27 C
Medan
Thursday, June 20, 2024

Tolak Pemberlakuan Tapera, Buruh di Sumut Siap Turun ke Jalan

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) Willy Agus Utomo memprotes Peraturan Pemerintah atas pembelakukan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).

Willy secara tegas menyatakan siap melakukan aksi turun ke jalan bersama seluruh buruh yang ada di Sumatera Utara. “Kita akan siapkan aksi dalam waktu dekat, dan sedang berkoordinasi dengan SP/SB di Sumut yang juga menolak. Semoga pemerintah peka dan merevisi PP Tapera,” tegas Willy.

Sebab menurutnya, Peraturan Pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) Nomor 21 Tahun 2024, perlu dikaji ulang atau direvisi. Meskipun buruh dan rakyat kecil di Indonesia memang sangat membutuhkan rumah yang disediakan oleh Pemerintah, sama halnya kebutuhan lain, seperti pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, namun PP Tapera yang baru saja diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dinilai buruh belum tepat.

“Upah buruh saat ini makin menurun dan jauh dari layak, kalau harus dipotong 2,5 persen, maka pasti kaum buruh makin miskin dan tidak bisa memenuhi biaya kehidupannya,” ungkap Willy Agus Utomo yang juga sebagai Ketua Partai Buruh Sumut di Medan, Kamis (30/5).

Willy berharap, Presiden Jokowi dapat merevisi PP Tapera tersebut dengan memperhatikan beban kaum buruh Indonesia. “Intinya Tapera tidak sesuai harapan, justru jadi beban berat kaum buruh di Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, bisa saja pihak buruh setuju jika iuran buruh atau pekerja swasta direvisi dipotong 0,5 persen saja dan 2,5 persen ditanggung pengusaha. Tidak hanya itu, Pemerintah harusnya menambahkan juga iurannya agar buruh dan rakyat mendapat tangung jawab rumah layak huni.

“Jika iuran totalnya 3 persen juga pastinya tidak cukup buat perumahan rakyat yang layak, maka pemerintah harus menambah persentase iuranya menjadi di atas 3 persen. Itu baru bisa,” tuturnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin mengatakan, kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) melalui potongan gaji tentunya akan mengurangi ‘disposable income’ masyarakat, khususnya kelas ekonomi masyarakat menengah.

Disposable income yang turun akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat. Potongan gaji dari Tapera ini akan menambah potongan gaji lainnya setelah Pajak Penghasilan (PPh), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

“Sebenarnya program ini bagus dalam upaya menyediakan rumah bagi para pekerja. Namun program ini dieksekusi saat daya beli masyarakat terbebani oleh inflasi pangan. Sehingga wajar saja kalau menimbulkan resistensi dari masyarakat khususnya para pekerja. Dan saya mengharapkan agar Pemerintah mempertimbangkan matang-matang untuk eksekusi kebijakan tersebut dalam waktu dekat,” ujarnya, Kamis (30/5).

Dijelaskannya, iuran Tapera 3 persen, di mana 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari perusahaan memiliki dampak yang besar terlebih jika membandingkannya dengan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di sejumlah wilayah di Tanah Air. Terlebih, untuk wilayah yang UMK-nya naik tapi kurang dari 3 persen di tahun 2024. “Sehingga iuran Tapera akan menggerus kenaikan upah yang seharusnya pekerja nikmati,” ujarnya.

Ia menilai, situasi kian berat manakala inflasi ‘volatile food’ justru bertahan tinggi dan realisasi inflasi ini berbeda setiap wilayah. Namun inflasi volatile food yang terealisasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi umum secara Nasional. “Bayangkan saja inflasi volatile food saat ini berada di level 9,63 persen pada April (yoy). Sementara inflasi secara keseluruhan secara yoy sebesar 3 persen di Indonesia.

“Sehinga disposal income yang diterima oleh masyarakat masih akan terbebani dengan sejumlah pengeluaran yang besar untuk kebutuhan pangan. Ini catatan yang seharusnya bisa jadi pertimbangan Pemerintah. Memang program Tapera ini baik, namun bisa saja dieksekusi di waktu yang kurang tepat,” katanya.

Menurut Gunawan, tidak bisa dipungkiri, bahwa memang banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam penyediaan kebutuhan perumahan. Kebijakan Pemerintah ini memang sangat membantu masyarakat, khususnya pekerja untuk mendapatkan rumah. “Jika nantinya kebijakan ini di eksekusi, dana kelolaan dari Tapera ini harus bisa memberikan mulitiplier efek yang besar bagi pembangunan di Tanah Air,” pungkasnya.

Wapres Akui Belum Tersosialisasikan

Tapera terus menimbulkan kontroversi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengakui bahwa kebijakan Tapera belum tersosialisasikan dengan baik. Anggota DPR pun mendesak agar kebijakan pungutan Tapera ditinjau ulang.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin merespon polemik Tapera di kalangan pekerja maupun pengusaha. “Saya kira memang (Tapera) ini sebenarnya belum tersosialisasikan dengan baik,” kata Ma’ruf di sela kunjungan kerja di Aceh kemarin. Dia menegaskan bahwa sebenarnya Tapera itu adalah tabungan masyarakat.

Mantan Ketua Umum MUI itu menjelaskan tujuan dibentuk Tapera adalah saling membantu atau bergotong-royong dalam penyediaan rumah. Bagi yang belum punya rumah, bisa mendapatkan akses KPR lewat Tapera.

Lalu bagi pekerja yang sudah punya tanah, tapi kesulitan uang untuk membangun rumah, disiapkan Kredit Bangun Rumah (KBR). Lalu bagi yang sudah punya rumah, bisa mendapatkan layanan Kredit Renovasi Rumah (KRR). Kemudian bagi pekerja peserta Tapera yang tidak membutuhkan tiga fasilitas itu, uang iurannya seperti ditabung. “Pada saatnya nanti dikembalikan. Jadi ini seperti tabungan,” katanya.

Ma’ruf mengatakan jika Tapera ini disosialisasikan dengan benar, kegaduhan bisa diminimalisir. Baginya yang perlu ditonjolkan adalah aspek gotong-royong dan tabungannya. Dia mengatakan semangat gotong-royong atau dalam Islam disebut Ta’awun, memiliki misi untuk saling membantu.

Ma’ruf menekankan perlu disosialisasikan juga, dengan adanya Tapera tadi, pekerja bisa lebih mudah untuk mengakses KPR, KBR, maupun KRR. Misalnya bagi pekerja yang selama ini kesulitan menembus KPR di perbankan umum, bisa dibantu memiliki rumah lewat KPR. “Bagi yang tidak perlu, dipastikan dananya aman. Dikembalikan beserta imbal hasilnya,” katanya.

Dia meminta penyelenggara Tapera untuk sosialisasi lebih baik ke masyarakat, khususnya kepada para pekerja.

Anggota DPR RI Herman Khaeron mengatakan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan Tapera. “Kemudian me-review mana yang diterapkan dan mana yang  harus memberikan rasa keadilan, serta mana pula yang harus menjadi mandatory,” terangnya dalam acara diskusi di komplek parlemen, Senayan kemarin.

Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan reaksi publik terhadap kebijakan Tapera. Selanjutnya, memikirkan langkah-langkah teknis yang tepat. Tentu, hal itu perlu mempertimbangkan kemampuan daya beli dan keberadaan masyarakat saat ini.

Sebenarnya, kata dia, niat pemerintah sudah bagus, yaitu ingin agar seluruh rakyat Indonesia terpenuhi hak akan kepemilikan rumah. Namun, cara yang akan digunakan harus dibicarakan dengan baik. “Sehingga betul-betul masyarakat bisa mendapatkan rumah. Masyarakat tidak diberatkan dengan sistem dan program pemerintah,” bebernya.

Politisi Partai Demokrat itu mengatakan, DPR akan terus menampung mendengar masukan dari masyarakat. Fraksi Partai Demokrat DPR RI juga akan terus menginventarisasi seluruh usulan masyarakat, dan aspirasi yang berkembang di publik, baik langsung maupun melalui media. Kata Herman, Tapera sudah diatur sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4/2015 tentang Tapera, kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020. Namun, tidak ada gejolak saat aturan itu diberlakukan.

Pro kontra baru muncul ketika terbit PP Nomor 21/2024 yang mengatur Tapera. “Karena iuran Tapera diwajibkan untuk semua, sehingga memberatkan masyarakat. Jadi, PP yang baru itu yang menjadi masalah,” ucapnya.

Herman menegaskan, sebelum aturan itu dibuat seharusnya ada pengkajian dan sosialisasi yang bermakna kepada masyarakat. “Karena usernya adalah seluruh masyarakat, usernya kita semua. Oleh karena itu saya harapkan pemerintah bisa merespon, karena ini peraturan pemerintah,” pungkasnya.

Sementara itu, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah memahami adanya polemik di masyarakat mengenai Tapera tersebut. Dia mengatakan Tapera adalah program yang memiliki segmen khusus. Yaitu pekerja atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses kepada pembiayaan KPR atau sejenisnya.  “Kemudian ini diberlakukan untuk semua pekerja. Dengan semangat gotong royong,” katanya.

Padahal tidak semua pekerja membutuhkan dana tersebut. Misalnya ada pekerja yang sudah memiliki rumah. Atau ada pekerja yang sudah memiliki tabungan rutin untuk masa pensiunnya. Wajar jika para pekerja yang sejatinya tidak membutuhkan tabungan untuk membeli rumah, merasa keberatan.

Apalagi bagi pekerjaan yang dipaksa ikut Tapera, tetapi statusnya non MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), tidak bisa merasakan manfaat maksimal adanya Tapera itu. Pekerja non MBR tidak bisa menikmati KPR, KBR, maupun KRR dari Tapera. Pekerja kelompok ini, hanya akan mendapatkan pengembalian iuran Tapera sekaligus hasil pengelolaannya. ”Iya kalau investasinya benar. Sebelumnya kan ada kasus Jiwasraya dan Asabri,” katanya.

Meskipun dengan pengawasan berlapis, pengelola dana masyarakat di Jiwasraya dan Asabri tetap bisa melalukan penyelewengan atau korupsi. Yaitu dengan pat gulipat pada proses penempatan investasinya.

Lina menjelaskan selama ini pemerintah sudah memiliki program perumahan rakyat lewat FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Rumah). Program tersebut dalam praktiknya terserap maksimal. Alias kuota hunian rumah yang terjangkau bisa diserap pekerja. Lewat FLPP, pekerja bisa memiliki rumah lewat KPR dengan bunga rendah dan tenor sampai dengan 20 tahun.

Menurut dugaannya, Tapera ini memang dijalankan untuk menghimpun dana masyarakat. Nantinya dana tersebut akan dikelola oleh BP Tapera. Pemanfaatannya tidak jauh berbeda dengan FLPP. Bedanya selama ini FLPP murni pakai APBN. Sementara di Tapera nanti, memanfaatkan dana masyarakat. “Saya belum tahu apakah APBN untuk FLPP masih ada ke depannya,” jelasnya. (dwi/wan/idr/lum/jpg/ila)

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) Willy Agus Utomo memprotes Peraturan Pemerintah atas pembelakukan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).

Willy secara tegas menyatakan siap melakukan aksi turun ke jalan bersama seluruh buruh yang ada di Sumatera Utara. “Kita akan siapkan aksi dalam waktu dekat, dan sedang berkoordinasi dengan SP/SB di Sumut yang juga menolak. Semoga pemerintah peka dan merevisi PP Tapera,” tegas Willy.

Sebab menurutnya, Peraturan Pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) Nomor 21 Tahun 2024, perlu dikaji ulang atau direvisi. Meskipun buruh dan rakyat kecil di Indonesia memang sangat membutuhkan rumah yang disediakan oleh Pemerintah, sama halnya kebutuhan lain, seperti pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, namun PP Tapera yang baru saja diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dinilai buruh belum tepat.

“Upah buruh saat ini makin menurun dan jauh dari layak, kalau harus dipotong 2,5 persen, maka pasti kaum buruh makin miskin dan tidak bisa memenuhi biaya kehidupannya,” ungkap Willy Agus Utomo yang juga sebagai Ketua Partai Buruh Sumut di Medan, Kamis (30/5).

Willy berharap, Presiden Jokowi dapat merevisi PP Tapera tersebut dengan memperhatikan beban kaum buruh Indonesia. “Intinya Tapera tidak sesuai harapan, justru jadi beban berat kaum buruh di Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, bisa saja pihak buruh setuju jika iuran buruh atau pekerja swasta direvisi dipotong 0,5 persen saja dan 2,5 persen ditanggung pengusaha. Tidak hanya itu, Pemerintah harusnya menambahkan juga iurannya agar buruh dan rakyat mendapat tangung jawab rumah layak huni.

“Jika iuran totalnya 3 persen juga pastinya tidak cukup buat perumahan rakyat yang layak, maka pemerintah harus menambah persentase iuranya menjadi di atas 3 persen. Itu baru bisa,” tuturnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin mengatakan, kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) melalui potongan gaji tentunya akan mengurangi ‘disposable income’ masyarakat, khususnya kelas ekonomi masyarakat menengah.

Disposable income yang turun akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat. Potongan gaji dari Tapera ini akan menambah potongan gaji lainnya setelah Pajak Penghasilan (PPh), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

“Sebenarnya program ini bagus dalam upaya menyediakan rumah bagi para pekerja. Namun program ini dieksekusi saat daya beli masyarakat terbebani oleh inflasi pangan. Sehingga wajar saja kalau menimbulkan resistensi dari masyarakat khususnya para pekerja. Dan saya mengharapkan agar Pemerintah mempertimbangkan matang-matang untuk eksekusi kebijakan tersebut dalam waktu dekat,” ujarnya, Kamis (30/5).

Dijelaskannya, iuran Tapera 3 persen, di mana 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari perusahaan memiliki dampak yang besar terlebih jika membandingkannya dengan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di sejumlah wilayah di Tanah Air. Terlebih, untuk wilayah yang UMK-nya naik tapi kurang dari 3 persen di tahun 2024. “Sehingga iuran Tapera akan menggerus kenaikan upah yang seharusnya pekerja nikmati,” ujarnya.

Ia menilai, situasi kian berat manakala inflasi ‘volatile food’ justru bertahan tinggi dan realisasi inflasi ini berbeda setiap wilayah. Namun inflasi volatile food yang terealisasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi umum secara Nasional. “Bayangkan saja inflasi volatile food saat ini berada di level 9,63 persen pada April (yoy). Sementara inflasi secara keseluruhan secara yoy sebesar 3 persen di Indonesia.

“Sehinga disposal income yang diterima oleh masyarakat masih akan terbebani dengan sejumlah pengeluaran yang besar untuk kebutuhan pangan. Ini catatan yang seharusnya bisa jadi pertimbangan Pemerintah. Memang program Tapera ini baik, namun bisa saja dieksekusi di waktu yang kurang tepat,” katanya.

Menurut Gunawan, tidak bisa dipungkiri, bahwa memang banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam penyediaan kebutuhan perumahan. Kebijakan Pemerintah ini memang sangat membantu masyarakat, khususnya pekerja untuk mendapatkan rumah. “Jika nantinya kebijakan ini di eksekusi, dana kelolaan dari Tapera ini harus bisa memberikan mulitiplier efek yang besar bagi pembangunan di Tanah Air,” pungkasnya.

Wapres Akui Belum Tersosialisasikan

Tapera terus menimbulkan kontroversi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengakui bahwa kebijakan Tapera belum tersosialisasikan dengan baik. Anggota DPR pun mendesak agar kebijakan pungutan Tapera ditinjau ulang.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin merespon polemik Tapera di kalangan pekerja maupun pengusaha. “Saya kira memang (Tapera) ini sebenarnya belum tersosialisasikan dengan baik,” kata Ma’ruf di sela kunjungan kerja di Aceh kemarin. Dia menegaskan bahwa sebenarnya Tapera itu adalah tabungan masyarakat.

Mantan Ketua Umum MUI itu menjelaskan tujuan dibentuk Tapera adalah saling membantu atau bergotong-royong dalam penyediaan rumah. Bagi yang belum punya rumah, bisa mendapatkan akses KPR lewat Tapera.

Lalu bagi pekerja yang sudah punya tanah, tapi kesulitan uang untuk membangun rumah, disiapkan Kredit Bangun Rumah (KBR). Lalu bagi yang sudah punya rumah, bisa mendapatkan layanan Kredit Renovasi Rumah (KRR). Kemudian bagi pekerja peserta Tapera yang tidak membutuhkan tiga fasilitas itu, uang iurannya seperti ditabung. “Pada saatnya nanti dikembalikan. Jadi ini seperti tabungan,” katanya.

Ma’ruf mengatakan jika Tapera ini disosialisasikan dengan benar, kegaduhan bisa diminimalisir. Baginya yang perlu ditonjolkan adalah aspek gotong-royong dan tabungannya. Dia mengatakan semangat gotong-royong atau dalam Islam disebut Ta’awun, memiliki misi untuk saling membantu.

Ma’ruf menekankan perlu disosialisasikan juga, dengan adanya Tapera tadi, pekerja bisa lebih mudah untuk mengakses KPR, KBR, maupun KRR. Misalnya bagi pekerja yang selama ini kesulitan menembus KPR di perbankan umum, bisa dibantu memiliki rumah lewat KPR. “Bagi yang tidak perlu, dipastikan dananya aman. Dikembalikan beserta imbal hasilnya,” katanya.

Dia meminta penyelenggara Tapera untuk sosialisasi lebih baik ke masyarakat, khususnya kepada para pekerja.

Anggota DPR RI Herman Khaeron mengatakan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan Tapera. “Kemudian me-review mana yang diterapkan dan mana yang  harus memberikan rasa keadilan, serta mana pula yang harus menjadi mandatory,” terangnya dalam acara diskusi di komplek parlemen, Senayan kemarin.

Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan reaksi publik terhadap kebijakan Tapera. Selanjutnya, memikirkan langkah-langkah teknis yang tepat. Tentu, hal itu perlu mempertimbangkan kemampuan daya beli dan keberadaan masyarakat saat ini.

Sebenarnya, kata dia, niat pemerintah sudah bagus, yaitu ingin agar seluruh rakyat Indonesia terpenuhi hak akan kepemilikan rumah. Namun, cara yang akan digunakan harus dibicarakan dengan baik. “Sehingga betul-betul masyarakat bisa mendapatkan rumah. Masyarakat tidak diberatkan dengan sistem dan program pemerintah,” bebernya.

Politisi Partai Demokrat itu mengatakan, DPR akan terus menampung mendengar masukan dari masyarakat. Fraksi Partai Demokrat DPR RI juga akan terus menginventarisasi seluruh usulan masyarakat, dan aspirasi yang berkembang di publik, baik langsung maupun melalui media. Kata Herman, Tapera sudah diatur sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4/2015 tentang Tapera, kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020. Namun, tidak ada gejolak saat aturan itu diberlakukan.

Pro kontra baru muncul ketika terbit PP Nomor 21/2024 yang mengatur Tapera. “Karena iuran Tapera diwajibkan untuk semua, sehingga memberatkan masyarakat. Jadi, PP yang baru itu yang menjadi masalah,” ucapnya.

Herman menegaskan, sebelum aturan itu dibuat seharusnya ada pengkajian dan sosialisasi yang bermakna kepada masyarakat. “Karena usernya adalah seluruh masyarakat, usernya kita semua. Oleh karena itu saya harapkan pemerintah bisa merespon, karena ini peraturan pemerintah,” pungkasnya.

Sementara itu, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah memahami adanya polemik di masyarakat mengenai Tapera tersebut. Dia mengatakan Tapera adalah program yang memiliki segmen khusus. Yaitu pekerja atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses kepada pembiayaan KPR atau sejenisnya.  “Kemudian ini diberlakukan untuk semua pekerja. Dengan semangat gotong royong,” katanya.

Padahal tidak semua pekerja membutuhkan dana tersebut. Misalnya ada pekerja yang sudah memiliki rumah. Atau ada pekerja yang sudah memiliki tabungan rutin untuk masa pensiunnya. Wajar jika para pekerja yang sejatinya tidak membutuhkan tabungan untuk membeli rumah, merasa keberatan.

Apalagi bagi pekerjaan yang dipaksa ikut Tapera, tetapi statusnya non MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), tidak bisa merasakan manfaat maksimal adanya Tapera itu. Pekerja non MBR tidak bisa menikmati KPR, KBR, maupun KRR dari Tapera. Pekerja kelompok ini, hanya akan mendapatkan pengembalian iuran Tapera sekaligus hasil pengelolaannya. ”Iya kalau investasinya benar. Sebelumnya kan ada kasus Jiwasraya dan Asabri,” katanya.

Meskipun dengan pengawasan berlapis, pengelola dana masyarakat di Jiwasraya dan Asabri tetap bisa melalukan penyelewengan atau korupsi. Yaitu dengan pat gulipat pada proses penempatan investasinya.

Lina menjelaskan selama ini pemerintah sudah memiliki program perumahan rakyat lewat FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Rumah). Program tersebut dalam praktiknya terserap maksimal. Alias kuota hunian rumah yang terjangkau bisa diserap pekerja. Lewat FLPP, pekerja bisa memiliki rumah lewat KPR dengan bunga rendah dan tenor sampai dengan 20 tahun.

Menurut dugaannya, Tapera ini memang dijalankan untuk menghimpun dana masyarakat. Nantinya dana tersebut akan dikelola oleh BP Tapera. Pemanfaatannya tidak jauh berbeda dengan FLPP. Bedanya selama ini FLPP murni pakai APBN. Sementara di Tapera nanti, memanfaatkan dana masyarakat. “Saya belum tahu apakah APBN untuk FLPP masih ada ke depannya,” jelasnya. (dwi/wan/idr/lum/jpg/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/