasakan. Saya dengan mudah menurunkan lengan Mahmud K SH MKn, ketika dia diminta mengeluarkan energi negatif dengan menghujat orang-orang di aula itu, tentunya dalam hati. Sebaliknya, tenaganya terasa semakin kuat dan saya kesulitan menurunkan lengan kekarnya ketika Mahmud K terlebih dahulu diminta terlebih dahulu memancarkan energi positif.
“Jadi ini bukan rekayasa. Begitulah pengaruh energi positif dan negatif yang kita alami sehari-hari,” ujar instruktur Iptu Agus Sobarnapraja.
Dalam aktualisasi di kehidupan sehari-hari, ujar Iptu Agus, kekuatan dan pancaran energi negatif dan positif sangat terasa ketika berkendara. “Kalau kita dipepet pengendara lain, tenang saja dan berpikirlah positif. Mungkin pengendara itu buru-buru dan mudah-mudahan tidak celaka. Kalau Anda berpikir akan terjadi kecelakaan, maka celakalah Anda. Itulah kekuatan pikiran,” ujarnya.
Sekali lagi, Iptu Agus Sobarnapraja menegaskan pentingnya bersyukur atas apa yang dimiliki serta berupaya selalu berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari. Agus Sobarnapraja lantas mengungkapkan pengalamannya sebagai refleksi pencapaian dari kekuatan berpikir yang dibarengi tekad yang kuat.
“Sejak SMA saya sangat ingin menjadi perwira Polri setelah lulus sekolah. Karena satu dan lain hal, saya tidak mencoba masuk Akpol, tetapi lulus menjadi bintara dan bertugas di Brimob Kelapa 2. Saya tetap menyimpan tekad untuk menjadi perwira dari Akpol,” kisahnya memulai kesaksian.
Keinginan mencoba seleksi Akpol terbuka saat Agus Sobarnapraja kembali dari tugas pemulihan keamanan pascakonflik di Ambon, akhir 2002. Apa daya, keinginan itu belum tersalur karena di tengah perjalanan pulang di atas kapal, Agus beserta timnya diperintahkan ke Aceh dan ditempatkan di Blang Pidie, Aceh Baratdaya, 9-10 jam perjalanan dari Mapolda NAD di Banda Aceh. Itu artinya, keinginannya mengikuti seleksi Akpol untuk tahun 2003, kembali tertutup.
Awal 2004, Agus Sobarnapraja kembali ke kesatuannya di Kelapa 2, Jakarta. Saat akan mendaftar Akpol, pria bertubuh tegab dengan tinggi badan lebih dari 170 cm ini malah terpilih sebagai petugas khusus pengawal pribadi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menjadi pengawal khusus calon presiden selama satu tahun membuatnya tak mungin mengikuti seleksi Akpol.
Barulah pada 2005, Agus bisa mendaftar masuk Akpol, saat batas usia sudah hampir habis. Apa daya, ternyata dia dinyatakan gagal seleksi pantohir di tingkat daerah di Polda Metro Jaya. Di tahun yang sama, dia direkrut menjadi ajudan Rahmawati Soekarnoputri yang saat itu dipercaya sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres). Beruntung bagi Agus, dia punya kesempatan untuk kuliah Fakultas Hukum di Universitas Bung Karno milik Rahmawati. Nilai memuaskan dicapai dan Agus menuntaskan pendidikan selama 3,5 tahun pada 2008. Meski demikian, tetap saja tidak bias masuk AKpol karena usianya melampaui batas yang disyaratkan, 27 tahun. “Saya tak patah arang, keinginan menjadi perwira Polri tetap kuat lantas mempersiapkan berkas untuk mendaftar Secapa,” jelasnya lagi.
Februari 2008, syarat kepangkatan menjadi taruna Akpol dari jalur bintara Polri berubah, tetapi tetap saja usia Agus sudah tak memenuhi syarat. “Besoknya, di sela-sela tugas di kantor, iseng saya membuka internet. Ternyata tak hanya peraturan kepangkatan berubah, usia peserta seleksi Akpol ditambah setahun menjadi 28 saat batas akhir pendaftaran,” katanya.
Kesempatan. Usia Agus masih 27 tahun, 11 bulan 2 minggu pada batas akhir pendaftaran. Inilah kesempatan terakirnya menjadi perwira dari Akpol. Setelah melengkapi berkas, ia mendaftar dari Polda Metro bersama sekitar 1.250 peserta lain. Dari bintara yang ikut seleksi ada sekitar 350 sampai 400 orang, sisanya dari jalur sipil.
“Kejutan luar biasa. Saat terasa sudah tidak ada lagi jalan, di saat terakhir kesempatan itu muncul dan saya ambil. Saya lulus pada 2010, mencapai cita-cita sebagai perwira dari Akpol dan dapat bonus, menjadi Adhi Makayasa Akpol angkatan 44,” ucapnya bangga.
Adhi Makayasa adalah predikat lulusan terbaik bagi taruna di Akpol. “Dalam hidup, saya punya dua momen bersalaman dengan Pak SBY, tokoh yang saya kagumi. Pertama saat menjadi pengawal pribadi saat beliau menjadi capres pada 2004, kedua saat saya menjadi Adhi Makayasa,” sebutnya.
Sosok SBY menjadi figur teladan baginya, bukan karena yang bersangkutan kini menjadi presiden. “Selama saya menjadi pengawal pribadi beliau tahun 2004, saya mengikuti langkah dan gerak-geriknya dari hal-hal terkecil hingga yang terbesar. Saya kagum dengan disiplin beliau,” beber Agus menyebut alas an mengagumi SBY.
Di akhir pelatihan pada Jumat itu, Koordinator instruktur NAC Polri di lingkungan Polda Sumut, Kompol Safwan Khayat, mengingatkan kembali kekuatan pikiran dan tekad dalam mencapai tujuan. “Fokus pada apa saja yang kita inginkan, minta saja dengan ikhlas pada pada Tuhan, pasti akan terkabul,” ujar Sayfwan pasti. “Besok akan kita buktikan bagaimana kekuatan pikiran bisa membantu kita mencapai tujuan. Peserta akan kita bawa berjalan di atas api tapa mengalami cedera. Agenda besok, peserta akan dibekali materi pemahaman ‘Mata adalah Jendela Hati’ dan ‘Pujian dan Pengharapan Pujian dan Pengharapan,” tutup Safwan. (*)