Site icon SumutPos

Angkutan Konvensional Didorong Pakai Aplikasi Online

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Sejumlah pengemudi becak bermotor yang tergabung dalam Solidaritas Angkutan Dan Transportasi Umum (SATU) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Sumut, Senin (20/3). Mereka menuntut agar transportasi sistem aplikasi online yang beroperasi di Medan segera ditutup karena tidak memiliki izin dan mematikan sumber pendapatan mereka.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus mendorong kolaborasi angkutan konvensional dengan online. Dalam kolaborasi itu, tarif akan ditentukan berdasar perhitungan pihak aplikasi. Dengan kata lain, tarif bisa lebih murah.

Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto menuturkan, kolaborasi antara angkutan konvensional dan online bisa mengurangi gesekan di lapangan. Selain itu, juga memudahkan masyarakat mendapatkan angkutan.

”Angkutan konvensional harus mau kolaborasi , bersinergi dengan angkutan online,” ujarnya usai rapat bersama Komisi V DPR di Jakarta, Rabu  (29/3). Terkait tarif, lanjut dia, nanti akan mengikuti aplikasi. Artinya, pembayaran tidak terpatok dari argometer yang berada di angkutan konvensional atau taksi resmi. ”Kan pesannya lewat aplikasi,” tambahnya.

Seperti diwartakan, tarif angkutan sewa khusus atau online memang jauh lebih murah daripada konvensional. Pudji membeberkan, itu bisa terjadi lantaran ada subsidi khusus dari perusahaan aplikasi. Kedua, biaya operasional yang berbeda dengan angkutan konvensional. Mulai ketidakwajiban memiliki pool hingga masalah perawatan. ”Kalau konvensional harus ada pool, jadi harus sewa atau beli lahan. Belum perawatan dan pengemudi,” tuturnya.

Kendati begitu, tarif angkutan online akan segera diatur melalui penetapan batas atas dan batas bawah. Tarif ditentukan langsung oleh gubernur sesuai kondisi masing-masing daerah. Pengaturan itu bertujuan agar tidak terjadi gap terlalu besar dengan angkutan konvensional. Sehingga, bisa terjadi persaingan sehat di lapangan. ”Besok (hari ini) kita lakukan asistensi formulasi soal tarif batas bawah dan atas. Termasuk perhitungan kuota, sehingga gap (tarif) antar daerah tidak terlalu besar,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur PT Blue Bird Tbk Sigit Priawan Djokoseotono mengimbau para driver tak khawatir. Dia mengatakan, dalam kolaborasi yang terjalin, pihaknya tetap memberlakukan tarif sesuai batas bawah dan atas yang telah ditentukan di angkutan taksi resmi. ”Argo tetap sama, karena kita tidak bisa mengubah (tarif batas atas dan bawah taksi resmi). Tarif Bluebird untuk pengemudi, tamu tarif gocar,” ujarnya ditemui di Jakarta kemarin (29/3).

Sigit menjelaskan, dalam penentuan tarif ini ada kewajiban untuk memberi jaminan pada pihak driver juga. Lalu, bagaimana dengan gap tarif yang terjadi? Dia menuturkan, itu menjadi kewajiban gocar untuk membayar ke bluebird. ”Mereka mensubsidi tamu. Mungkin jadi strategi juga untuk dapatkan tamu. Koneknya ke aplikasi juga semakin banyak,” ungkapnya.

Sebagai informasi, mulai Februari 2017, Bluebird resmi menjalin kerja sama dengan gocar. Ada sekitar 2000 armada yang sudah terkoneksi dengan aplikasi rintisan Nadiem Makarim itu.

Foto: Satria Nugraha/Radar Surabaya/JPNN
Salah satu taksi online yang beroperasi di Surabaya. Peraturan taksi online akan segera dibentuk agar tidak terjadi kesenjangan dengan angkutan konvensional.

Di sisi lain, muncul desakan untuk segera merevisi Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Desakan ini muncul lantaran hingga kini belum ada aturan yang dapat menjadi payung hukum bagi ojek online.

”Lalu ini revisi PM 32/2016 ini ternyata belum mengakomodir angkutan roda dua. Agak kurang adil saya rasa,” ujar anggota Komisi V DPR RI Nizar Zahro.

Padahal, lanjut dia, konflik yang paling banyak terjadi saat ini justru terjadi antara ojek online dan angkutan konvensional. Baik itu sesama ojek ataupun angkutan umum. ”Ini mendesak. Jadi UU 22/2009 ini harus segera. Apa susahnya kalau sama-sama niat,” ungkapnya.

Desakan yang sama juga turut dikemukanan Ketua Umum Asosiasi Driver Online Christiansen FW. Pasalnya, selama ini, belum ada kejelasan payung hukum bagi para driver online roda dua.

”Kami dari roda empat bersyukur revisi Permenhub 32/2016 akan segera disahkan, tapi agak kami sayangkan rekan kami sebagai driver online roda dua sampai saat ini belum ada legitimasi dari pemerintah,” kata Yansen, sapaan akrabnya.

Menurut Yansen, aduan yang disampaikan ke Komisi V DPR juga terkait dengan perlakuan perusahaan aplikasi terhadap para driver. Saat ini, masih saja terjadi pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan perusahaan aplikasi kepada sejumlah driver. ”Awalnya kami dikatakan sebagai mitra, tapi kenyataanya sepihak,” kata Yansen.

Yansen menyebut, para driver telah berusaha bekerja sebaik mungkin. Namun, karena satu lain hal, diantaranya laporan dari konsumen, banyak driver online yang diputus hubungan kerja. ”Laporan dari konsumen belum tentu benar,” kata dia.

Pengaduan terkait perusahaan aplikasi juga terkait langkah perusahaan yang terus menerima pendaftaran baru. Padahal, jumlah di lapangan saat ini banyak. Hal ini menurut Yansen menjadi faktor terjadinya gesekan dengan driver konvensional.

Yansen menambahkan, asosiasi driver online juga menyampaikan pandangan terkait langkah tiga perusahaan aplikasi yang tidak setuju dengan pengaturan tarif. Dalam hal ini, asosiasi driver online memiliki pandangan berbeda. Sebab, selama ini perusahaan aplikasi selalu bersaing dengan menggunakan promo-promo yang memanjakan konsumen.

”Hal tersebut memang menarik konsumen, namun kami sebagai pelaku usaha sangat dirugikan. Kami minta adanya keberimbangan,” ujarnya.

Merespon desakan ini, pemerintah sudah memberi sinyal positif. Pudji mengaku sepakat untuk dibentuk tim khusus untuk membicarakan terkait revisi aturan ini. ”Kita bahas. Termasuk nanti soal resiko penggunaan roda dua ini sebagai angkutan umum. Nanti keputusannya kan setelah dibahas,” ujarnya. (mia/bay/jpg)

Exit mobile version