25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Stunting Tingkatkan Risiko Penyakit Degeneratif

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Program Matching Fund Kedaireka Stunting 2022, Dr dr Juliandi Harahap MA Sp KKLP mengatakan, selain berisiko terhadap tingkat kecerdasan, stunting juga dapat meningkatkan risiko anak atau orang yang mengidapnya terserang penyakit degeneratif, seperti jantung, diabetes, hipertensi dan lain-lain.

Menurutnya, dalam jangka panjang, stunting berkaitan dengan tingkat kecerdasan, sehingga berkaitan pula dengan produktivitasnya di kemudian hari.

“Hal inilah yang ingin kita putus agar Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia ke depannya produktif dan tidak sakit-sakitan yang dapat membebani biaya kesehatan,” ujarnya, Kamis (29/12/2022).

Karenanya, jelas Juliandi, kegiatan penurunan stunting yang dilakukan oleh Program Matching Fund Kedaireka Stunting 2022 ini lebih ditujukan kepada perubahan perilaku.

“Maknanya, bagaimana kita bisa meningkatkan kesadaran dan pengetahuan dari kelompok sasaran akan stunting tersebut,” imbuhnya.

Dia menyebutkan, kelompok sasaran yang dimaksud terdiri dari remaja atau calon pengantin (catin), ibu hamil dan menyusui serta para keluarga berisiko stunting.

Juliandi juga mengaku, selama program itu dilakukan, mereka sudah memberikan berbagai bentuk edukasi dan penyuluhan dengan kepada kelompok sasaran tersebut.

“Selain itu ada juga modul pengolahan pangan lokal yang kita sebut DASHAT (Dapur Sehat Atasi Stunting) yang merupakan adopsi dari program BKKBN. Karena dalam hal ini BKKBN adalah mitra dari Perguruan Tinggi,” terangnya.

Dikatakannya, dalam program Matching Fund tersebut, melibatkan sebanyak 10 Perguruan Tinggi dengan Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai koordinatornya. Perguruan Tinggi ini selanjutnya bekerja di 10 Kabupaten/Kota di Sumut dengan melakukan inovasi untuk diajarkan kepada kelompok sasaran tadi.

Dengan pelatihan yang dilakukan, pihaknya berharap, kelompok sasaran itu bisa menghasilkan produk untuk meningkatkan pendapatan keluarga dari sepuluh pangan lokal yang sudah ditetapkan, selain meningkatkan gizi.

Dia membeberkan, ke sepuluh pangan lokal itu diantaranya, adalah labu kuning, ikan sampah yang bisa diolah menjadi abon, nuget atau bakso, biji alpukat menjadi brownis, kacang merah, ampela ayam dan lain-lain.

“Perubahan perilaku yang diharapkan, bagaimana mereka tahu tentang stunting dan tahu mengidentifikasi faktor risikonya. Karena stunting ini umumnya masyarakat menganggap anaknya sehat, padahal dibanding anak sebayanya tubuhnya lebih pendek,” pungkasnya. (dwi)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Program Matching Fund Kedaireka Stunting 2022, Dr dr Juliandi Harahap MA Sp KKLP mengatakan, selain berisiko terhadap tingkat kecerdasan, stunting juga dapat meningkatkan risiko anak atau orang yang mengidapnya terserang penyakit degeneratif, seperti jantung, diabetes, hipertensi dan lain-lain.

Menurutnya, dalam jangka panjang, stunting berkaitan dengan tingkat kecerdasan, sehingga berkaitan pula dengan produktivitasnya di kemudian hari.

“Hal inilah yang ingin kita putus agar Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia ke depannya produktif dan tidak sakit-sakitan yang dapat membebani biaya kesehatan,” ujarnya, Kamis (29/12/2022).

Karenanya, jelas Juliandi, kegiatan penurunan stunting yang dilakukan oleh Program Matching Fund Kedaireka Stunting 2022 ini lebih ditujukan kepada perubahan perilaku.

“Maknanya, bagaimana kita bisa meningkatkan kesadaran dan pengetahuan dari kelompok sasaran akan stunting tersebut,” imbuhnya.

Dia menyebutkan, kelompok sasaran yang dimaksud terdiri dari remaja atau calon pengantin (catin), ibu hamil dan menyusui serta para keluarga berisiko stunting.

Juliandi juga mengaku, selama program itu dilakukan, mereka sudah memberikan berbagai bentuk edukasi dan penyuluhan dengan kepada kelompok sasaran tersebut.

“Selain itu ada juga modul pengolahan pangan lokal yang kita sebut DASHAT (Dapur Sehat Atasi Stunting) yang merupakan adopsi dari program BKKBN. Karena dalam hal ini BKKBN adalah mitra dari Perguruan Tinggi,” terangnya.

Dikatakannya, dalam program Matching Fund tersebut, melibatkan sebanyak 10 Perguruan Tinggi dengan Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai koordinatornya. Perguruan Tinggi ini selanjutnya bekerja di 10 Kabupaten/Kota di Sumut dengan melakukan inovasi untuk diajarkan kepada kelompok sasaran tadi.

Dengan pelatihan yang dilakukan, pihaknya berharap, kelompok sasaran itu bisa menghasilkan produk untuk meningkatkan pendapatan keluarga dari sepuluh pangan lokal yang sudah ditetapkan, selain meningkatkan gizi.

Dia membeberkan, ke sepuluh pangan lokal itu diantaranya, adalah labu kuning, ikan sampah yang bisa diolah menjadi abon, nuget atau bakso, biji alpukat menjadi brownis, kacang merah, ampela ayam dan lain-lain.

“Perubahan perilaku yang diharapkan, bagaimana mereka tahu tentang stunting dan tahu mengidentifikasi faktor risikonya. Karena stunting ini umumnya masyarakat menganggap anaknya sehat, padahal dibanding anak sebayanya tubuhnya lebih pendek,” pungkasnya. (dwi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/