25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Lahan Diratakan Beko, Puluhan Petani Marah

Dosen PTS di Medan dan Petani Berebut Lahan Perkebunan Sawit

Peristiwa perebutan lahan sawit yang mirip kasus Mesuji Lampung, kembali terjadi. Kini, terjadi di Desa Bangun Baru, Kecamatan Sungai Kepayang, Kabupaten Asahan. Petani setempat sempat bentrok dengan aparat polisi, Jumat (22/12) sekira pukul 16.00 WIB dan hingga kini situasi masih memanas.

BERDASARKAN keterangan Penasehat Kelompok Tani Giat Bersama, Halim Dalimunthe, keributan tersebut berawal saat seorang warga Medan bernama Salamuddin (54) warga Jalan Harjosari II Medan-Amplas, mengakui kalau tanah di desa tersebut, yang telah ditanami kebun sawit oleh petani setempat merupakan miliknya.

Lantas, terangnya tiba-tiba Salamuddin yang merupakan dosen di UMN Medan meratakan lahan sawit petani dengan beko dengan didampingi 10 personil polisi. Hal itu langsung memicu kemarahan petani setempat, apalagi sawit di lahan tersebut akan segera dipanen. “Para petani langsung menghadang beko dan aparat polisi. Meski tak terjadi bentrok fisik, namun membuat 10 aparat polisi mundur karena jumlah petani lebih banyak lagi,” sebutnya.

Akibat rusaknya lahan kebun sawit milik para petani tersebut, dia mengatakan para petani langsung melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Polsek Sungai Kepayang.

“Waktu itu, Kapolsek sendiri langsung menanggapi para petani, dan menyarankan agar petani dan Salamuddin berdamai dan mengembalikan beko. Padahal beko merupakan barang bukti yang harus ditahan. Makanya petani bersikeras menahan beko di lahan mereka. Inilah yang membuat situasi di lokasi kejadian masih memanas,” katanya.

Menurut Halim, tanah tersebut milik kelompok Tani Giat Bersama di Dusun V Desa Bangun Baru, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan. “Salamuddin mencoba mengambil paksa tanah tanah petani tanpa ada putusan pengadilan. Malah, kesatuan Brimob dan polisi membekingi Salamuddin untuk mengambil paksa tanah kebun sawit petani setempat,” tegasnya saat ditemui di Medan, Rabu (28/12).

Lebih lanjut, Halim menerangkan, apabila Salamuddin hendak menuntut haknya, seharusnya melakukan gugatan terhadap Kelompok Tani ke Pengadilan Negeri (PN) secara perdata dengan surat-surat yang dimiliki. Karena selama petani sudah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1983.

Dia memaparkan, sesuai UU Agraria No 5/1960, sangat jelas hak-hak petani dilindungi undang-undang, bahkan mendapat prioritas dalam memperoleh haknya dan akan ditingkatkan menjadi sertifikat. Bila UU Pokok Kepolisian No 2/2002, polisi dilarang merekayasa, mencampuri urusan masalah tanah karena tanah adalah wewenang Pemda setempat.

Selain itu, dia menyebutkan berdasarkan surat edaran Pemprovsu mengenai masalah tanah yang diterima Pemda setempat tahun 1988, diinstruksikan kepada Bupati/Wali Kota/Pemda tingkat II se-Sumatera Utara agar melarang kepala desa/lurah dan camat mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dapat menimbulkan hak atas tanah dan SKT, yang ada sesudah tahun 1984, supaya dibatalkan atau diproses menurut Permendagri No 2/1972. “Sedangkan surat tanah milik Salamuddin muncul di tahun 90-an. Aneh. Sudah sangat jelas surat tanah Salamuddinpalsu,” tambahnya.
Sementara itu, Salamuddin saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya mengatakan, kalau tanah di Desa Bangun Baru, Sungai Kepayang, Kabupaten Asahan adalah miliknya.
“Tanah itu punya saya. Saya punya sertifikat yang sah, sesuai empat saksi yang saya miliki,”  ujarnya . (ila)

Dosen PTS di Medan dan Petani Berebut Lahan Perkebunan Sawit

Peristiwa perebutan lahan sawit yang mirip kasus Mesuji Lampung, kembali terjadi. Kini, terjadi di Desa Bangun Baru, Kecamatan Sungai Kepayang, Kabupaten Asahan. Petani setempat sempat bentrok dengan aparat polisi, Jumat (22/12) sekira pukul 16.00 WIB dan hingga kini situasi masih memanas.

BERDASARKAN keterangan Penasehat Kelompok Tani Giat Bersama, Halim Dalimunthe, keributan tersebut berawal saat seorang warga Medan bernama Salamuddin (54) warga Jalan Harjosari II Medan-Amplas, mengakui kalau tanah di desa tersebut, yang telah ditanami kebun sawit oleh petani setempat merupakan miliknya.

Lantas, terangnya tiba-tiba Salamuddin yang merupakan dosen di UMN Medan meratakan lahan sawit petani dengan beko dengan didampingi 10 personil polisi. Hal itu langsung memicu kemarahan petani setempat, apalagi sawit di lahan tersebut akan segera dipanen. “Para petani langsung menghadang beko dan aparat polisi. Meski tak terjadi bentrok fisik, namun membuat 10 aparat polisi mundur karena jumlah petani lebih banyak lagi,” sebutnya.

Akibat rusaknya lahan kebun sawit milik para petani tersebut, dia mengatakan para petani langsung melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Polsek Sungai Kepayang.

“Waktu itu, Kapolsek sendiri langsung menanggapi para petani, dan menyarankan agar petani dan Salamuddin berdamai dan mengembalikan beko. Padahal beko merupakan barang bukti yang harus ditahan. Makanya petani bersikeras menahan beko di lahan mereka. Inilah yang membuat situasi di lokasi kejadian masih memanas,” katanya.

Menurut Halim, tanah tersebut milik kelompok Tani Giat Bersama di Dusun V Desa Bangun Baru, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan. “Salamuddin mencoba mengambil paksa tanah tanah petani tanpa ada putusan pengadilan. Malah, kesatuan Brimob dan polisi membekingi Salamuddin untuk mengambil paksa tanah kebun sawit petani setempat,” tegasnya saat ditemui di Medan, Rabu (28/12).

Lebih lanjut, Halim menerangkan, apabila Salamuddin hendak menuntut haknya, seharusnya melakukan gugatan terhadap Kelompok Tani ke Pengadilan Negeri (PN) secara perdata dengan surat-surat yang dimiliki. Karena selama petani sudah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1983.

Dia memaparkan, sesuai UU Agraria No 5/1960, sangat jelas hak-hak petani dilindungi undang-undang, bahkan mendapat prioritas dalam memperoleh haknya dan akan ditingkatkan menjadi sertifikat. Bila UU Pokok Kepolisian No 2/2002, polisi dilarang merekayasa, mencampuri urusan masalah tanah karena tanah adalah wewenang Pemda setempat.

Selain itu, dia menyebutkan berdasarkan surat edaran Pemprovsu mengenai masalah tanah yang diterima Pemda setempat tahun 1988, diinstruksikan kepada Bupati/Wali Kota/Pemda tingkat II se-Sumatera Utara agar melarang kepala desa/lurah dan camat mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dapat menimbulkan hak atas tanah dan SKT, yang ada sesudah tahun 1984, supaya dibatalkan atau diproses menurut Permendagri No 2/1972. “Sedangkan surat tanah milik Salamuddin muncul di tahun 90-an. Aneh. Sudah sangat jelas surat tanah Salamuddinpalsu,” tambahnya.
Sementara itu, Salamuddin saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya mengatakan, kalau tanah di Desa Bangun Baru, Sungai Kepayang, Kabupaten Asahan adalah miliknya.
“Tanah itu punya saya. Saya punya sertifikat yang sah, sesuai empat saksi yang saya miliki,”  ujarnya . (ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/